BAB 1. DATUK PANGLIMA HUSIN
Cahaya matahari yang menyelinap masuk menembus kaca ruangan yang serba putih itu menyentuh kelopak matanya yang cekung dan pucat. Bebunyian mesin deteksi silih berganti seperti tangga nada musik yang khas. Menyanyikan kesendirian dan kesunyian dalam waktu yang tiada menentu lagi. Menunggu penjemput datang untuk pergi ke tempat lain. Tempat yang pasti memang juga dikunjungi. Hanya saatnya yang tiada menahu.
Kelopak mata yang disentuh senja perlahan bergerak terbuka. Bibirnya membiru dengan deru nafas yang lebih cepat dan tidak teratur. Badan yang lunglai dan kurus diselimuti kain putih sebatas dada. Meski suhu ruangan ditunjukkan oleh angka 18 derajat Celcius pada Air Conditioner, tetap saja badannya basah dengan keringat. Kondisi Hamdi masih kritis. Susah bernafas.
Dua orang perawat terlihat sedang sibuk mencatat perkembangan medisnya. Tiga liter oksigen habis dihirup olehnya. Setiap tiga belas jam sekali tabung oksigennya harus diganti. Sungguh kasihan Hamdi. Dia didiagnosa gagal pernafasan.
Hamdi adalah seorang guru di sebuah sekolah menengah atas di kota Ranai. Jauh dia meninggalkan kampungnya. Itu karena SK Pegawai Negeri Sipil yang dia terima mengharuskan mengajar di kota Ranai kabupaten Natuna. Sejauh 813 KM atau 500 Mil lebih dia harus pergi untuk mengabdi kepada Negaranya sebagai seorang guru.
Dia sebenarnya adalah lelaki introvert yang berusaha merubah maqam menjadi ekstrovert. Kebutuhan profesi. Sebab jika bertahan dengan pembawaan lamanya, dia khawatir dia tidak akan berhasil di dalam kelas menghadapi murid-murid dengan berbagai emosi, idealisme, dan gaya. Lelaki kelahiran tahun 1994 dengan postur badan 170 cm, rambut hitam coklat bergelombang. Kulit kuning langsat yang mulai berubah menjadi sawo matang.
Dia menerima dengan ikhlas penempatannya di Ranai karena SK ini adalah hasil test PNSnya yang keempat. Tiga kali sebelumnya dia gagal karena memilih formasi kebutuhan kepegawaian yang tidak keluar dari provinsinya. Dan, ternyata dia tidak mujur. Gagal. Pada test keempat ini entah bagaimana tangannya langsung memilih kota Ranai. Dan dia pun lulus. Sebab itulah dia melapangkan dada dan ikhlas. Dia sadar yang memberikan rejeki adalah Tuhan. Pilihan dari Yang Maha Kuasa tentu yang terbaik.
Istri dan anaknya tidak ikut pindah ke Ranai. Istrinya juga seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah dasar. Anaknya masih kecil. Soal biaya hidup dan transportasi menjadi pertimbangan utama. Istrinya sepakat hanya dia yang ke Ranai. Hamdi berjanji kelak jika gaji yang diterimanya cukup baik, dia akan meminta istrinya untuk berhenti bekerja dan ikut dengannya tinggal di kota tersebut.
Beberapa minggu yang lalu sekolah tempatnya mengajar mengadakan pendakian gunung Ranai. Hampir semua guru ikut serta serta beberapa orang murid kelas akhir. Sebelum pendakian, sekolah menyediakan tes kesehatan. Hasil testnya sebenarnya tidak menyarankan Hamdi untuk ikut naik gunung. Dia dikhawatirkan akan susah bernafas. Begitu penjelasan singkat dari dokter yang diundang ke sekolah.
Hal tersebut ternyata tidak dipatuhi olehnya. Dia justru bersemangat untuk tetap ikut mendaki bersama guru yang lain dan murid-muridnya. Maklum dia pendatang di kota Ranai. Kegiatan seperti ini menurutnya bisa menambah keakraban dan bisa lebih membaur bersama pada pengajar lainnya yang lebih senior.
Semua berjalan lancar pada saat pendakian dimulai. Titik demi titik tidak menjadi halangan yang berarti baginya. Namun pada saat pendakian menuju puncak Datuk Panglima Husin, Hamdi sudah mulai merasa cepat sekali lelah. Paru-paru nya sesak. Dilihatnya jemari tangannya yang membiru. Irama jantungnya semakin cepat dan berdebar. Badannya seketika lemas. Tak ayal, dia pun harus berbaring di lintasan pendakian yang terjal. Beberapa ekor kekah memperhatikannya dari atas pohon sambil mengunyah pucuk daun, dengan sepasang mata tajam dan warna sekelilingnya yang menyerupai bingkai kacamata.
Mengetahui hal tersebut, kepala sekolah yang juga ikut dalam kegiatan itu memutuskan untuk membatalkan melanjutkan pendakian. Semua guru dan siswa segera turun dan mengantarkan Hamdi ke RSUD Natuna untuk dirawat. Hasil pemeriksaan awal di ruang IGD mengharuskan dia dirawat lebih intensif di ruang ICU. Diagnosa gagal pernafasan tercantum dalam lembar rekam medisnya. Belum genap enam bulan dia aktif sebagai guru bahasa Inggris, dia harus menerima kenyataan bahwa harus terbaring di ranjang perawatan. Ventilator pun selalu terpasang untuk membantunya bernafas dengan baik.
Sudah tiga hari Hamdi dirawat di ruangan ICU. Perkembangannya sudah memungkinkan dia untuk di rawat di ruangan. Dan benar saja, dia dipindahkan ke bangsal rawat inap penyakit dalam. Dinding ruangan warna hijau lemon menjadi dekorasi pertama yang menyentuh mata. Skerem atau kain pembatas antara pasien berwarna jingga muda juga hal pertama yang ramah menyapa mata.
Dia memandangi sekeliling ruangan sebentar. Bayangan perawat dengan baju biru sudah menghilang dibalik pintu. Nafasnya masih berat. Bulir-bulir kristal cair putih bening beberapa kali menggelinding di pipinya membasahi sarung bantal yang ia kenakan. Seketika hatinya terenyuh sedih. Dia terbaring sendirian, jauh dari teman-teman. Jauh dari keluarga. Jauh dari anak-anaknya. Sampai saat ini pun dia belum mau mengabarkan kondisinya kepada keluarga keluarganya nun jauh di seberang pulau sana. Dia tak ingin mereka sedih. Terlebih jika mereka tau dia dirawat tapi tidak punya biaya cukup untuk datang ke Ranai.
Sekitar empat puluh lima menit setelah ku mandang ashar yang dia dengar sayup-sayup, badannya tiba-tiba gemetaran, nafas terasa lemah seperti kehilangan kekuatan dari seluruh tubuhnya. Terasa meriang. Namun hal itu hanya sekejap saja. Hilang setelah dia mengingat mati. Membayangkan dirinya dimandikan, dikafani, dan disholatkan. Bulu kuduknya merinding beberapa waktu. Kemudian keadaannya kembali seperti semula, tanpa gemetaran, tanpa nafas yang melemah. Dia pun perlahan merasakan bisa kembali menggerakkan badan.
Semua bayang-bayang kesalahannya di masa lalu satu persatu membayangi fikirannya. Lafaz istighfar dan shalawat silih berganti membasahi bibirnya yang kebiruan gemetaran. Tidak bisa dia membayangkan jika perjalanannya di dunia fana ini tiba-tiba harus terhenti di Ranai. Jauh dari semua orang-orang yang dia kenal dari kecil sampai masa sebelum pendaftaran CPNS. Jika hal itu terjadi, dia harus pergi menggendong selangit kesalahan dari masa lalu. Sungguh sangat mengerikan siksa yang akan diterima.
Hari-hari terasa berat dia lalui di ruang perawatan. Sesekali kepala sekolah menjenguknya bersama guru lainnya. Anak didiknya pun beberapa orang menyapanya lewat pesan whatsapp.
“Hi, Mr. How goes the world?" Sebuah pesan masuk.
”I'm under the weather, still feel terrible“ Hamdi membalas chat siswanya.
”jangan lama-lama, Pak, di sana. Ntar kecantol sama perawatnya lagi“ ujar Nirana lewat pesan teks.
”malah mereka kayaknya yang kecantol, soalnya dua jam sekali mereka melihat saya“ balas Hamdi disertai emoticon ketawa.
”Waaah, bahaya ini. Sepertinya kami harus sering-sering jenguk Bapak di rumah sakit. Bahaya jika tiba-tiba diakui milik orang sana nantinya karena kelamaan dan ditumbuhi jamur rumah sakit. Wkwkwk“
”bisa aja kamu menghibur orang yang lagi sakit“
”loh, benar pak. Pengganti Bapak selama sakit ga asik, orangnya kaku. Ga bisa diajak becanda. Lagian mukanya terlalu familiar di Ranai seperti orang kebanyakan disini. Kalo Bapak kan enak, mukanya bukan muka sini“
”maksudnya muka Bapak spek museum gitu? “
”hahahaha iya Pak, unik. Ndeso tapi kota juga“ Nirana mengirim banyak sticker orang ketawa terbahak-bahak.
Dalam hati Hamdi masih harus banyak bersyukur. Meskipun dia sorang yang merantau dan daerah yang ditempati sekarang pun baru, dia masih disambut hangat oleh keluarga besar madrasah aliyah tempatnya mengajar. Namun, hidup tetap harus dijalani masing-masing orang. Tentu saja ujian dan cobaan juga berbeda setiap orang. Hanya kesadaran akan tujuan hidup sebenarnya lah yang bisa menguatkan dan memberi energi untuk melangkah melewati semuanya.
”Mr. Do you miss your Children? “ kembali pesan Nirina masuk. Pesan singkat dengan pertanyaan sederhana tapi mampu membuat Hamdi terheyak. Sebenarnya sudah ia bangun tembok yang cukup kokoh untuk mencegahnya keluar berhamburan. Meski bisa sedikit terobati dengan panggilan videocall. Namun semenjak dia terbaring di bangsal perawatan, dia menghindari video call dengan alasan telepon genggamnya sedang rusak. Musti menunggu uang lebih untuk bisa memperbaikinya.
”Absolutely“ jawabku singkat. Membayangkan anak yang selalu berlarian ke semua sudut rumah, yang mana iki punggung saat posisi sujud dalam sholat, yang suka berantakin mainan setelah diberesin. Ah, kangen ini sangat menyiksa. Namun dia memilih bertahan. Tak ingin dia sedih melanda mereka disana. Cukuplah jarak yang jauh yang selalu jadi topik pembicaraan.
”So, mengapa mereka tak datang menjenguk mu, Pak?" Kali ini pertanyaan Nirina menjadi serius. Kalimatnya membawa hawa dingin. Membuat pita suara mengecil berkerut. Tak ada suara yang dapat tercipta sebab angin yang dihembuskan keluar hampir tak menyentuh pita suara.
“You know, Rin, my family is underprevileged. Meski istri ku juga membantu mengajar di sebuah sekolah dasar swasta, hal itu belum cukup membantu. And, itulah alasan kami rela berjauhan. Aku di bumi Ramai ini, menerima amanah. Demi keluarga ku disana hidup dengan cukup” panjang balasan pesanku kali ini.
“Well, itu berarti Bapak tak punya keluarga di Ranai ini. Isn't it? Tanyanya lagi.
”You all are my families. Kamu, semua teman-teman mu, guru-guru, adalah keluargaku di Ranai ini. Kamu bisa perhatian dengan Bapak yang merupakan orang baru di Ranai, guru baru di sekolah, yang baru kamu kenal. Itu tanda kamu, kalian semuanya kelurga Bapak disini. Terimakasih banyak.“
Tiada kalimat balasan darinya lagi. Hanya emoticon sedih yang banyak dia kirimkan. Hamdi pun demikian, bedanya dialah yang menjelma emoticon. Dia terharu. Tuhan masih menyayangi nya. Kasih sayang-Nya dikirim melalui keluarga barunya di Ranai.
Hari menjelang magrib. Terlihat enam orang perawat menghampiri. Empat perempuan dan dua pria. Mereka kompak dalam seragam berwarna biru tua. Satu orang mengganti cairan infus, satu orang memeriksa tabung oksigen. Lainnya menjelaskan dan mengenalkan perawat pengganti untuk shift malam. Hamdi tak banyak bicara. Dia mendengarkan dengan seksama. Fikirannya sesekali terbang jauh pulang ke rumah, menemani anaknya bermain kereta-kereta. Apa saja yang bisa disusun menjadi kereta. Kemudian berakting selayaknya seorang masinis dan penjaga pintu. ”hati-hati, kereta mau lewat“. Dan kereta ingatan benar-benar lewat. Mengantarkannya sangat jauh dari rumah. Jauh dari wajah-wajah mungil tanpa dosa.
Komentar