Kematian Lasokka karena diterkam buaya bekatak di sungai perbatasan desa cukup membuat geger warga dua desa. Pasalnya, sungai tempat dia diterkam adalah sungai yang sama yang mengubungkan keduanya. Di dusun tiga sungai ini sering dijadikan tempat mandi dan bermain anak-anak seusiaku, Malluru. Atau sekedar menelusuri tepian sungai, menggerayangi pangkal pelepah nipah yang seperti kantung. Mencari udang galah.
Musibah tidak bisa dihindari, karena sudah ada tercatat di lembaran-lembaran di langit jauh sebelum semuanya di dunia ini ada. Kehidupan pun harus terus berproses dan berlanjut. Kelapa harus dipanen, padi mesti disemai, kopra akan di bawa ke tauke, aku masih harus bersekolah, dan yang lajang juga harus segera menikah jika sudah bertemu jodohnya.
Sabtu ini kebetulan tanggal merah. Sekolah libur. Jadi dapat dua hari prei. Namun justru karena libur, biasa digunakan untuk acara pernikahan. Alasannya sederhana, supaya banyak orang yang bisa datang ke hajatannya.
Aku dan dua orang diminta Madduppa, suatu kegiatan bertujuan mengundang masyarakat datang ke hajatan, biasanya resepsi pernikahan, dalam adat Bugis. Satu laki-laki dan dua anak perempuan. Aku memakai stelan celana kain berwarna hitam, kemeja panjang putih, yang dibungkus jas tipis berwarna hitam. Kopiah hitam terpasang di kepala. Di pinggang diikatkan Lipa' Sabbe, sarung sutera khas hasil tenunan Fuang. Warnanya ungu.
Dua anak gadis yang ditugaskan bersamaku mengenakan baju bodo berwarna merah muda dengan bawahannya berupa Lipa' Sabbe warna pink tua.
Kami berjalan berkeliling kampung. Mengetuk satu per satu pintu rumah. Mengucap salam dan memohon ijin untuk masuk. Sebagai orang yang Madduppa, menjadi kebiasan, kalimat yang diucapkan sudah dengan kalimat baku dalam adat. Pengucapannya pun harus cepat. Kata-kata yang diucapkan melesat seperti peluru dari senjata mesin.
“Tafarajangekka' dampeng,
Iyya' mi wakkeleki Aji Ali duppaiki'
Lao ri botting na wijanna, baja.
Burane, makkundrai.
Massima' na”
“Mohon maaf yang sebesar-besarnya,
hanya aku yang mewakili Pak Aji Ali
datang mengundang,
agar bisa kiranya datang ke acara
pernikahan anaknya, besok.
Mengundang Bapak dan Ibu sekeluarga.
Demikian. Aku mohon ijin pamit”
Setelah selesai kalimat paketan itu diucapkan. Aku letakkan kertas berlipat di atas anak piring, kemudian mendorongnya ke arah tuan rumah. Undangan diambil. Piring kecil dikembalikan. Begitulah seterusnya yang aku lakukan di setiap rumah. Dua anak perempuan hanya bertugas mendampingi ku. Rumah yang kosong, pemilik rumah belum pulang dari sawah atau kebun. Aku ambil satu buah daun kelapa, ku ikatkan di gagang pintunya. Yang punya rumah pasti faham bahwa ada yang datang mengundang untuk acara pernikahan. Dia tidak perlu merasa sungkan untuk datang ke acara.
Satu hari penuh aku berkeliling desa, mengundang satu persatu warga untuk datang ke hajatan. Bayang-bayang badan sudah lebih panjang daripada badan sendiri. Waktu ashar sudah masuk. Aku dan kedua anak perempuan pendamping pulang ke rumah yang punya hajat. Melaporkan kondisi, siapa saja yang tidak bisa ditemui secara langsung.
Ramai orang di pekarangan hingga di bawah rumah panggung itu. Beberapa pria menegakkan gapura yang dibuat dari bambu dan digantungkan tirai dari janur kuning. Beberapa lainnya memasang tenda dari terpal biru, melapisi tanah pekarangan dengan papan panjang berjejer. Wanita-wanita berkumpul di bawah rumah panggung yang tingginya hampir dua meter. Mereka bergotong-royong memotong daging ayam dan ikan untuk dimasak.
Aku menaiki sembilan anak tangga. Sekeliling dinding ruang tamu bagian dalam sudah ditutupi kain emas panjang dan mengkilap. Rumbai-rumbai aneka bentuk dan warna pun sudah tergantung di langit-langit. Di sebelah kanan sudah dipasang kalimat wajib dengan huruf kapital: MOHON DOA RESTU.
* * *
Tiga bulan sebelumnya. Langit mendung. Angin dingin bersiul diantara pelepah pisang di samping rumah jembatan di dusun tiga. Cahaya surya redup, terhalang awan hitam yang siap menumpahkan deras tetes air hujan. Namun. Tidak bisa dipastikan, tetes air yang mana yang lebih dahulu menyentuh bumi. Air hujan dari langit atau air yang asin dari bola mata yang berkaca-kaca. Dua anak manusia berbincang dengan rupa dan wajah serius.
“Jadi benarkah kabar yang tersiar ini? ” tanya Siming kepada Acce', kekasih hatinya. Meskipun hanya dia yang menganggap demikian.
“Kabar yang mana yang dikau maksud? ” Acce' balik bertanya.
“Sepertinya tidak harus saya jelaskan. Kemarin tah datang rombongan dari kecamatan. Utusan seseorang”
“Aku tak paham maksud ucapanmu”
“Ce', apakah dikau terima pinangan orang itu? ” Acce' membuang muka, tidak mau menatap muka Siming yang sudah basah.
“Itu keputusan orang tua. Aku sebagai anak harus patuh” jawabnya dengan muka masih menjauh.
“Ce', betapa hatiku ini penuh dengan harapan. Penuh sayang. Penuh rindu. Aku rawat ia baik-baik dalam hati ini. Tak pernah ku biarkan seorangpun masuk bertahta. Aku rela menunggu mu selesai SMA. Niatku juga sama. Memakai baju batik dan berkopiah menemui kedua orang tuamu. Tapi apalah daya. Orang lebih dahulu datang”
Air bening semakin mengajak sungai di pipi Siming. Dia pun, tak sanggup menegakkan kepala. Gemuruh kilat dan petir yang biasanya bersahutan di bawah awan hitam kini pindah ke dalam dadanya. Terasa sesak dada. Kalimat yang diucapkan terasa begitu berat menekan.
“Selama ini aku merindukanmu, Ce'. Sangat rindu. Ada dikau merasakan hal yang sama”
“Tidak. Tidak merasa rindu. Kita tidak pernah menjalin hubungan. Kita hanya bersahabat dekat dari dahulu” Acce' mulai menatap wajah Siming yang tertunduk lesu.
“Lantas magaimana jika rindu ini terus menderu selangit?” Siming berucap sambil mengangkat wajah menatap mata Acce' yang hitam bersih. Meskipun sedikit sipit namun seperti jendela yang luas jika dipandang. Alisnya lebat rapi, melengkung alami bak Sepasang bumerang kecil. Rambutnya yang tergerai panjang menutupi sebagian pipi yang putih kemerah-merahan. Bibir atas yang tipis dipangku yang bawah lebih tebal. Hidung yang tidak terlalu tajam tak pula sampai melebar. Topi Baseball Cap berwarna hijau dengan ventilasi jaring dibelakang yang juga berwarna hijau. Beberapa helai rambut panjangnya sesekali menutupi bibirnya yang cerah lembut, seperti warna jambu bol merah yang baru mulai matang.
“Rindu itu rindumu, tak sampai ia kepadaku" Acce' berucap sambil sedikit menambah jarak duduknya dari Siming.
”Begitu susahkah hal itu untuk sampai“ Siming berujar seolah tak percaya.
”Ya. Karena jalannya tak pernah ada. Kalau pun ada, mungkin hanya sebagai tanda bahwa aku manusia biasa, yang bisa tidak menjawab setiap rindumu kepadaku“
Kini hujan benar-benar turun menyiram dedak kering di depan gudang penggilingan padi. Hujan benar-benar deras menyiram jalan yang kering berdebu. Bunyinya keras mengetuk seng tua atap rumah jembatan. Menenggelamkan suara isak tangis Siming yang masih berlanjut. Kini mereka duduk semakin bertambah jauh. Dari yang awalnya hanya dua jengkal, kini satu duduk di ujung kanan, Acce duduk di ujung sebelah kiri. Menatap setiap butir air hujan yang tak dapat dia hitung.
* * *
Malam hari menjelang acara resepsi pernikahan. Tenda dari terpal biru sudah terpasang. Tikar sudah di tebar menutupi papan-papan yang bersusun rapi di pekarangan. Malam ini malam Mandre Lebbe dan acara Mappacci. Calon pengantin wanita mengulang proses khataman Qur'an di Juz terakhir dikenal dengan Mandre Lebbe. Jemari dihiasi dengan pacar atau inai beserta dekorasi cantik di punggung tangan di acara Mappacci atau malam berikan.
Tamu-tamu pun banyak berdatangan. Utamanya yang ikut bergotong-royong siang hari. Pemilik hajat menjamu mereka makan malam. Sebagai sedikit rasa terimakasih atas bantuannya.
Kappara' atau nampan besar yang terbuat dari besi atau Stainless Steel telah berjejer rapi memanjang. Lebih dari sepuluh. Semua sudah terisi dengan aneka lauk pauk, teh dan kopi manis. Bahkan disediakan sebungkus rokok gudang garam pada setiap Kappara'.
Aku tidak ikut bersila di depan makanan. Biar saja orang yang lebih tua dahulu. Aku lebih memilih berkumpul dengan anak-anak sebaya di rumah sebelah. Ramai. Seperti pasar malam. Ada juga tukang dadu goncang yang mengambil kesempatan membuka lapak, lima puluh meter dari tenda. Semoga goncangan dadunya tidak mengundang petaka.
Siming, Ulla, Barahing, Addi, dan Acing pun terlihat berkumpul di bawah pohon kelapa. Tertawa gembira selain Siming. Meneguk sesuatu dari botol coklat dengan gambar dua macan berhadapan. Anggur merah. Sepertinya Siming memilih menenangkan fikiran dengan cara yang lain. Aku mendekati mereka.
"Mal, cobalah dikau cicip ini. Minum seteguk saja” Barahing menawarkan anggur cap macannya kepadaku.
“Maaflah. Aku tak bisa” jawabku santai sambil senyum
“Tak apa. Manis ini. Warnanya juga merah. Pahitnya cuma sedikit diujung” mereka masih merayuku.
“Tidak lah. Tak boleh. Nanti hilang akalku”
Mereka tertawa terbahak-bahak sambil menunjukkan kearah ku. Kedua kakinya bahkan dihentak-hentakkan ke atas akar pohon kelapa yang menyeruak keluar tanah.
“Terimakasih. Aku tak minum anggur. Mabuk nanti. Lagi pun Pak Imam pernah bilang, kalau cap macan ini dilarang dalam agama kita, karena bisa hilang akal sehat, bahkan bisa lupa sama Tuhan Yang Menciptakan, Memelihara, dan Memberi kita rezeki setiap tarikan nafas"
”Sudahilah ceramah mu itu, Mal. Mending dikau ke dalam, ambilkanlah agak satu atau dua bungkus rokok“ Addi menyela
Aku meniggalkan mereka dan masuk ke barisan orang-orang di bawah tenda. Ku lihat ada dua nampan yang tidak dihuni, tidak ada yng bersila di depannya. Dua bungkus rokok ku masukkan dalam kantong celana kadorai bekas. Semua tamu terlihat ceria dan gembira menikmati santap malam yang disediakan. Angin malam yang menelusuri sungai sesekali singgah. Menjadi kipas alami nan menyejukkan.
Dua bungkus rokok ku serahkan kepada mereka. Siming masih belum berucap satu kata pun. Botol kedua sudah erat dalam genggamannya. Kepalanya hanya tertunduk. Sesekali menengadah hanya untuk meneguk anggur. Dia telah hilang dalam kesendirian perasaannya. Harinya meronta kecewa, yang dia puja memilih orang lain untuk hidup bersama. Perih hati tak berujung.
”Terimakasih, Mal. Nih, Fanta. Karena dikau tak mau minum anggur. Minum saja ini“ kembali Barahing berucap.
”Darimana dapat? “ tanyaku
”Sudah. Jangan banyak tanya. Ambil saja“ Ulla menambahkan.
Kuraih botol fanta. Memang sudah lama tidak minum ini, aku membatin. Lebaran pun masih lama. Jadilah. Air berwarna merah masuk dua teguk. Mata dan pipiku mengkerut seperi jeruk purut. Pahit di lidah. Mereka kembali tertawa. Menertawai diriku yang berhasil mereka kerjai. Aku telah meneguk anggur cap macan.
Hawa mulut coba ku cium. Sangat menyengat. Terbayang rotan Bapak melayang ke kedua betis jika dia mengetahui hal ini. Aku takut. Dengan panik aku mencari segenggam beras dan Super mie goreng untuk ku kunyah mentah-mentah. Agar hilang muka macan dari bau hawa mulut. Selamat. Bau menghilang. Tapi pahit masih tertinggal.
* * *
Keesokan harinya. Sesuai rencana hajatan, kedua mempelai telah duduk bersanding setelah melakukan akad nikah. Siming berusaha membesarkan hati melapangkan dada dengan duduk di bawah tenda, meski di sudut barisan paling belakang. Ditatapnya Acce' dari kejauhan yang sedang tertawa kecil menutup bibirnya yang merah merona, sambil berbincang dengan suaminya. Di atas kursi pelaminan. Ternyata sisa gemuruh hujan masih ada dalam dada Siming. Dia berupa mentahannya. Meski ada satu dua bulir bening yang terjatuh.
Itulah takdir. Jodoh adalah salah satunya. Ia adalah rahasia. Hanya Dia Yang Maha Rahasia yang memiliki perbendaharaan segala rahasia. Manusia membuat keinginan, Tuhan jua yang menetapkan. Ridha atas ketetapanNya tak jarang terasa pahit, namun itulah yang terbaik.
0 Komentar