BAB 9. KEMARAU SUDAH


Rumah Acce' berada di depan lapangan olahraga badminton di dusun empat. Rumah panggung yang semua bagian dinding luarnya di cat biru laut. Di beranda rumahnya ada kursi panjang tanpa sandaran. Muat untuk duduk empat orang. Di atas kursi panjang ada jendela. Entah mengapa jendelanya juga memanjang. Sama panjangnya dengan kursi. Daun jendela hanya satu. Tidak sepeti biasanya yang dibuka ke atas atau kesampin, tapi kebawah. Menjadi sandaran kursi. Kursi yang pas dipakai menonton pemain bulu tangkis.

Hampir setiap malam ramai pemuda memeras keringat mengasah ketangkasan menangkis bola bulu atau kok istilah mereka. Penerangan yang dipakai di lapangan menggunakan empat buah lampu strongkeng. Lampu manual berbahan bakar minyak tanah dan sedikit cairan spritus. Setelah selesai bermain, lampu dikembalikan ke rumah pemiliknya. Empat orang.

Siming juga sering memeras keringat disini. Jauh sebelum Acce' dipinang dan menikah. Sebenarnya supaya untung dua kali. Selain karena memang hobi olahraga, juga supaya bisa sering melihat wajah kekasih hatinya. Meski yang punya hati tidak mau mempersilahkan masuk. Cukup di beranda hati saja. Lagipula hanya itu satu-satunya lapangan yang ada di dusun tiga. Kalau pun ada, yang terdekat di dusun lima dan desa tetangga, di seberang sungai. Jauh memutar melewati jembatan kayu tinggi, bahkan melewati rumah Suletang.

Suami Acce' jarang pulang ke dusun tiga, kadang dua minggu sekali atau sebulan sekali. Dia harus mengurusi usaha orang tuanya di kecamatan. Menjaga sarang burung walet untuk dipanen dan juga lapak pasar ikan. Apalagi jika mendekati waktu panen sarang burung walet. Bisa lebih sebulan ia tak pulang.

Sudah tiga bulan hujan tak datang sekedar menghilangkan debu di jalan. Derum-derum wadah air hujan sudah kering. Semua orang kebingungan susah air minum. Ada yang mencoba memasak air sumur gali yang ada di tengah kebun kelapa. Tak bertahan. Mereka tak tahan rasanya aneh dan kelat di tenggorokan. Akhirnya dicobalah meminum air sungai. Air sungai yang berwarna coklat karena lumpur. Air didiamkan satu hari dan dimasaklah yang sudah jernih. Ini pun tak enak. Banyak yang muntah. Rasanya lebih kacau saat melewati lidah dan tenggorokan.

Kepala desa sudah membuatkan sumur bor. Namun, itu hanya ada di dusun lima. Hanya satu. Tidak ada pilihan lain selain menggotong air dari sana ke setiap rumah. Agar bisa kiranya masak dan minum lebih baik. Setiap satu rumah hanya boleh satu orang perwakilan yang mendapatkan jatah air.

Air bersih tinggal dua liter. Suami Acce' tidak ada di dusun empat. Tidak ada yang bisa mengambilkan air. Tidak kuat ia memikul jerigen dua puluh liter yang penuh dengan air dari dusun lima ke rumahnya di dusun empat. Perjalanan lebih dua kilometer. Dia pun gundah. Bingung. Andai saja suaminya ada. Atau minimal ada yang bisa membantu nya.

Siming dan Barahing berangkat membawa jerigen putih. Debu bercampur pasir berterbangan ditiup angin pengap. Langkah mereka tidak menghiraukan. Biarpun panas, air harus dapat.

Acce' sudah mengira bahwa Siming pasti akan melewati rumahnya. Dia berdiri disamping rimbunnya bunga kembang sepatu merah muda, senada dengan pipinya yang putih kemerahan. Panas membuat kulitnya mulai kering. Tak dihiraukan. Ada yang lebih penting. Jangan sampai terlewat. Siming melintas.

“Boleh mampir sebentar?" Pinta Acce' tiba-tiba kepada Siming. Wajah Siming memandangi mata Barahing, bertanya tanpa kata. Barahing menjawab dengan anggukan ke kanan. Menyetujui permintaan Acce'. Dia pun menghampirinya. Tidak ingin terlalu dekat. Siming berusaha menjaga etika. Sebuah jerigen yang sama Acce letakkan disampingnya. Tanpa kata. Tanpa kalimat. Tanpa nada dan suara lanjutan. Hanya matanya Acce' yang sendu menatap wajah Siming. Mata yang seolah memohon bantuan yang sangat.

Siming tak butuh satu kata pun, apalagi kalimat. Tak juga menunggu ada suara atau nada yang keluar. Sama sekali tidak. Dia sangat faham semua bahasa tubuh Acce'. Cukup hanya dengan melihat ke dalam jendela  kecil nan indah itu, bola matanya. Dia sangat faham. Baginya itu adalah penghargaan. Itu adalah trofi yang bisa dipajang di bilik hati. Dia melangkah mundur sambil menundukkan wajah. Tangannya meraih jerigen milik Acce'. Dia pun berlalu bersama Barahing. Menjemput air bersih. Menjemput harapan meski tak sampai.

Hawa pengap sangat terasa. Terbawa oleh angin siang melebur dengan debu. Kesempatan pula bagi petani untuk menjemur gabah, Membuat arang batok kelapa, atau mengeringkan ikan jadi ikan asin. Di sisi lain, kekurangan sumber air bersih untuk minum memaksa warga memanggul air dari dusun lima. Bisa saja mereka memakai perahu. Sepertinya kejadian di sungai perbatasan desa masih membuat warga berhati-hati.

Sang surya sudah mulai turun ke peraduannya, membawa serta sedikit demi sedikit hawa panas yang menyengat. Perlahan bayangan Siming dan Barahing memikul jerigen penuh air sudah terlihat. Peluhnya membasahi kemeja hijau lengan pendek yang dia kenakan. Sandal swallow pun sering lari dari telapak kakinya karena licin air keringat.

Acce' sudah menunggu kembali di samping rumpun kembang sepatu. Jerigen diletak di samping derum plastik biru tua, di samping rumah nya. Dari dapur keluar Bu Ajeng.

”Jangan pulang dulu, Ming. Mampir istirahat dulu. Sudah ibu siapkan makan siang. Meski sudah mulai sore" Ujar ibunya Acce' dengan senyum ramah. Siming hanya membalas senyum dengan muka terasa tidak nyaman.

“Tidak apa-apa, Ming. Ajak juga Barahing sekalian” sambung Bu Ajeng, seperti faham apa yang ada dalam benak Siming.

Rasa lapar, letih, senang bercampur tidak nyaman membayangi dirinya. Sekali lagi dipandangi wajah Acce' yang berdiri dua meter darinya. Acce' hanya memberi isyarat anggukan kepala dengan pelan. Angin yang lewat menarik rambutnya yang panjang sebahu, menutupi wajahnya yang halus. Barahing yang tidak ikut naik, masih di pinggiran jalan, tersenyum lebar dan mengangkat dua jempolnya ke arah Siming.

Banyak hal yang membuat Siming senang sekaligus merasa tidak nyaman. Betapa tidak, itu adalah rumah pujaan hatinya. Dia berdiri disitu, kembali bertemu dengan jarak dekat. Disediakan makan oleh orang tua dari orang yang dia kasihi selama ini, yang kini sudah dimiliki orang lain. Betul sih. Dari dulu juga mereka bersahabat. Dari dulu juga pernah berbincang dengan orang tuanya. Namun, diajak istirahat melepas letih dan disiapkan makan di rumah, barulah pertama ini. Sementara itu, badan yang terkena panas udara siang sambil memikul beban cukup lama, membuat perutnya berbunyi. Sudah lapar. Jam makan siang pun sudah lewat.

Di sebuah meja kayu yang bulat, telah tersaji makan siang yang sederhana namun lengkap. Barahing yang juga lapar tidak ingin bercakap banyak. Baginya rejeki disaat seperti ini jangan sampai terlewat. Dia hanya menggoda Siming dengan menyenggol kan sikunya. Siming tidak merespon. Dia menghargai masakan yang telah disiapkan. Suap demi suap nasi disiram bening labu kuning dan sayur katu memenuhi perut yang kosong. Tumis pare dicampur telur juga menemani. Mereka lahap menyantap. Asap pembakaran tempurung kelapa menyelinap masuk, membuat mata kering bahkan mulai merah berair. Tapi, tidak jelas apakah bola mata yang memerah itu benar karena asap atau membayangkan dirinya setiap hari bisa bersantap siang bersama Acce'. Tak jelas dan tidak perlu lagi dijelaskan. Semua sudah bercampur. Hatinya pun dipaksa dengan keadaan menjadi kemarau sudah.


                                                                            * * *

Seperti biasanya Pompong bergantian menjadi kendaraan pergi dan pulang dari Kecamatan. Warga yang berbelanja kebutuhan atau menjual kopra atau hasil lainnya sekaligus di bawa. Kali ini Pompong milik orang tua Ruli yang berangkat. Tentu Ruli ikut juga. Ikut membantu Bapaknya mengatur barang dan mengutip ongkos penumpang. Atau terpaksa harus turun ke sungai berbekal tali tambang dan parang, untuk membersihkan sampah pelepah nipah yang tersangkut di kemudi atau kipasnya.

Pompong akan berlabuh di dermaga, dekat dari tempat pelelangan ikan. Dermaga itu pula merupakan salah satu titik kumpul yang ramai dipenuhi oleh masayarakat berbagai desa. Mereka juga sama. Sama-sama petani yang berbelanja kebutuhan pokok. Hiruk pikuk suara mereka yang sedang menawar barang menambah ramai suasana. 

Selesai membongkar kopra di gudang Tauke Cina, Ruli mampir di warung sebelah kanan Masjid. Menyantap sate padang dan segelas es tebu. Melepas dahaga dan menambal perut. Kendaraan bermotor yang belum begitu ramai, yang punya sesekali melintas di depannya.

Ruli terhenti makan. Dilihatnya dengan jelas lelaki yang baru saja turun dari motor, mirip seseorang. Dia membonceng seorang gadis yang masih berseragam putih abu-abu. Roknya sempit pendek diatas lutut. Lengan bajunya pun digulung hampir ke bahu. Rambut panjang diikat ke belakang. Ditatap kembali lelaki itu, tidak salah. Itu adalah suami Acce'. Dia tidak melihat ruli sedang makan di meja dalam. Dia sibuk bercakap-cakap dan tertawa bersama gadis itu. Segera sisa minuman di habiskan dan cepat pergi meninggalkan warung. Ruli tiba-tiba teringat teman sekampung, teman yang berharap hidup seorang gadis desa nan anggun, yang mimpinya hilang karena garis kehidupan berkata lain.


                                                                          * * *

Sudah hampir tiga bulan tak kunjung pula air yang sejuk turun dari langit. Sungai pun sudah mulai berubah rasanya. Yang sebelumnya tawar rasanya berubah menjadi payau. Sepertinya Angin Muson sudah menyambangi Desa, membawa hawa panas gurun dari negeri yang luasnya satu benua. Entah apa yang menariknya ke Desa ini. Padahal angin di sini sudah cukup ramah bersama kami. Ataukah dia tertarik dengan lambaian dedaunan pohon nipah yang berjejer di sepanjang singai? Atau tertarik dengan pohon pedada yang akarnya menyembulkan jarum tumpul sepanjang satu depa? Atau tertarik dengan buahnya yang berwarna hijau yang dibungkus kelopak bunga seperti bintang tujuh dan berekor di ujungnya? Atau tertarik dengan daunnya agar Muson Timur tidak kena reumatik dan bisa pulang kampung ke gurun asalnya? Entahlah. Yang pasti Di desa kemarau sudah lama.

Di bawah terik sinar matahari, Ruli berpapasan dengan Siming yang baru pulang mengangkut air dari dusun lima. Bajunya basah dengan peluh.

“Ming, dikau harus tau ini” Ruli langsung membuka suara

“Emangnya ada apa? ” Siming terlihat tidak begitu peduli.

“Sesuatu yang penting terkait Acce'”

“Sudah lah Dikau jangan ungkit-ungkit hal itu. Sudah jadi lembaran masa lalu. Sudah sah dia dengan orang lain” ujar Siming sambil membuka baju kaosnya dan memeras keringatnya.

“Aku melihat suami Acce' membonceng gadis lain di Kecamatan, kemarin” Ruli sangat bersemangat dengan muka serius

“Mungkin saja adiknya sendiri” jawab Siming datar sambil kembali mengenakan baju yang telah diperasnya itu.

“Kan semua pada tahu, saudara suaminya laki-laki semua. Tidak ada yang perempuan”

“Atau mungkin tetangganya minta tolong diantarin sama dia” Siming belum mau berfikir yang tidak-tidak.

“Ya bisa jadi. Tapi mereka berdua seperti akrab sekali, pakai pegangan tangan lagi. Gadis itu memang cantik juga, masih pakai seragam putih abu-abu, mana roknya seksi, lengan baju pakai digulung segala. Untung ketiak tidak sampai kelihatan” ujar ruli meyakinkan Siming.

Bunyi angin mendesau diantara pepohonan. Menghembuskan debu ke udara yang panas. Siming yang tadinya tak acuh, kini mulai mendengarkan dengan serius.

“Ming, apakah dikau dapat membayangkan perasaan Acce'? ” tanya Ruli

“Membayangkan bagaimana? Sudah jelas dia hanya menganggap aku sahabat. Tidak lebih” jawab Siming sedikit ketus.

“Aduhai. Bukan itu yang aku maksud”

“Lantas apa? ”

“Jika dia mengetahui kelakuan Suaminya di kecamatan sana” jawab Ruli kembali

“Aku tak mau membayangkannya. Tambah berat nanti fikiran ini”

“Sudah lenyap sayangmu kepadanya? ”

“Jangan tanya itu lagi. Tak patut aku. Tak seharusnya lagi. Dia sudah menikah.” Siming berkata sambil mandangi pucuk pohon kelapa.

“Tapi apakah Dikau tega jika hatinya hancur retak seribu, bak cermin yang jatuh di atas tanah? ”

Siming tidak menjawab. Tatapannya semakin jauh. Entah sampai mana tatapan itu. Entah memang sudah jauh ke langit sana atau sebenarnya berbelok ke rumah biru di depan lapangan olahraga, di sana. Ruli faham jikalau Siming tak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Namun, dia pun faham bahwa sahabatnya ini masih sangat sayang kepada Acce'.

Dibiarkannya Siming melanglang buana dengan tatapan jauh. Ruli hanya menemani sahabatnya itu. Tak berapa lama Siming pamit. Tak menanggapi lagi pembicaraan. Badannya yang letih mengajaknya untuk segera rehat di rumah.

Takdir untuk setiap anak manusia sudah ditetapkan oleh Yang Maha Pencipta. Tidak akan ada yang meleset sedikit pun. Siming menjalani takdirnya, tidak seperti inginnya saat ini. Itulah adanya, dan memang harus diterima sebagai bukti bahwa dia beriman atas takdir yang diberikan untuknya.

Posting Komentar

0 Komentar