BAB 6. BOTTING-BOTTING


Jumlah gadis di Desa Labuan Jelita lebih banyak jika dibandingkan dengan anak laki-laki. Setidaknya yang seusia. Mereka banyak di usia sekolah menengah pertama dan menengah atas yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan. Bagi mereka, membantu orang tua di sawah dan di kebun lebih baik daripada menghabiskan waktu dan uang hanya untuk sekolah lanjutan. Tamat SD sudah cukup, asal sudah bisa membaca dan menghitung dasar.

Hiburan mereka pun hampir tidak ada. Paling banter jika ada layar tancap yang di gelar setahun sekali di lapangan sepak bola di dusun lima. Atau film India yang tayang setiap hari minggu jam sepuluh pagi hingga jam satu siang. Itu pun dengan TV hitam putih bertenaga Aki yang harus di lakukan isi ulang seminggu sekali di kecamatan. Bukan TV berwarna di rumah Ruli.

Usia mereka yang memasuki usia remaja dan jarang melihat dunia luar secara langsung, membuat kompleksitas budaya tidak terlalu padat. Namun, film yang tayang setiap hari minggu tersebut cukup membentuk karakter, terutama remaja yang perempuan. Tidak ada film tersebut yang absen tentang percintaan. Justru hal tersebut menjadi bumbu utamanya. Usia mereka yang belia seperti mahkota bunga yang mulai bermekaran. Persoalannya adalah remaja laki-laki yang seusia dan juga memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan, mereka jarang sekali terlihat di rumah. Lebih banyak mondok di sawah menunggu padi sampai panen, atau bahkan ikut ke laut sebagai nelayan yang pulang dua minggu atau bahkan sebulan sekali.

Keadaan demikian sedikit memaksa mereka yang hanya melihat film percintaan dari negeri brahmana, memasuki usia pubertas tanpa ada asupan pendidikan yang memadai. Bingung tapi harus dilalui. Alhasil tercetuslah ide nyeleneh. Seru-seruan. Membuat acara Botting-botting. Botting artinya penganten atau menikah. Botting-botting bermakna nikah-nikahan ala ala anak usia tanggung.

Yang jadi masalah karena aku yang diseret ke dalamnya. Satu-satunya anak laki-laki. Sebagai pengantin pria. Aku tentu menolak. Selain malu dan juga tidak tau ini mau di apain sama mereka. Serasa akan diospek masuk suatu perguruan tinggi yang panitianya perempuan semua yang usianya lima tahun lebih diatasku. Hanya satu yang lebih muda dariku, calon manten-manten perempuan. Aida namanya. Dua tahun di bawahku.

“Malluru, kemari. . .! ” panggil Diana dari jauh. Terlihat dia bersama lima orang lainnya sedang tertawa, raut wajahnya merencanakan sesuatu.

“Ada apa ya?” tanya ku

“ikut main ya, sama kita” celetuk Dewi yang mengenakan baju kaos orange dan rok selutut berwarna hitam.

“main? Tapi aku anak laki-laki, patutnya main sesama anak laki-laki lah” ujarku menolak

“ya sudah, dikau cukup membantu sajalah, sebagai pelengkap” Ratna menimpali sembari menggerak-gerakkan alis ke tema perempuannua yang lain.

Tawarannya aku sepakati. Hanya membantu. Tidak apalah, fikirku. Sebab Yandi dan dan Ridwan belum juga muncul, ingin memasang Bundre rencananya di hulu anak sungai. Bundre adalah alat penjerat ikan yang bentuknya mirip jaring penangkap kupu-kupu. Yang beda adalah ukurannya yang lebih besar. Biasanya berdiameter satu meter atau lebih besar. Ujung jaring yang diameternya hanya sejengkal biasanya lebih panjang. Itu berfungsi menghalangi ikan berbalik arah keluar karena terlanjur masuk jaring jauh ke dalam.

Mereka berenam membagi diri jadi dua kelompok. Diana, Ratna dan Ira menarik lenganku. Mengajakku menjauh. Indah, Dewi dan Rini tetap di halaman rumah seorang warga bersama Aida.

Halaman rumah yang dipagari dengan bunga kumis kucing dan bebagai bunga keladi warna warni, dibatasi pohon mengkudu yang masih muda. Di halaman rumah tersusun rapi kayu bakar yang sudah dibelah menjadi seukuran lengan yang mulanya dari potongan potongan kayu gelondong seukuran pohon kelapa. Angin sore mendorong pelepah kelapa kesana kemari, bak putri sedang menari menyambut tamu dari jauh.

“sekarang dikau bantu kami. Dikau berpura-pura sebagai pengantin laki-laki ya Malluru” bujuk Diana.

“Lha kok jadi manten? " Aku sedikit emosi.

”bukannya kalau yang namanya membantu tidak ikut langsung? Ini sama aja aku main juga“ sambung ku mulai ketus

”tenanglah Malluru, kan cuma main main saja. Calon pengantin ece'-ece'nya pun si Aida. Masih Sepupu mu juga.“ Ira membujuk ku untuk tenang dan agar tetap ikut rencana mereka.

”lantas, apa yang mesti aku lakukan? “ ujarku masih emosi.

Batu-batu kerikil putih yang terlepas dari coran jalan aku tendang mengenai serum yang biasa digunakan membakar batok kelapa. Bunyi berdentang keras tidak diacuhkan mereka. Bagi mereka Aku dan Aida masihlah anak-anak. Meski usiaku sekarang sudah sepuluh tahun.

Ratna menggandeng tanganku, sebagai pihak pengantin laki-laki. Kami berjalan kembali menuju halaman berpagar bebungaan aneka warna. Langkah kaki sengaja mereka pelan kan, meniru jalan peragawati di catwalk. seperti halnya memang benar-benar sedang mengantar mempelai laki-laki ke pelaminan. Bunyi kerikil beradu sesamanya ketika terinjak sendal jepit merk bowling dan yumaida seperti genderang penyambut tamu yang menggerutu.

Di kejauhan aku melihat karung-karung dedak padi telah disusun menyerupai sofa panjang. Di bawah rumah panggung setinggi seratus lima puluh senti. Kanan kirinya ditancapkan batang Cenduduk atau Senggani yang sedang berbunga. Kelopaknya mengembang berwarna ungu muda berjumlah lima. Ditengah kelopak ada tujuh buah benang sari warnakuning. Buah Senggani biasa ku makan. Manis. membuat lidah berwarna ungu. Daunnya yang muda biasa dicampur dengan daun pepaya ketika dimasak. Untuk menghilangkan rasa pahit.

Sampai lah kami di halaman rumah pengantin wanita. Terlihat Rini bersiap menyambut. Dia berdiri di samping pohon mengkudu, memegang kalung janur yang sudah disiapkannya.


”Engka kallolo asenna Malluru,

Mabbaju pute na mabaru,

Engka ka pole tiwi botting paru,

Magaretta taunna macawa cabberu'“


”Ada perjaka namanya Malluru,

Memakai baju putih dan masih baru,

Kami datang membawa pengantin baru,

Gagah orangnya tersenyum malu“


Ratna berhenti dan membaca pantun, layaknya acara adat sambut mempelai. Aku hanya diam. Diam karena bingung mau melakukan apa. Lenganku masih di gandeng kanan dan kiri oleh mereka.


”Anak dara asenna Aida,

tudang tammenyyek ki yase'na bola,

Botting burane fatteru ni tama,

Bara'na wedding irita tudang sippaddua."


“Anak gadis namanya Aida,

Duduk termenung di atas rumah,

Pengantin pria silahkan dibawa masuk,

Agar bisa kita lihat duduk berdua”


Rini membalas pantun Ratna, bermakna mempersilahkan rombongan mempelai pria masuk ke kediaman wanita. Riuh kicau burung manyar yang sedang membuat sarang di pelepah kelapa saling sahut. Seolah menikmati panggung drama prosesi nikahan ala bocah di halaman rumah. Janur yang tadinya sudah disiapkan Rini pun dipasangkan ke leher, menyerupai kalung besar raja-raja.

Aku pun dituntun masuk ke bawah rumah. Menuju kursi mempelai yang disusun dari karung-karung berisi dedak ampas padi. Aku pun didudukkan di samping Aida. Dia hanya diam sedari tadi. Pipinya merona merah jambu. Sepertinya dia malu. Namun, seperti tidak bisa menolak ajakan mereka untuk bermain panggung drama pengantin. Aku tidak merasa kenapa-kenapa karena memang Aida adalah masih adik sepupuku. Kami pun sering bermain kelereng bersama yang lainnya. Jadi aku biasa saja. Hanya saja aku heran melihatnya diam. Toh ini hanya menuruti mereka, hanya main-main.

Buah Cenduduk yang ada di samping kananku ku raih. Ku makan. Masih manis rasanya seperti biasanya. Dengan lidah dan mulut celemotan warna ungu, aku sodorkan ke Aida juga buah Cenduduk.

“aku tidak biasa makan buah itu” jawabnya singkat. Rambutnya yang sebahu dikuncir dua. Rok biru laut menutupi kaki hingga ke mata kaki. Kaos merah muda yang longgar menutupi badan.

Aku lanjut memakan buah yang tersisa. Tidak lupa buah yang ada di sisi kiri Aida. Aku ambil juga. Aku lupa jika merea sedang melihat kami dari jalan Desa, sengaja menjauh. Sengaja melihat dari jauh sambil tertawa genit. Entah apa yang mereka fikirkan.


“fada lesuni fole tasi'e pabbalewe,

Tiwi udang na bale de na cedde',

Agana nafigau akko furani botting tawwe,

Tamani kamara e sippaddua cece'-cece'.


”Para nelayan telah pulang dari laut,

Tidak sedikit udang dan ikan yang dibawa,

Apakah gerangan yang dilakukan pengantin baru,

Diam-diam mereka masuk kamar berdua“


Mereka berpantun sambil tertawa terpingkal-pingkal. Seperti menikmati suasana melihat kami duduk berdua. Mungkin beginilah cara mereka menghadapi masa pubertas. Karena terbiasa menikmati drama Hollywood yang penuh nuansa percintaan sampai-sampai merek sepakat mengerjai kami seperti ini.


”Bundre loppo ki yase'na sepeda,

Engka to leppe-leppe pole na sorong,

Aga memeng nafigau sippaddua,

Fada sappa i bale ceppe' na bale bolong."


“Bundre besar diletak di atas sepeda,

Ada Leppe-leppe juga disiapkan,

Memangnya apa yang mereka lakukan berdua,

Saling mencari ikan sepat dan ikan gabus”


Kembali mereka tertawa terbahak-bahak. Apakah mereka puas. Sepertinya belum. Seperti ada yang belum selesai bagi mereka namun tidak mereka minta. Baguslah. Cukup sebatas ini. Tawa mereka cukup menjadi harga. Harga masa-masa pubertas yang dijalani berbeda.

Mendengar mereka berkata demikian. Aku merasa sangat malu. Namun, aku tidak juga bisa marah karena telah menyetujui hal ini sedari awal. Hanya saja, aku tidak faham jika maksud mereka sejauh itu. Meski hanya seperti drama panggung. Tidak lebih dari itu. Masih saja rasanya tak pantas. Mereka sudah terlalu jauh. Terlalu jauh setidaknya untuk anak seusia ku dan Aida.

Samar-samar suara Yandi dan Ridwan ku dengar bercakap-cakap di kejauhan. Aku segera melarikan diri ke kebun kelapa di seberang jalan. Malu. Malu jika mereka melihatku dikerjai oleh para gadis tanggung, apalagi dijadikan Botting-botting. Sudah terbayang muka Yandi yang putih kuning langsat memerah karena menertawai ku. Jangan sampai mereka tahu. Aku jemput Bundre yang disangkut di sepeda Ulla. Dengan berlari diantara pohon kelapa dan pohon pisang. aku menunggu mereka di jembatan saja, aku membatin.

Manusia memang tidak pernah puas akan sesuatu. Jika hasratnya tidak tercapai, maka dia akan mencari suatu cara untuk memenuhinya, setidaknya mendekati dengan tujuan sebenarnya. Tak jarang jalan yang dipilih pun serampangan, tidak sesuai tuntunan agama. Asal sampai tujuannya. Meskipun hal tersebut bisa merugikan orang lain. Tidak peduli. Setelah itu dilupakannya apa yang telah dilakukan, tanpa sadar bahwa hal itu bisa mempengaruhi orang kedepannya. Nasehat agama dibutuhkan untuk memandu manusia yang salah jalan. Seberapa pun banyaknya kesalahan yang diperbuat, pilihan berbuat baik setelahnya bahkan lebih banyak. Tentu karena Yang Menciptakan dan Menjaga manusia dan seluruh alam adah Tuhan Yang Maha Pengampun, Maha Kasih dan Maha Sayang.

Posting Komentar

0 Komentar