BAB 3. PIRING BERSUSUN TIGA
“Praaanggg. . . ” Bunyi nyaring nampan besi beradu lantai rumah yang tersusun dari papan kayu. Beberapa piring kaca ungu yang besisi tumis kerang, gulai nangka, dan sambal goreng ikan gabus, bertaburan memenuhi ruang tamu rumah Yuk Sri.
Dari celah papan yang retak depan rumah Yuk Sri mata ku selipkan. Sepatu karet kubuka, ku pegang di tangan kiri. Ransel sekolah aku gantung di dahan pohon mengkudu yang tumbuh dua meter di depan rumahnya. Seorang lelaki berdiri bertolak pinggang sedang emosi dan mengarahkan jemari telunjuk berkali-kali ke arahnya. Yuk Sri duduk bersimpuh menunduk. Ujung kerudungnya yang berwarna hijau mulai terlihat basah. Semakin lama semakin deras tetesan air dari pipinya. Dia tidak berani membuka suara. Lelaki itu masih berteriak sambil menunjuk ke arahnya.
“Njok nale, kamu kira aku ini siapa?” suaranya bergetarkan terpal oranye yang dijadikan dek rumah. Njok nale maknanya seperti ungkapan jancuk jawa timuran namun dengan makna negatif.
“aku ini bangsawan, darahku biru” pekiknya.
Dua orang yang ikut bersama lelaki itu hanya diam namun ikut mengawasi dengan mata yang tajam.
“aku Andi Maraja, masih keturunan Datu Marioriawa. Berani sekali kau hidangkan makanan dengan piring hanya satu lapis! , itu sama dengan tidak menghargai ku sebagai bangsawan! ” kalimatnya masih dengan suara bergemuruh.
Salah satu kebiasaan yang pernah ada di masyarakat Bugis adalah adanya penanda untuk membedakan strata sosial dalam masyarakat. Untuk seseorang berdarah bangsawan terbiasa menikmati hidangan dengan piring berlapis tiga yang menunjukkan kedudukannya. Contoh lainnya adalah pada struktur bangunan atap rumah. Atap suatu rumah bisa bersusun dua atau tiga, tergantung strata sosial pemiliknya.
“Tabe', Taddampengeng ka', mohon maaf, mohon ampunannya. Aku tidak faham jika Daeng seorang bangsawan” Yuk Sri mencoba berbicara dengan terputus-putus bercampur lirih tangis yang disembunyikan dari wajahnya yang masih menunduk.
Mak Aji, nenek dari Yuk Sri yang duduk di depan Dafo, tungku kayu yang terbuat dari tanah liat, merasa iba dengan cucu. Namun apalah daya, dia sudah renta, penglihatan pun sudah tidak jernih, apalagi yang bertamu adalah seorang bangsawan. Dia tak punya apa yang sebanding. Hanya harap yang kuat kepada Maha Kaya dalam hati agar cucunya tidak dilukai.
“Engkau tidak menghargai Siri' ku, apalagi garis darahku. Engkau harus dihukum!!!” suaranya makin melangit. Tangan kirinya memegang dan mengangkat ke atas Kawali dengan sarung berwarna coklat, badik Bugis sepanjang dua jengkal.
Suasana semakin tak terkendali lelaki bangsawan itu tak terima Yuk Sri melayaninya sama seperti rakyat biasa. Beberapa cicak di sudut kiri atas rumah menatap sang lelaki, seperti tak terima tuan rumah yang mereka tempati di hardik dan diancam dengan Badik, meski belum dicabut.
Mak Aji Rugayya, cepat-cepat mendekap cucunya dari belakang. Dia tidak ingin cucuy kenapa-napa. Kalaupun terjadi sesuatu, toh dia sudah lama termakan usia. Cipo-cipo berwana hitam bersulam benang putih dan hijau sampai terlepas dari kepalanya. Rambut yang hitam tinggal beberapa, bisa dihitung jari, putih rambutnya yang kebanyakan mengisyaratkan usianya sudah tua, meskipun demikian, badannya blm bungkuk dan matanya masih terang, karena sering dicuci dengan huruf-huruf Al Qur'an.
Dua lelaki yang sedari tadi hanya diam terlihat bergerak, menghampiri Yuk Sri dan Mak Aji, menarik paksa lengan kirinya, memaksanya untuk sujud di kaki sang bangsawan. Aku Yang sedari tadi mengintip dari balik papan depan rumah sudah mulai tidak tahan. Kakiku mulai gemetaran seperti tidak menerima Yuk Sri diperlakukan seperti itu.
Aku mengendap-endap kembali ke jalan, berharap ada orang yang lewat. Jarak antara rumah satu dengan rumah yang lainnya tidak beraturan. Ada yang hanya berjarak lima meter, ada dua puluh meter, dan ada pula lebih dari seratus meter. Rumah Yuk Sri salah satunya. Cukup jauh dari rumah lainnya dan dihalangi oleh pepohonan kelapa dan pohon jambu bol putih.
Di kejauhan aku melihat Nabik, Ulla, dan Siming seperti baru pulang dari kebun, masing-masing membawa parang panjang dan pakka, alat bantu dari besi sebesar kelingking sepanjang satu meter yang ujungnya dibengkokkan 90 derajat dan runcing, digunakan untuk mempermudah petani membersihkan rumput tinggi dan belukar besar. Mereka baru selesai membersihkan kebun.
Aku terengah-engah menghampiri mereka sambil telunjuk kananku ke belakang, menunjuk rumah Yuk Sri.
“Ada apa Mal?” tanya Ulla dengan nada bingung, yang usianya jauh diatasku. Jika dia sekolah dia mgkin sudah kuliah, seperti orang-orang di kota.
“Lelaki yang baru datang dari Tana Ogi, beberapa hari yang lalu, mengangkat badik di depan Mak Aji dan Yuk Sri”
“Bener kah itu, Mal? ” tanya Siming sambil meneguk air putih dari wadah air yang dibawanya.
“Benar, Bang, kasihan ku lihat Yuk Sri dan Mak Aji” aku sudah mulai bisa bernafas normal
“lauk nasi dan piring berhamburan di hempas oleh orang itu” lanjut ku melapor
Warna muka Ulla berubah, nafasnya menjadi lebih kencang. Siming dan Nabik tau Ulla mulai emosi. Kami berjalan cepat ke rumah Yuk Sri. Tidak peduli bijian dari rumput ketul sudah memenuhi celana training yang dipakai, aku pun juga, lengket di kaus kaki.
Tak berapa lama, kami sampai di pintu rumah Yuk Sri. Aku tak ikut naik. Hanya mereka bertiga saja. Parang panjang dan Pakka tidak mereka lepas, tetap di pegang erat. Terik cahaya matahari merangkak masuk ke ruang tamu. Angin yang tadinya pun sepoi melewati dedaunan muda pohon nipah, ikutan bersiur ke dalam lewat jendela kiri yang terbuka.
“Eh, turunkan Badikmu! ” bentak Ulla
“oh, ada Ata yang berani membentak Tuannya” jawabnya sambil bertolak pinggang dan menyeringai sombong. Ata adalah sebutan untuk masyarakat Bugis yang senada dengan hamba, budak, atau kasta paling rendah.
“Kau, tau siapa aku ini?, seharusnya kalian juga sujud di depanku seperti dua orang ini” nadanya semakin melangit.
“aku ini Tuan kalian, sangat tidak hormat melayani majikan seperti ini. Apalagi kalian berbicara dengan nada tak sesuai ” kata-katanya masih jumawa.
“Ini Labuan Jelita, tanah Sumatra, bukan Tana Ogi, kesombongan mu mengaku bangsawan dan harus diperlakukan layaknya raja dalam istana tidak berlaku di sini. Desa ini dibuka kakek nenek kami dengan membersihkan pepohonan besar” Siming berucap dengan nada rendah namun menunjuk dengan Pakka.
Yuk Sri mengangkat wajahnya, melihat Ulla, Siming, dan Nabik memegang Parang. Mak Aji pun demikian, dia tambah hawatir. Hawatir ayam yang berhamburan di lantai rumahnya, yang sudah dimasak dan di goreng kembali berdarah setelah dicuci bersih.
“aku masih punya Lontara, yang membuktikan garis darah kebangsawanan ku” jawabnya masih menunggi.
“Itu tidak berlaku mutlak disini” Nabik menjawab.
“saling menghormati satu sama lainnya adalah hal yang baik, dan tetap dilakukan, tapi perbuatanmu yang gila hormat sampai merusak dan membuang rezeki yang diberikan itu justru yang tidak menghormati Yang Maha Pemberi Rezeki” sambungnya
Kedua lelaki yang mendampingi sang bangsawan kini ikut berdiri. Bahkan mencabut baiknya masing-masing. Raut mukanya yang garang senada dengan hitam warna Jas tutu' dengan kancing berwarna emas. Songkok Recca hitam terpasang pula dikepala.
“Kira-kira, mana yang duluan sampai ke leher, Kawali mu atau parang panjang ku ini? ” Ulla berkata dengan mata garang.
"Ditambah lagi masih ada Pakka yang biasa mencabik-cabik belukar besar sebelum diterbas dengan Parang“ sambungnya dengan nada yakin.
”Tak ku peduli, bagiku Siri' ku paling utama, meski harus mengalirkan darah“ Jumawanya tidak hilang. Ruang tengah rumah papan yang seharusnya dingin karena sepoi angin dari belakang rumah di tepi sungai, tidak terasa. Hawa panas siang hari semakin bertambah seiring percakapan mereka.
”Jadi, ingin kau coba tajam parang ku ini yang telah memotong ratusan batang Cenduduk dan leher babi-babi liar perusak kebun? " Suara bising besi beradu menghiasi kata-kata Ulla yang memukul bagian belakang parangnya dengan Pakka.
Siming dan Nabik ikut membenturkan kedua besi di tangannya. Merubah suasanya seperti di medan pertempuran yang di dekorasi tabuhan genderang perang. “Teng. . . Teng. . . Teng” bunyinya semakin rapat, menambah panas suasana. Aku mundur ke pohon mengkudu, meraih tas hitam. Khawatir jika situasi malah tak terkendali.
Mak Aji merangkak ketengah, antara para lelaki. Dengan muka yang melas dengan muka basah bersimbah air mata. Diaturnya nafas yang sudah berbunyi renta, Cipo-cipo dipasangnya kembali di kepala. Punggung ibu jari kiri mengeringkan mata.
“Sudah, lah Nak. Kami mohon maaf karena tidak tahu. Tolong sarungkan kembali Kawali mu. Tolong turunkan Parang Panjang dan Pakka mu. Cukup lah orang tua Sri yang sudah dibungkus kain putih di rumah ini. Kalian masih muda. Belum juga ada yang menikah. Sungguh hidup itu jauh lebih banyak yang harus dipersiapkan. Tidak sebatas Gelar dan Kekuatan.” Mak Aji berkata dengan nada lambat dan rendah.
“Angkuh dan Sombong itu bukan pakaian manusia, itu milik Penguasa Semesta. Tak kan sanggup manusia memakainya. Kalau pun ada yang mencoba, pasti suatu saat akan binasa” tambah Mak Aji kembali.
Perlahan siuran angin semakin banyak, mengurangi panas ruang tengah rumah kayu berwarna biru. Kawali disarungkan, Parang diturunkan. Sang bangsawan beserta kedua pengawalnya keluar dari rumah tanpa pamit. Tanpa kata maaf yang disampaikan ke Yuk Sri. Tanpa adanya penggantian piring-piring yang telah berubah beling. Lauk pauk yang sudah terbuang busuk. Mereka hanya berlalu. Seperti tidak punya malu. Padahal manusia itu masih sama saling butuh satu sama lainnya selalu. Tak ingat badan yang tak punya apa-apa sebenarnya, selain titipan dari Yang Maha Punya dan Maha Kuasa.
Aku kembali mendekat, masuk ke rumah Yuk Sri. Pecahan beling dan tumpahan makanan sudah bersih. Kini telah tersaji 2 nampan besar berisi lauk seperti semula. Uap nasi putih menggoda perutku yang sedari tadi mulai kosong. Kami berempat diminta makan siang di rumah Yuk Sri. Wangi tumis katu dicampur irisan labu kuning membelai hidung. Tidak ketinggalan ikan asin peda yang dibakar dengan bara arang batok kepala, disiram minyak makan asli buatan Mak Aji dari kelapa.
Kami santap dengan lahap, penuh cita rasa di ujung lidah. Begitulah rasa yang dipinjamkan oleh Pemilik dan Pencipta Rasa. Menghapus duka lara yang baru saja menyapa.
Komentar