BAB 5. OBAT YANG ANEH


Pagi yang cerah disapa dengan cahaya mentari yang hangat. Namun, jalan setapak desa yang belum di cor beton terlihat basah dan menggenang air di beberapa tempat. Hujan deras sepertinya tadi malam. Pada ujung-ujung rerumputan dan dedaun masih menggelantung tetesan embun seperti kristal bening. Di beberapa pelepah kelapa bertentangan anyaman rumput dan batang padi menyerupai terompet berkantung, sarang burung manyar. Celoteh kicaunya pun mewarnai suasana pagi. 

Hari ini adalah hari penerimaan raport. Sambil meneguk segelas air putih yang telah ditiup dengan bacaan Fatehah oleh Bapak, aku menunggu anak-anak lainnya yang melintas di depan rumah. Tak lupa Sanggara', goreng pisang, menemani waktu menunggu. Suara pembawa berita dari RRI terdengar samar dari dalam rumah. Suaranya merayap keluar dari radio merk nasional punya Bapak, radio AM. 

Tak lama berselang, terlihat Wawik, Sitti, Mattang, dan Pitra berjalan beriringan dengan seragam merah putih. Hanya Sitti yang mengenakan sepatu yang lebih bergaya. Wawik, Mattang, dan Pitra mengenakan sepatu yang sama, sepatu karet dengan model sepatu bola. Kami bergegas ke sekolah. 

Gedung sekolahku sepertinya telah lama berdiri jauh sebelum aku dilahirkan. Badannya sudah mulai melepuh, cat sudah berpamitan satu persatu di bagian depan kelas. Hanya ada empat ruangan. Ruangan kelas satu dicampur kelas dua. Ruang kelas tiga bersatu dengan kelas empat. Dan kelas lima satu ruangan dengan kelas enam. Yang terakhir ruang guru sekaligus ruang kepala sekolah, juga merangkap sebagai ruang perpustakaan. Pemandangan pagi sebelum jam belajar dimulai sangat normal melihat kambing berkeliaran di dalam kelas, karena pintu kelas yang hanya terbuat dari triplek tipis pun sudah hancur karena tempias air hujan. Bercak putih seperti kapur membentuk kelopak bunga atau seperti bintang yang meledak pun tak jarang ditemukan, kotoran burung hantu yang mendiami langit-langit kelas. Dek memang sudah bolong sebagian besar. 

Muridnya tidak banyak. Aku saja di kelas tiga hanya delapan orang. Aku, Suherman, Ridwan, Istain, Yandi, Diono,Mita, dan Sitti. Aslinya hanya bertujuh bahkan.

Mita adalah anak pindahan dari kota Jakarta. Jakarta yang katanya super wah. Tidak bisa terbayang bagi anak kampung seperti ku. Dia adalah anak salah satu orang yang mempunyai ekonomi mapan di Desa. Badan tinggi semampai, kulit kuning langsat, rambut hitam bergelombang sebahu. Selalu ada bando yang terpasang di rambutnya. Rumahnya yang meski masih terbuat dari kayu, namun mempunyai ukuran yang besar, ornamen yang bagus, bahkan ada keramik berwajah anak gajah yang ternyata sebuah kursi. Di samping rumahnya terdapat kolam berisi ikan-ikan indah. Dia orang kaya juga anak perempuan yang menawan. 

Istain anak kepala sekolah, Pak Tam. Menurut cerita Ibu Satina, yang berjualan di depan sekolah, Pak Tam berasal dari sebuah daerah yang cukup jauh, yang punya sebuah gunung Merapi, di Kerinci. Namun, Istain sedikit berbeda dengan kebanyakan masyarakat kerinci. Mungkin karena dia lahir dan besar di Desa ini, sehingga warna kulit kami sama, sawo matang, tidak putih layaknya warga di sana, cerita Bu Satina. Istain anaknya rajin belajar. Mungkin karena lingkungan. Kedua orangtuanya adalah Guru. Bapaknya kepala sekolah, ibunya wali kelas ku. 

Yandi anak dari Pak Imam di dusun empat. Perawakannya sekilas mirip orang Tionghoa. Kulit putih kemerahan, badan tinggi, mata sipit, rambut coklat panjang selalu dengan model belah tengah. Orang tuanya asli Desa sini, ibunya berasal dari Lampung. Dia memiliki fisik yang kuat. 

Suherman dan Ridwan tinggal di dusun lima, satu dusun dengan kantor Desa. Mereka berdua anak seorang petani kelapa, seperti kebanyakan masyarakat desa. Mereka selalu menjadi yang pertama mengajak kami untuk bermain sepak bola di depan sekolah atau bermain bola kasti di jalan tembok yang lebih luas.

Diono berasal dari desa sebelah. Perawakannya berbadan besar tinggi seperti Yandi. Namun warna kulit juga sama dengan kami, sawo matang. Rambut keriwil dengan mata yang lebar hitam terang. Alis lebat terpajang di atas kedua matanya. Bibir tebal yang jarang menyembunyikan deret gigi rapih nan putih jika tersenyum. Senyuman nya sumringah dan ceria. 

Sitti tinggal di dusun satu. Rumahnya lah yang paling jauh. Dusun satu berada di kuala simpang tiga, berbatasan dengan desa dari kecamatan lain. Dia seorang anak perempuan yang tangguh. Terlihat dari fisiknya yang lebih besar dari kebanyakan anak perempuan. Dia terbiasa membantu orang tua di ladang atau bahkan ikut memetik buah kelapa saat musim panen tiba. Sam denganku, berkulit sawo matang. Rambut hitam panjang sepundak. Jika dia tertawa atau tersenyum, bola matanya yang kecil pun menghilang, berganti gigi gingsul di sela bibir. Anak yang manis. 

Adapun aku mempunyai badan yang lebih kecil dari semuanya. Dahi lebar dengan alis yang tipis. Rambut antara hitam dan coklat yang jarang disentuh minyak rambut dan jarang disisir. Orang tua ku bekerja mengolah kebun kelapa milik Fuang, dan belum punya kebun sendiri. Bahkan, aku pun masih menumpang di rumah Fuang. 

Penerimaan raport kenaikan kelas kali ini tidak seperti biasanya. Kali ini yang menerima adalah anak didik sendiri. Tidak diwakili oleh wali murid sebagaimana biasanya. Semua kekurangan dan kelebihan murid disampaikan oleh Wali kelas. Ibu Rosma memanggil tiga orang yang menjadi terbaik tahun kenaikan kelas kali ini. 

“Mita, Istain, dan Sitti, silahkan maju ke depan kelas” Ibu Rosma memanggil tiga orang terbaik. Mereka berurutan yang jadi juara. Setiap orang diberikan hadiah, beberapa buah buku tulis, tentu merk Sidu, yang biasa dipakai. 

Aku menerka-nerka. Jika namaku tidak diantaranya ketiganya, berarti aku rangking berapa? Jangan-jangan rangking satu juga, tapi dari urutan belakang, aku membatin. Ah, tidak masalah, masih bisa ku kejar nanti. Aku mencoba menenangkan diri. Yang penting mau belajar, kataku dalam hati sok bijak. Dan ternyata namaku dipanggil paling terakhir. Jantung memompa darah dalam dada bertambah kencang. Ah, aku yang terakhir ternyata. Ku raih punggung tangan wali kelas, dan menciumnya. 

“Terimakasih Ibu, aku pamit pulang” ujarku setengah lemas setengah semangat. Buku rapor enggan ku buka. Seperti yakin sudah rangking terakhir. Ah biarlah. Aku berjalan pulang mengusul teman-teman yang telah dulu pulang.  

Rasa malu mulai menutupi mukaku. Malu jika kedua orang tua dan Fuang tahu jika aku peringkat terakhir. Meski itu baru sangkaan karena belum melihat secara langsung. Rumah ku lewati dengan kaki menjinjit, supaya tidak ketahuan. Aku hanya berhenti di depan rumah Pak Aji Tuwo. Sudah ada anak sebaya ku di sana, sedang memanjat pohon kelapa untuk memetik dogan. Mattang dan wawik. Sepertinya mereka kesusahan memanjat pohon kelapa yang tingginya lebih dari tiga tombak. Bahkan beberapa kali tergelincir kebawah. 

Terdengar suara tawa Pak Aji Tuwo yang dari tadi memperhatikan dari berranda rumah sambil menyeruput kopi hitam, melihat Mattang tidak berhasil meraih dogan. Tangannya melambai sembari tersenyum menggoda. 

“Kalian semuanya kesini, ada yang ingin ku berikan” nada Pak Aji memanggil dua kali. Kami bertiga pun naik ke rumahnya. 

“Apakah kalian tahu ada obat hebat penghilang sakit jika jatuh dari pohon kelapa? ” Pak Aji mulai berbicara dengan suara meyakinkan. 

“Maksudnya obat dari Bu Bidan di dusun lima ya Pak? " Mattang penasaran. 

”Bukan. Ini tidak pakai suntik. Gratis.“ jawabnya lagi. Aku hanya diam mendengarkan. Masih ada sekelebat bayang nilai rapor. 

”Jadi, seperti apakah obat hebat itu, Pak Aji. Mesti sangat berguna saat panen kelapa nanti di kebun" Wawik bersemangat ingin segera mendapatkan. 

Pak Aji Tuwo mengernyitkan dahinya yang gelap sembari kembali bertanya, 

“Kalian serius ingin mencoba? ”

“Yaaa. . . ” kami serentak menjawab

“Bongkar kayu lapuk yang di bawah pohon kelapa tadi, bawa kemari apa pun yang kalian temukan” ujarnya sambil menunjukkan ke arah pohon yang dipanjatkan Mattang tadi. 

“Baik Pak Aji. . . ” Wawik penuh semangat melompati tangga mendahului kami. 

Aku yang masih gelisah tidak bisa sepenuh ikut dalam suasana, meski badan tetap bergerak. Suasana di samping gudang penggilingan padi sangat nyaman sebenarnya. Lebih banyak pohon pisang batu yang tumbuh disekitarnya. Tumbuhnya subur. Mungkin karena tanah bekas pembakaran batok kelapa dengan media dedak. Dedak yang menjadi abu hitam sudah bercampur tebal dengan tanah. Lebatnya pisang seolah-olah menjadikan dedaunan nya balkon alami. Sejuk dan nyaman, sebenarnya. 

Mattang dan Wawik mengangkat kayu lapuk tersebut. Seketika bulu kuduk merinding melihat lipan ukuran sebesar jempol orang dewasa berputar di atas daun pisang kering. Meski takut Wawik dengan cepat memukul kepala dan ekor lipan besar berwarna gula batok itu. Aku yang pernah tersengat lipan yang ukurannya jauh lebih kecil tidak berani mendekat. Beberapa hempaskan pelepah kelapa tepat mengenai kepala dan ekor. Lipan berhenti bergerak. Sepertinya sudah mati. Dengan ujung pelepah tadi Wawik membawanya ke rumah Pak Aji Tuwo.

“Sekarang kamu bawa lipan ini ke dapur. Panggang. Masih ada bara api di tungku tanah” perintahnya. 

Kami bertiga benar-benar memanggang lipan besar tadi. Tak berapa lama aroma udang panggang semerbak mencucuk bulu hidung. Harum juga ternyata. Aku membatin. Meski demikian aku belum faham lipan yang di panggang ini mau diapakan, apakah akan dicampur minyak sayur bersama irisan bawang merah, kemudian menjadi minyak urut? Aku belum faham. 

“Pak Aji, lipannya sudah dipanggang, mau diapakan lagi? ” tanya Mattang

“Bawa ke depan, bawa juga air putih” ujarnya dari beranda depan. 

“Potong tiga. . . ” ujarnya kembali

“Lantas? ” kali ini aku yang penasaran

“Kalian makan lah itu lipan, kan baunya juga harum, seperti udang panggang katamu tadi” jawabnya sambil tertawa. 

“Tapi kan, ini lipan Pak Aji. . . ” aku masih enggan dan lidah terasa menolak. 

“Yang namanya obat, memang begitu. Apalagi gratisan. Ya aneh aneh memang. Daripada keluar duit bayar suntikan bidan yang mahal?! ” jawabnya sambil mencibir. 

Kali ini Aku, Mattang, dan Wawik tidak membantah. Potongan lipan yang sudah dingin pun masuk mulut dan tertelan. Aku tidak ingin membayangkan empat puluh kaki lipanasih bergerak-gerak di dalam mulut. Uweakkk. Jangan lirikan itu. Hanya aromanya yang membantu. Mata ku pejam. Udang bakar melintas dalam bayangan seiring memang baunya sangat mirip. Habis. Tertelan semua. Namun kami baru sadar sudah kena percaya dengan Pak Aji. Yang memperdaya pun tidak berhenti terpingkal-pingkal. 

Entah mengapa aku tiba-tiba berani membuka buku raport. Pelan dan pasti ku buka halaman yang telah diberi tanda oleh Bu Rosma. Terukir pola seperi bangku ku yang terbalik. Rangking empat. Dada ku elus mengucap hamdalah. Aku telah berburuk sangka. Dalam hati aku memohon ampun kepada Sang Pengendali Hati. Berburuk sangka secara tidak langsung kepada Tuhan sangatlah tidak benar. Sepanjang jalan pulang aku istighfar. Memohon ampunan.

Posting Komentar

0 Komentar