Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

BAB 5. CINDO NIAN

Gambar
“Cak mano kabar, kamu Win?” tanya Nuriyani kepada Aswin sambil menghirup kuah pindang patin yang merah pedas dari sendok makan bergagang kuning. Tak dia sangka di kota Ranai pun ada masakan lezat khas daerahnya. “Alhamdulillah, baik, Mak Su ” Jawab Aswin kepada adik bungsu ayahnya. Sepotong roti kemang yang berisi parutan kelapa dan gula merah disantapnya dengan lahap. Aswin merupakan anak dari kakak Nuriyani. Ketua kelas 3 IPA ini memiliki perawakan yang kurus dengan kulit sawo matang. Tinggi badan 165 sentimeter. Rambut hitam lurus disisir ke samping. Dia dikaruniai hidung bangir, alis tebal hampir melengkung sempurna, kumis tipis diatas bibir yang rounded. Bola mata hitam kecoklatan. Tajam pandangannya. Semua itu Tuhan himpun pada canvas wajah yang oval. Dia terpilih sebagai ketua kelas bukan karena dia yang paling pintar. Bukan pula karena dia naik RX King setiap hari ke sekolah. Tidak pula karena ditunjuk guru atau kepala sekolah. Atau yang paling sering disuruh-suruh guru. Bukan....

BAB 4. SUARA RINDU DARI SEBERANG PULAU

Gambar
Matahari sudah menghilang dari pandangan Orang-orang yang setia mengukur berulang-ulang jalan melingkar di halaman Masjid Agung Ranai tanpa mau tahu waktu. Hanya sisa-sisa cahanyanya yang masih dipantulkan pada mega merah di ufuk barat. Mempetegas warnanya yang dengan waktu yang tinggal beberapa menit. Setelah itu, merahnya pun menghilang. Menyatu bersama hitam malam.  Seiring digulungnya cahaya surya, sinar rembulan malam ke sepuluh sudah mulai berbisik diantara bisingnya kota. Pijar cahaya lampu di tepi jalan memantul pada mahkota bunga Kamboja kuning yang tegap di pinggiran jalan. Bahkan suara pengajian selepas shalat maghrib menggema dari toa di pucuk menara. Hiruk pikuk kendaraan di jalan raya pun berlomba saling mendahului, meski hanya perkara siapa yang mendapatkan posisi paling depan di perempatan lampu merah.  Semua ini sudah 10 hari tidak dapat Hamdi lihat dan rasakan karena badannya yang lemah, terbaring dalam kamar dengan tirai jingga muda, di dalam deretan ruang r...

BAB 3. MR. NICE

Gambar
  “Kamu baru saja chat sama siapa, Rin?, kok sepertinya akrab banget sampai senyum-senyum sendiri gitu” tanya Puput, adik dari ibu Narina. “Pak, Hamdi, Bi. Guru Narina di Sekolah” ujarnya yang masih mengetik pesan sambil cekikikan sendiri.  “Kamu chatan sama gurumu? Bapak-bapak loh itu. Meski itu gurumu, tapi kok seperti deket banget? ” tanya Puput kembali yang sedari tadi berdiri di pintu kamar Narina.  “abisnya Lucu, Bi'. Pak Hamdi itu pinter dan lucu. Itu juga yang buat betah di kelas kalau dia ngajar sih” Narina meletakkan Gadgetnya di kasur dan duduk bersila di tepi kasur.  “Pendapat pribadi? ” Tanya Puput lagi.  “Dia itu ga hanya dianggap guru loh di kelas, tapi kawan-kawan menganggap dia seperti seorang Bapak” “Ah masa? Hati-hati loh, nanti kalo ternyata monster gimana?” ujar Puput sambil menjatuhkan punggungnya di kasur sedangkan kakinya dibiarkan menyentuh lantai kamar.  “Sepertinya tidak kok Bi', Pak Guru orangnya baik, pintar, nyenanginlah pokokn...

BAB 2. DIBALIK TIRAI JINGGA MUDA

Gambar
Hari kedelapan Hamdi di rumah sakit. Gejolak jiwanya semakin terasa. Dia rindu akan hangatnya suasana rumah. Juga rindu dengan riuh suasana kelas. Kelas serba ada. Yang tengil. Yang pendiam. Yang kutu buku. Yang pengacau. Yang aktif dalam kelas. Yang cuek saat guru menerangkan. Yang hobi ngemil. Yang diam-diam janjian dengan pacarnya di kantin. Yang bawa kantin ke dalam kelas. Lengkap. Suasana yang cukup membuat kangen. Tapi dia harus menerima kenyataan terbaring. Menantang kesunyian yang merayap pada setiap sudut ruangan berwarna hijau lemon. Perlahan tirai jingga muda bergeser. Gesekan pengait kain dan baja stainless menimbulkan suara cukup untuk membangunkan Hamdi yang sedang terlelap. Tiga orang remaja nampak mengunjunginya. Kelopak matanya yang nampak lelah perlahan terbuka. Ada garis hitam melengkung dibawah bola mata. Senyum yang masih dia jaga pun dia perlihatkan. “Wah, ada apa ini tetua adat kelas tiga IPA pagi-pagi udah muncul?” Hamdi menyapa muridnya yang datang dengan nada ...

BAB 1. DATUK PANGLIMA HUSIN

Gambar
Cahaya matahari yang menyelinap masuk menembus kaca ruangan yang serba putih itu menyentuh kelopak matanya yang cekung dan pucat. Bebunyian mesin deteksi silih berganti seperti tangga nada musik yang khas. Menyanyikan kesendirian dan kesunyian dalam waktu yang tiada menentu lagi. Menunggu penjemput datang untuk pergi ke tempat lain. Tempat yang pasti memang juga dikunjungi. Hanya saatnya yang tiada menahu. Kelopak mata yang disentuh senja perlahan bergerak terbuka. Bibirnya membiru dengan deru nafas yang lebih cepat dan tidak teratur. Badan yang lunglai dan kurus diselimuti kain putih sebatas dada. Meski suhu ruangan ditunjukkan oleh angka 18 derajat Celcius pada Air Conditioner , tetap saja badannya basah dengan keringat. Kondisi Hamdi masih kritis. Susah bernafas. Dua orang perawat terlihat sedang sibuk mencatat perkembangan medisnya. Tiga liter oksigen habis dihirup olehnya. Setiap tiga belas jam sekali tabung oksigennya harus diganti. Sungguh kasihan Hamdi. Dia didiagnosa gagal per...