BAB 7. BEKATAK, LUPAK, DAN CINDIL.

 


Adalah Labuan Jelita Dalam, nama desa yang berdampingan dengan desa ku. Penamaannya ditambah kata Dalam karena memang untuk sampai ke sana harus mendayung jauh lebih dalam melewati sungai di dusun satu hingga lima, melewati sungai tenang disamping pemakaman umum, hingga akhirnya sungai mulai mengecil di sebuah desa bagian dalam. Maka jadilah namanya Labuan Jelita Dalam.

Hal lain yang cukup berbeda dengan tempatku tinggal adalah arus airnya yang terlihat introvert. Tenang dari atas namun deras di bawah. Warnanya juga berbeda. Tidak seperti butir-butir lumpur ditiup ke atas membentuk mahkota air. Tiada terlihat hal yang sama. Airnya lebih bersih namun berwarna seperti hitam cincin di segelas es rumput laut. Mungkin karena Ph air yang rendah dibandingkan lainnya. Oleh karenanya semakin ke dalam arah dewan semakin sedikit ditemukan deretan anak-anak pohon nipah. Yang mulai banyak terlihat adalah pohon-pohon dengan akarnya seperti kaki jingkrak-jingkrak. Mirip pohon bakau.

Desa ini juga merupakan salah satu lumbung padi Kabupaten. Hasil panen padinya banyak. Dalam satu tahun bisa panen tiga kali. Hasilnya pun melimpah. Sawah di dusun tiga hanya bisa panen dua kali dalam setahun. Dalam satu hektar pun di dusun tiga biasanya hanya memperoleh satu ton lebih gabah kering. Di desa ini satu hektar sawah menghasilkan dua hingga tiga ton gabah kering. Hal ini dikarenakan Pak Bupati yang masih muda dan tampan layaknya artis sinetron merupakan lulusan luar negeri dengan gelar khusus terkait pengolahan pertanian. Wajar juga lah.

Hampir setiap rumah di desa ini memiliki setidaknya seekor anjing. Anjing penjaga rumah sekaligus anjing untuk berburu. Yang serupa adalah hal ini. Di dusun tiga juga banyak yang memelihara anjing untuk berburu. Juga rumah panggung dengan tiang tinggi hampir dua meter.

Pagi itu, terdengar kegaduhan di sebuah posiskambling. Anjing milik Lasokka mati digigit buaya saat minum di pinggiran sungai. Lasokka yang memang orangnya temperamen, angkuh dan suka berkata kasar ini berteriak sambil memukul-mukul dinding posiskambling yang sebagian terbuat dari seng bekas bongkaran rumah warga.

“Buaya kurang ajar, beraninya sama anjing aja” teriaknya sambil menendang dinding seng.

“hati-hati kalau bicara, Sokka, dibawah kita masih ada air” Baheru memperingatkan dia

“Emang kenapa kalau ada air. Air memang ada dimana-mana. Habis makan aja musti minum air. Apa yang salah? ”

“Sadar-sadar Ko, Sokka”

“iya saya sadar” sembari menepuk-nepuk air yang mengalir dalam parit kecil yang terhubung ke sawah dan sungai. Di menepuk terlalu kuat. Cipratan airnya membasahi sebagian celana training hijau yang dipakai Baheru.

“Kesal silahkan saja, tapi jangan juga buat pakaian orang basah” Baheru merepet.

Lasokka tidak menghiraukan repetan Baheru. Dia terus mengumpat dan menyumpahi buaya yang menggigit anjingnya. Anjing yang selalu menemaninya ke sawah. Anjing pemburu dengan bulu berwarna putihmenggoda. Si Lupak. Yang ikut kemana pun dia pergi, asal sudah turun dari rumah.

“Sokka, apakah dikau tidak pernah mendengar dari orang tua tentang penunggu sungai hitam ini? ” Baheru mencoba bertanya

“tentang apa yang dikau maksud? ”Sokka balik bertanya.

“menurutmu adakah penunggu sungai selai buaya? ” Sokka menjawab dengan gelengan kepala sekali.

“Kata orang tua, buaya itu makhluk kuat. Selain fisiknya yang kuat, pendengarannya juga kuat”

“pendengaran? hahahaha. . . Mendengar pakai apa? Kan tidak punya daun telinga hahahaha. . . ”

Lasokka kembali tertawa mendengar ucapan Baheru. Buaya bisa mendengar. Dia merasa lucu. Baheru hanya diam. Baginya itu tidaklah lucu. Justru wajahnya nampak semakin serius.

“E. . . Sokka, Talinge'kko. Sokka, sadarkan dirimu” Baheru berusaha memperingatkan

“Kata orang-orang tua, air adalah daun telinganya buaya. Dimana pun dikau berada asal masih berdekatan dengan air, dia bisa mendengarkan semua ucapanmu. Berhati-hatilah, Sokka. dia mungkin saja mendengarkan semua umpatanmu kepadanya”

“Manalah ada hal seperti itu, Baheru. Kalau pun dia muncul sekarang di hadapanku, parang panjang ini akan melayang ke kepalanya, sebagai ganti telah menggigit anjing ku” ujarnya sambil berlalu menyeret parang panjang di atas tanah jalan setapak.

                                                                                  * * *

Baheru anak yang rajin berkebun. Meski perawakannya yang lebih pendek dari lainnya, dia tetap nampak tegap dan kuat. Urat nadi berwarna hijau samar terlihat membentuk parit pada lengannya. Berotot. Rambutnya pendek rapat dan sedikit keriwil di ujung. Ada lesung pipit kecil di pipinya. Orangnya kaya akan inisiatif, cerdas. Dia tinggal di rumah pamannya, Pak Tanra. Masih Paman sepupunya.

Pak Tjandra dikenal di desa itu sebagai orang yang sangat kuat. Pasalnya dia pernah mengangkat dan memanggul kayu gelondongan sepanjang empat meter dengan diameter lima puluh centimeter sendirian dari hutan. Tapi, harus di malam hari.

Di balik anggapan masyarakat bahwa dia kuat, Pak Tanra punya masalah sebetulnya. Dia sedang sakit, mesek i, batuk seperti kena TBC. Dikarenakan hal ini pula, dia memiki kebiasaan yang pasti akan mengaduk-aduk isi lambung, memaksanya untuk keluar dari perut, bagi yang melihatnya.

“Baheru, tolong ambilkan kresek hitam di atas pintu luar dapur. . . ”

“Apa isinya, Om? ”

“Cindil” jawab Pak Tanra santai

Baheru tidak faham apa itu cindil. Yang dia tahu hanya cendol, di kasih santan dan air gula aren, seger. Kresek hitam pun diserahkan tanpa melunasi keingintahuannya dengan membuka.

“ini cindil apa cendol, Om?” tanya Baheru bertanya menggoda.

“Cindil ini obat mesek dan untuk menguatkan stamina. Kamu mau mencoba? ”

“Kalo untuk obat kuat, bisa dicobalah. Supaya kuat memanen padi, hahaha. . . ” ucap Baheru sambil tertawa tanpa menyadari dan memahami barang seperti apa sebenarnya yang sedang dibicarakan.

Pak Tanra mengeluarkan benda sebesar ujung kelingking berwarna merah muda. Benda yang masih menggeliat. Cindil. Anak tikus yang baru saja keluar dari perut tikus betina. Kaki cindil diikatnya dengan benang kuning. Dia menghadapkan wajah ke atas dan membuka mulut lebar-lebar. Cindil yang sudah diikat dengan benang di masukkannya ke dalam mulutnya. Ditelannya hingga melewati kerongkongan. Tidak sampai tertelan, ditarik kembali sampai keluar. Kemudian kembali ditelan dan dikeluarkan lagi. Hal itu dia lakukan tiga kali sebelum pada akhirnya benar-benar ditelan, dibantu dengan sepotong pisang lemak manis.

Baheru tidak bisa menahan lontong yang baru saja dia makan. Sepaket kuah lontong, sayur nangka dan telur rebus yang sudah terkunyah melompat deras dari mulutnya. Seketika kedua matanya merah berair. Sungguh suatu pemandangan yang menguras isi perut. Entah darimana pamannya mendapatkan ide mengkonsumsi cindil sebagai obat. Sangat tidak lumrah. Dengan kondisi menjijikkan seperti itu sudah dipastikan hal tersebut dilarang dalam agama. Apalagi masih ada obat lain yang tersedia, lebih aman dan nyaman untuk ditelan.


                                                                                      * * *


Hasil panen padi di Desa Labuan Jelita Dalam sangat melimpah. Bahkan lebih banyak dari musim panen sebelumnya. Kebetulan sekali dua bulan menjelang lebaran Idul Fitri. Petani bersuka ria dengan hasil panennya. Mereka berbondong-bondong mengangkut gabah padi yang telah dijemur kering ke gudang dan penggilingan padi.

Kegembiraan ini pun dirasakan oleh Lasokka. Menjadi penghibur hatinya setelah kehilangan Si Lupak. Dia pun mengemas dengan rapi berkarung-karung gabah kering yang siap untuk digiling menjadi beras. Namun sayang, gudang pabrik penggilingan di desa tersebut sudah sangat penuh. Tidak menyisakan lagi ruang untuknya.

Sambil menggerutu, karung berisi gabah kering di panggulnya ke sebuah Lofi, sebuah perahu sepanjang tujuh meter yang dibuat dari kayu gelondongan besar. Dicat hitam kelam. Penuh perahu di Sasaki berkarung-karung gabah padi. Berat. Hanya menyisakan tiga jari jarak antara permukaan air sungai yang berwarna hitam dengan dinding paling atas perahu. Untungnya keadaan air sungai memang tenang. Tidak seperti di hilir. Kadang berombak dan air keruh bercampur lumpur.

Lasokka duduk mendayung perahu di pangkal belakang. Pelan namun pasti bergerak melewati setiap jerambah warga di desanya. Sesekali pohon pedada memperlihatkan akar-akar yang berwarna abu-abu gelap menjulang ke atas, seperti tombak yang ditancapkan separuh. Menghadap ke dahan-dahan nya. Memperhatikan monyet ekor panjang memerik buah pedada.

Dia terus mendayung perlahan. Tidak boleh tergesa-gesa karena akan menimbulkan ombak yang memanjat dinding perahu yang tinggal tidak seberapa sisa. Sesekali burung elang melintasmelintas, bayangan kepak sayapnya tenggelam di hitam arus sungai. Semakin jauh dari desa semakin rapat terlihat pohon nipah, semakin banyak riak-riak kecil di sela pangkal sahamnya yang terbenam. Udang galah mencari nafkahnya sebelum mereka menjadi nafkah yang telah disiapkan oleh Robbul Jalalah.

Perahu Lasokka memasuki perbatasan desa. Sisi kanan bahu sungai adalah tempat pemakaman umum. Di bahu kiri sungai tumbuh sebuah pohon yang sangat besar. Dahannya panjang menggapai tepi tanah pemakaman. Rindang. Dedaunannya memayungi setiap apa yang di bawahnya. Menambah gelap warna air sungai.

Dari bawah akar pohon yang membentuk seperti mulut gua, tercipta gelombang kecil yang perlahan mengejar perahu Lasokka dari belakang. Dia tidak melihat datangnya ombak teratur itu. Matanya hanya fokus ke depan sembari mengimbangi perahu agar tidak kemasukan air. Perlahan dalam sunyi kedua mata dan muncung Bekatak, buaya sungai, terlihat melaju lebih cepat dari perahu. Ekornya yang panjang dan lebih lebar dari bilah dayung bergerak semakin cepat.

Kibasan ekornya, meskipun masih dalam arus sungai membuat getaran yang menyadarkan Lasokka. Dia menoleh ke belakang, melihat rahang besar berpagar deretan gigi tajam telah menganga. Badannya seketika kaku. Tak dapat bergerak. Hanya kepala yang bisa menoleh. Deru nafasnya sudah seperti knalpot diesel yang dipasangkan muter, alat peredam suara, minim suara angin kencang keluar.

Ekor buaya bekatak mengibas sangat keras, mendorong badannya yang lebih tiga meter terdorong melompat ke atas. Moncong yang penuh gigi seketika menjepit badan Lasokka. Nafas yang tadinya kencang mengeluarkan angin sunyi kini semakin perlahan dengan mulut dan hidung memuntahkan darah segar. Karung putih pun kini tersiram merah darah. Tubuh Lasokka terbawa sudah masuk ke gelap arus sungai. Sang bekatak memutar badannya seperti gasing, sedang memotong sesuatu.

Perahu hitam bergerak maju ke depan tanpa tuan di sungai berair hitam. Gabah padi yang ada dalam karung tersiram merah darah kini pun menghitam. Hitam karena meratapi tuannya yang kini menelan kata-kata gelap yang pernah diucapkan nya dahulu.

Telah dimaksudkan dalam kitab suci larangan manusia berjalan di atas bumi dengan sombong dan angkuh. Manusia ada yang mengerti dan melaksanakan. Namun kebanyakan dari mereka justru sebaliknya. Terlena di dunia yang fana. Manusia sudah disiapkan pilihan. Iman dan akalnya lah yang menentukan. Semakin sempurna imannya, semakin terarah akalnya, semakin baik langkah kakinya di bumi yang fana.

Posting Komentar

0 Komentar