Setelah kejadian di rumah Yuk Sri, yang belakangan baru diketahui oleh Datok e, sebutan untuk Kepala Desa, ramai warga membincangkan perangai sang bangsawan. Tidak sedikit ingin mengusirnya. Hiruk pikuk cerita itu ternyata di tangkap oleh perangkat desa. Datok e, segera memanggil tetua desa, Babinsa, Kepala sekolah, perwakilan pemuda, dan pegawai syara'. Hanya Pak Maje yang tidak ikut karena kendala perjalanan yang cukup jauh dengan penglihatan hanya sebatas suara dan tongkat di tangan.
Hasil musyawarah mengatakan sang bangsawan harus menghilangkan kebiasaannya itu jika ingin tetap tinggal di Desa Labuan Jelita. Atau, dia harus pulang dan meninggalkan desa selamanya, pulang ke Tana Ogi dan melupakan rencananya untuk menjadi Tauke besar kopra dan kelapa.
Hal tersebut pun disampaikan kepadanya, karena pada saat musyawarah dia tidak datang. Ternyata Siri' yang dimilikinya lebih besar dan memilih meninggalkan desa. Pulanglah dia kembali ke Tana Ogi. Dedaunan pohon nipah yang berbaris di sepanjang kanan dan kiri sungai tak henti melambai dengan riang. Seolah-olah berkata keputusan tersebut menjaga ketentraman Desa.
Beberapa bulan berlalu. kegiatan di desa berjalan seperti biasanya. Aku dan teman sebaya enam kali dalam sepekan berjalan kaki ke sekolah. Ulla, Siming, dan Nabik serta pemuda lainnya bergiliran saling bantu membersihkan kebun mereka. Pak Maje ke Masjid lima kali dalam sehari meski hanya dituntun tongkat dan sesekali suara warga menyapa. Pak Leman dan Sidik pun masih duduk di rumah jembatan menjelang jam makan siang. Masih sama.
Sang surya sedikit pendiam hari ini. Tidak garang dengan panasnya seperti biasanya. Dia lebih banyak mengintip dibalik awan. Cahayanya hanya sesekali menyapa dedaunan kelapa. Deretan anak nipah di sepanjang bibir sungai berwarna coklat mulai bermunculan diatas permukaan air. Memang sudah saatnya berjemur atau karena sudah tak tahan rasa geli di tempelin oleh udang galah atau udang lainnya seperti windu.
Dari kejauhan terlihat sepeda ontel kuning dikayuh dengan tergesa-gesa. Pak Modding yang bawa. Sepertinya ada berita dari balai desa. Aku yang duduk di jembatan pun menunggu sambil menduga-duga. Kabar apa gerangan yang dibawanya. Bunyi rantai kering bergesekan dengan gear belakang semakin jelas terdengar. Dia melompat dan menyandarkan sepeda ontelnya di batang pisang. Langkahnya yang cepat segera mencapai tempat duduk.
“Suletang menghilang, sudah dua hari tidak pulang ke rumahnya. . . ” dia tidak memberikan kami kesempatan bertanya. Yandi yang tadinya ingin memancing ikan gabus, meletakkan joran dari bambu kuning di lantai jembatan.
“mungkin dia menginap di pondok di sawah, makanya tak pulang” jawab Pitra yang juga bersiap memancing ikan.
"Tidak. Sudah dicari ke sana sama orang tuanya. Pondok di tengah sawah itu kosong“ Pak Modding menggerakkan tangan isyarat sia-sia.
”Atau dia Naik ke kecamatan, untuk liburan?!“ Pitra menyela.
”Tak mungkin, semua Pompong di desa hari ini tidak ada yang berangkat, semua masih ada di kandangnya. Dengan apa dia naik ke kecamatan? Tak mungkin dia ke sana“
Aku mendengar dengan seksama. Pun mulai berfikir. Kemana Suletang pergi. Dua hari itu cukup lama. Cukup untuk membuka kulit kelapa 1500 butir jika sendirian menggunakan Bajji, besi luncup menyerupai ujung tombak yang dipasang pada ujung sebuah balok kayu setinggi pinggang orang dewasa.
”Dia berangkat pergi mengaji setelah Maghrib, dan tidak pulang-pulang hingga dua hari ini“ Pak Modding menambah kan penjelasannya.
* * *
Suletang adalah adalah adik kelas ku. Dia masih kelas dua SD. Anaknya periang. Rambut hitam dan gimbal selalu disisir licin ke samping kanan setelah dipoles minyak kemiri. Perawakan tinggi kurus dengan nulis sawo matang, tipikal anak desa kebanyakan.
Rumahnya memang cukup jauh dari masjid tempat biasa dia mengaji, harus berjalan kaki dari rumah, menyusuri jalan tanah yang ada di sisi kiri deretan pohon nipah tepi sungai. Suasana malam tanpa listrik di desa cukup gelap. Rembulan pun belum waktunya menyapa dengan sinar lembutnya. Temaram cahaya dari obor yang biasa dia pakai hilang timbul diantara bebayang pelepah nipah dan pisang yang saling menari dalam gelap malam. Tentu suara sesekali suara seperti bayi menangis terdengar, jika seekor rakun merengek di malam hari. Atau suara seperti jeritan nada tinggi wanita yang tiba tiba-tiba muncul dari balik semak belukar, suara seekor rakun. Tentu jangkrik dan kodok pemanggil hujan tidak ketinggalan mewarnai suasana malam. Baginya itu semua sudah biasa.
Suletang harus berjalan sekitar tiga puluh menit, menyusuri jalan setapak yang gelap. Jarak antara ru. Ah satu dengan yang lainnya cukup jauh. Dia harus menyebrangi sungai. Naik ke jembatan kayu yang tinggi dan mulai rapuh.
Tidak seperti biasanya, dia melihat di sisi kiri jembatan ada rumah besar dan kelap kelip lampu bermacam warna. Di depan ruma tegak tinggi gerbang, kira-kira setinggi tiga orang dewasa disusun ke atas. Seingatnya tidak pernah ada rumah di samping kiri jembatan kayu di dusun lima. Yang ada adalah semak belukar tinggi diselang selingi dengan pohon pedada dan pohon nipah, tempat monyet hitam ekor panjang biasa bermain.
Warna warni lampu dan bunyi potongan bambu yang diikat di gerbang depan rumah dan ditiup angin malam menarik perhatian nya. Apalagi dari dalam rumah besar dan megah tersebut terdengar keramaian. Seperti halnya orang yang sedang hajatan. Langkah kakinya dihentikan. Diperhatikan nya dari depan rumah tersebut. Rumah batu besar dan kokoh. Sejak kapan ada rumah batu di desa ini? Sejak kapan ada listrik tanpa diesel dan Dinamo besar? Dia membatin. Jika pun ini pesta, kenapa tidak ada penjemput tamu di luar rumah seperti biasanya acara di kampung? Satu persatu pertanyaan muncul dalam benaknya.
Namun semua pertanyaan yang terbersit hanya berlalu seperti angin malam. Seketika dia bersuka cita. Merasa gembira. Seperti akan masuk ke sebuah pasar malam yang ramai akan makanan dan hiburan. Dia lupa tujuan awalnya, mengaji di Masjid. Dia benar-benar lupa. Matanya tertutup dengan keindahan di depannya.
Langkah demi langkah dia maju. Dengan pelan dia memasuki gerbang yang tinggi. Dia sedikit terperanjat melihat ke belakang karena jalan yang dia lalui tadi tidak terlihat lagi, berganti halaman rumah yang sangan luas, padahal baru satu langkah dia memasuki halaman rumah besar. Ditenangkan diri dengan memegang dada. Suara ramai riuh dari dalam rumah menghapus rasa takutnya.
Satu langkah dia maju serasa seperti telah masuk sepuluh meter. Langkah ketiga tiba-tiba suletang sudah berada di sebuah ruangan. Ruangan yang sangat megah, dengan meja panjang yang terbuat dari granit putih dan abu-abu. Ditengah meja tergantung lampu kristal yang indah layaknya di ruang makan raja-raja. Piring-piring bersusun rapi, buah-buahan berbagai macam berjejer indah. Tidak lupa segala rupa lauk pauk tercium harum seperti baru saja diangkat dari wajan. Tidak ada orang ramai yang dia temui, suaranya saja yang ada yang seperti menjauh masuk ke dalam ruangan.
Seketika datang seorang lelaki dengan perawakan yang sangat tinggi, tingginya tiga kali tinggi lelaki di desa. Lelaki dengan stelan jas hitamengkilap dan dasi kupu-kupu putih susu membawakan minuman dan makanan. Sebuah piring keramik berisi Leppe'-leppe' tiga buah diletak di hadapannya. Ini adalah salah satu jenis makanan khas masyarakat Bugis yang dibuat dari ketan yang dimasak kemudian dicampur dengan santan dan dibungkus dengan janur dari pohon kelapa.
Lelaki itu tersenyum hambar. Dengan mata yang lebih lebar dari mata manusia biasa serta mulut yang lebih besar. Namun masih terlihat normal, mungkin karena perawakannya yang tinggi. Dia membungkuk dan mempersilahkan Suletang untuk mencicipi, layaknya seorang pelayan di restoran.
Lembar demi lembar janur pembungkus Leppe'-leppe' dibukanya. Setengah potong dia masukkan ke mulutnya. Aneh rasanya. Tidak seperti pulut yang dicampur santan. Tidak gurih. Ada rasa lain tapi dia lupa atau karena baru sekali ini mencicipinya. Belum habis suapan pertama di mulut, kembali lelaki tadi meletakkan piring berisi mie goreng yang kelihatannya lezat sekali. Bentuknya lebih besar daripada mie biasa dan taburannya pun berbeda daripada yang biasa orang tua hidangkan di rumah.
”Mungkin ini kreasi masakan mie dari juru masak lain. . . “ dia membatin.
”Ini makanan tambahannya, silahkan. . . “ ujarnya dan mundur tiga langkah.
Suletang mencicipi mie goreng yang baru saja diberikan. Rasanya juga berbeda. Ada rasa yang dia tidak tahu. Berbeda. Belum pernah menyentuh Lida. Tapi dia lahap habis satu piring itu karena memang dia belum makan malam.
Setelah selesai penjamuan, dia hendak kembali ke Jembatan. Anehnya sudah berkali-kali mengelilingi semua ruangan, tidak satu pun pintu keluar yang ditemukan. Dia ingin bertanya namun lelaki tinggi tadi sudah menghilang. Barulah muncul rasa was-was. Baru merasa ada yang lain. Baru merasa yang tidak-tidak.
”Jangan khawatir, tinggal saja di sini. Anggap rumah sendiri. Toh, setiap hari juga akan diberikan makan. . . " Sebuah suara terdengar menggema di sepanjang lorong-lorong rumah besar dan megah itu.
Dia terduduk lemas di kursi tamu yang sepertinya terbuat dari kayu Jati berukir indah. Sekali lagi pandangannya mengitari sudut setiap ruangan. Terlihat ada celah kecil di kanan ruang tamu. Semayup dia melihat orang ramai di atas jembatan. Bahkan terlihat kedua orangtuanya. Bahkan samar-samar ramai terdengar suaranya dipanggil-panggil.
“Taaang, ooo anakku Suletang, dimana dikau berada. . .? Terdengar suara memanggilnya.
”Iyyek, aku ada di rumah besar ini, di sebelah kiri jembataaaaan. . . Dia berteriak membalas melalui celah kecil tadi. Mereka hanya berlalu, seperti tidak mendengar suara jawaban Suletang.
* * *
Sudah hari ketiga, Suletang belum juga pulang. Kini semua warga Desa Labuan Jelita menjadi resah. Semua pemuda perwakilan setiap dusun diminta membantu mencari. Bahkan acara berburu hama celeng pun ditunda. Semua kebun dan belukar didatangi, diperiksa. Tidak lupa tempat pemakaman umum pun diperiksa. Hasilnya sama. Tidak ada. Warga sudah mulai putus asa. Dan mulai berkembang cerita jika Datuk Belang , istilah untuk menyebut harimau di desa, yang mengambilnya.
Kedua orangtuanya sangat bersedih, salah satu anak laki-lakinya belum pulang rumah.
“Kasihannya anak ku, pergi mengaji, tapi belum sempat makan malam, pasti dia kelaparan. . . " Ujar ibunya sambil menahan air mata yang deras berjatuhan di pipi dengan jemari.
Pak Maje, dengan keterbatasan fisik yang dia miliki, tidak bisa ikut berkeliling keluar masuk kebun dan belukar untuk mencari. Namun, di hari ketiga dia meminta kepada kepala dusun agar ikut ke dusun lima. Ingin membantu, katanya.
"Ali, bisakah saya ikut bersamamu ke dusun lima?” tanya Pak Maje kepada Pak Ali, kepala dusun tiga, yang kebetulan lewat di depan rumahnya sambil berbicara dengan Siming.
“Biar kami saja yang mencari, fuang istirahat saja” jawab kepala dusun.
“Aku ingin membantu sesuatu, aku merasa kok ada yang beda. . . ” ujar Pak Maje dengan suara berat.
Siming dan Pak Ali saling bertatapan. Seperti mengerti orang tua yang selalu jadi imam di masjid ini seperti punya sesuatu. Bisa dicoba siapa tahu benar-benar punya jalan keluarnya. Obrol mereka sesaat.
“Baiklah. Pak Maje boleh ikut kami. Namun, kami hanya berjalan kaki, tidak membawa sepeda”
“Tak apa-apa” jawab Pak Maje singkat dengan senyum tulus di muka yang renta.
Tidak lama menelusuri jalan jalan setapak, malewati dusun empat, sampailah mereka di dusun lima. Terlihat ramai orang berkumpul. Pak Babinsa dan Kepala Desa pun ada. Mereka bingung harus mencari Suletang kemana. Semua tempat yang diyakini bisa dijangkau anak seumuran nya telah diperiksa. Namun, tetap tidak membuahkan hasil.
“Assalamu'alaikum. . . ” Ujar Pak Maje menyapa
“Wa'alaikumussalam. . . " Serentak ramai menjawab.
”Mohon maaf, Pak Kades, bolehkah saya mengusulkan sesuatu? “ ucap Pak Maje tanpa basa basi, mengingat hari sudah sore menjelang. Maghrib.
”Silahkan, Pak Imam. Apa usulnya? “ Pak Babinsa menjawab.
”tolong setiap orang yang ada disini dipinjamin sebuah fattafi “ jawab Pak Maje. Fattafi adalah sejenis tampah atau wadah menyerupai nampan besar yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasa dipakai untuk membersihkan sisa gabah dari beras.
Tanpa pikir lama, Datok e meminta semua warga meminjamkan barang yang dimaksud.
”semua yang memegang fattafi akan me membaca Surah Al Ikhlas. Setiap tiga kali selesai membaca, pukul fattafi tiga kali sambil memanggil nama Suletang. Kita akan menyusuri jalan dari rumahnya sampai ke Masjid tempat biasa dia mengaji. Tapi ingat, yang bisa membantu hanya Allah lah semata. Kita hanya berusaha dan berdoa“ Pak Maje memberikan penjelasan yang detail.
Mereka semua berangkat ke rumah Suletang di seberang sungai, dan memulai seperti instruksi Pak Maje. Sekita lima belas menit sudah berlalu. Belum juga ada tanda tanda. Bapaknya masih bersemangat bahkan lebih dahulu sampai ke jembatan tinggi yang terbuat dari kayu itu. Dibaca nya berulang-ulang suratul ikhlas seperti instruksi Pak Imam dengan penuh harap. Telapak tangan kanan menabuh Fattafi, sambil berteriak memanggil nama anaknya.
”Suletang, ooo Suletang. . . “ teriak Bapaknya memanggil.
”Bapak, saya ada disini, disamping Jembatan“ jawab Suletang dengan suara lemah.
Bersamaan jawaban darinya, rombongan pencari pun sudah sampai di Jembatan tinggi. Dengan mata yang berkaca-kaca Bapaknya menghampiri Pak Imam.
”Aku mendengar jawaban anakku. Dia bilang dia ada di samping kiri jembatan ini“ jawabnya penuh semangat sambil mengusap mata yang basah.
”tolong turun ke semak di samping kiri jembatan, bawa obor yang banyak agar terlihat terang“ perintah Datok e kepada semua orang.
Sekitar tiga puluh orang bersama-sama menuju sisi kiri jembatan. Tidak lupa suratul ikhlas dibaca dan menabuh tampah sambil memanggil namanya. Sesampai mereka semua di semak belukar yang tinggi, terlihat seorang anak yang kurus berambut gimbal. Matanya memerah sepet tidak tidur tiga hari. Mukanya terlihat sangat lelah. Dan pandangannya seolah orang yang kebingungan.
”Alhamdulillah, kembali jua dikau, nak“ ujar Pak Maje penuh haru. Bapaknya tiada berkata lagi. Diraihnya lengan yang kurus, dipeluknya dengan erat bahu yang tipis. Helai demi helai rambut disisir dengan jemari.
”Ayo, kita pulang. . . “ ajak Bapaknya
Suletang hanya mengangguk. Mereka keluar dari semak belukar tinggi itu dan berkumpul sejenak di atas jembatan. Pak Maje menjelaskan bahwa dia masuk ke rumah Kalimpau, sebutan yang sama untuk genderuwo. Orang yang keluar rumah tanpa persiapan, tanpa mengingat Allah, tidak memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa bisa tersesat. Sehingga setiap orang harus sadar dan merasa lemah, bahwa tiada yang bisa melindungi kecuali hanya Tuhan Yang Maha Menjaga. Begitulah nasihat Pak Maje sebelum mereka semua bubar. Aku hanya mendengarkan kisahnya dari Siming yang ikut mencari.
0 Komentar