BAB 10. TEBU YANG TAWAR


Setelah dengan panjang lebar Ruli menceritakan yang yang dia lihat di kecamatan, namun Siming hanya terdiam. Ruli memutuskan untuk pergi ke dusun empat pada malam harinya. Dengan kaos olahraga dan sebuah raket Yonex. Suasana malam lebih dingin daripada biasanya. Gerimis turun sangat halus tapi tetap membawa angin dingin. Membalas hawa panas di siang hari. 

Angin yang kencang dan gerimis menahan para pemuda untuk turun ke lapangan. Mereka hanya berkumpul di teras rumah-rumah warga sekitar lapangan. Kesempatan sekali. Ruli memilih duduk di rumah Acce'. 

“Suamimu belum pulang juga dari kecamatan ya? ” tanya Ruli kepada Acce'

“Belum. Sepertinya dia sedang panen sarang burung walet”

“Tak inginkah dikau menyusul ke kecamatan barang sehari atau dua hari?”

“Aku takut mengganggu konsentrasi nya di sana. Biarlah. Nanti juga kalau sudah selesai pekerjaannya akan pulang kesini”

Ruli mendengarkan. Dia masih ragu harus mulai darimana menyampaikan berita itu. Semakin lama gerimis semakin besar dan akhirnya hujan turun. Tempias air dari langit menyapa wajah semua orang yang ada di beranda. Seperti menyampaikan pesan bahwa seberapa pun panas karena kemarau, mesti suatu saat hujan akan tetap turun. Karena Sang Pemelihara lah yang menjamin semua kebutuhan semua makhluk hidup. Setidaknya melepaskan dahaga pepohonan, rerumputan dan bumi yang telah berpuasa selama hampir tiga bulan. 

“Ce', ada yang harus aku sampaikan kepadamu. Berita. ” Ruli memutuskan untuk memberanikan diri. Acce' menoleh dengan sebagian pipinya tertutup rambut tipis. 

“Berita apakah itu?”

“Tentang suami mu di kecamatan”

Lengan yang disedekapkan di dada Acce' turunkan. 

“Aku melihatnya mesra berboncengan dengan gadis lain” ucap Ruli dengan nada perlahan. 

“Jangan bilang kalau dikau mengarang cerita ya. Aku faham dikau sahabatnya Siming. Jangan cerita yang tidak-tidak hanya karena ingin membantu sahabatmu mendapatkan impiannya.” Acce' memalingkan muka kembali namun berbicara dengan nada yang lebih tinggi. 

“Aku tidak bermaksud merusak keluarga mu dan tidak ada mengaitkan juga dengan Siming. Iya sih benar kemarin aku menemui dia juga, menceritakan hal yang sama juga. Tapi, sepertinya dia tidak mau ikut campur. Bahkan hanya diam saja" Ujar Ruli sambil mengangkat telapak tangan ke luar teras rumah, menghadap ke atas. Mengukur deras air yang turun. 

”Siming hanya diam? Tidak ada tanggapan darinya setelah mendengarkan ceritamu?“ tanya Acce' yang tiba-tiba saja nadanya berubah drastis menjadi penasaran. 

”Iya. Dia bilang tidak mau ikut campur dan tidak ingin memberatkan fikirannya“

”Dasar ya, dia. Awas saja kalau ketemu“ Acce' tiba-tiba seperti kesal dengan Siming. 

Hujan sudah mulai mereda. Gemericik air yang tergenang di jalan pun sudah mulai berkurang. Waktu pun sudah berlari jauh tanpa menunggu mereka yang sedang berbincang. Lajunya dia tak bisa diulang. Yang sudah berlalu tidak akan bisa diputar kembali. 

Ruli pamit undur diri. Dia harus segera pulang. Harus mematikan mesin diesel dongfeng yang bersambung dinamo. Dia melangkah dengan cepat, tak menghiraukan cipratan air yang tinggi mengenai punggungnya. Binatang malam sudah aktif mengeluarkan bebunyiannya. Malam yang dingin. 

                                                                              * * *


Seperti biasanya, dalam satu bulan, ruli mendapatkan giliran narik penumpang yang ingin berbelanja ke kecamatan. Atau mengantar kopra ke Tauke Cina, seperti halnya Siming. Atau hanya sekedar ingin jalan-jalan dan menikmati serial Wiro sableng di hari minggu jam sebelas siang, seperti diriku. 

Siming terlihat duduk diatas karung berisi kopra di geladak depan. Kaos pendek yang dikenakannya senada dengan warna les sayap pompong bagian depan, warna biru laut. Sangat kontras dengan warna air sungai. Coklat lumpur. Dia membiarkan wajahnya dibelai angin laut yang berlari di sepanjang kelokan sungai. Seperti berlomba dengan suara mesin diesel dan kepala kapal pompong. 

Barisan anak-anak nipah di sepanjang sungai yang meliuk-liuk seperti ular coklat seolah berlari kencang ke belakang, seiring laju kendaraan air yang menuju ke kecamatan. Pantulan bunyi yang dimuntahkan mesin yanmar menjadi lebih jelas dan menggema ketika memasuki celah daun nipah yang hijau rimbun. 

Kamar kemudi memanjang ke belakang dari tengah badan pompong. Membentuk seperti tenda panjang yang ada dinding dan jendelanya. Pintu ada dua dan hanya diletakkan di samping kiri dan kanan kemudi. Bagian belakang kamar panjang ini sengaja dibuat tanpa dinding dengan atap yang lebih panjang. Supaya penumpang bisa masuk ke dalam kamar kecil tanpa mengganggu sang navigator. 

Dek juga dibuat dari papan supaya kokoh. Bahkan dengan demikian seringkali penumpang duduk diatas. menantang panas hari dengan kepulan asap tembakau. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan adalah warna lapisan diatas papan dek. Warnanya hitam. Bukankah hitam itu justru menyerap panas? Ah yang punya dan penumpang tak pula protes.

Atap sengaja dibuat panjang tanpa dinding di bagian belakang. Sangat cocok untuk penumpang yang ingin lebih banyak menikmati angin dan pemandangan lebih luas. Meski yang terlihat hanya barisan pohon nipah yang sesekali bergerak kuat karena adanya beberapa monyet yang berayun. Mengejar bunyi mesin ber bungkus asap seperti gelang berwarna kelabu. 

Acce' duduk di bawah atap ini. Tatapannya lurus. Seperti menghitung daun yang telah berlalu. Dia tidak ikut nimbrung dalam obrolan ibu-ibu yang juga duduk di dekatnya. Beragam topik bisa khatam dalam perjalanan dua jam setengah ini. Soal harga beras yang semakin tinggi di pasar sedangkan harga gabah padi dari semakin murah. Soal rasa cabai yang perlahan hilang pedasnya. Soal burung yang jarang berkicau. Soal pasangan suami istri yang tidak kunjung dapat momongan. Bahkan soal suami yang jarang pulang. Dia tidak peduli, meski mungkin dia juga menjadi objek pembicaraan. 

Tak terasa, sungai yang dilalui semakin melebar. Bahkan hingga tiga kali lipat dari lebar sungai di dusun tiga. Riak-riak kecil ombak dari sepak pun mulai bermunculan. Angin semakin leluasa berdansa bersama permukaannya. Pertanda muara sungai semakin dekat dengan sungai induk. Sungai terpanjang di pulau sumatra. Sungai Batanghari. Ini juga mengabarkan sebentar lagi pompong akan berlabuh di dermaga kecamatan. Dermaga yang membentang panjang di sepanjang pemukiman tepi sungai. Dermaga yang disusun dari kayu dan papan yang kokoh. 

Tak perlu banyak aba-aba, pompong bersandar manis di samping tempat pelelangan ikan. Siming dengan cekatan membantu menyimpulkan tambang di salah satu tiang nibung. Penumpang memang harus turun duluan agar waktu berbelanja lebih lapang. Ketimbang menunggu kopra dibongkar dahulu. 

Ini juga penting. Cukup waktu untuk berbenah, memikirkan obrolan yang tidak penting selama perjalanan, sembari melihat-lihat warna terasi yang dipajang di setiap toko. Sekiranya ada ucapan yang ternyata bisa melukai seseorang, masih ada waktu untuk meminta maaf di perjalanan pulang nanti. Warna terasi yang agak hitam kecoklatan yang bagus. Alami, apa adanya karena memang berasal dari warna pigmen udang dan ikan. Seperti seseorang yang apa adanya. Baik, sesuai luar dan dalamnya. Warna terasi yang terlalu cerah, biasanya merah. Dengan tujuan menarik perhatian, biasanya kurang baik karena sudah diberikan pewarna. Begitu pun seseorang yang sibuk membicarakan kekurangan orang lain supaya terlihat heboh dan hebat, juga kurang baik. Mesti dihindari. 

Aku, tujuanku jelas. Penasaran dengan sambungan serial Wiro sableng pekan lalu. Ingin tahu kisah asmaranya bersama Pendekar wanita Bidadari Angin Timur. Perasaan cinta yang hanya dipendam dalam hati tanpa diungkapkan dengan kata-kata oleh keduanya, tapi penuh cemburu jika salah satunya akrab dengan orang lain. Ah kisah Pendekar yang penuh bunga. Aku biasa numpang nonton di salah satu toko langganan warga dusun. 

Siming, tentu saja juga jelas. Mengantarkan kopranya untuk ditukar dengan rupiah. Meski rupiah kalah jauh dengan mata uang luar, lebih-lebih dengan mata uang dari negri paman Sam. Tak bisa berbuat apa-apa. Hanya ini pemasukannya saat ini. Kelapa terus berbuah dan tua. Tak mungkin pula hanya ditumpuk tak diolah. Setidaknya inilah yang ada. Mungkin kurang pada lembar rupiahnya, bisa jadi bertambah di sisi lainnya. 

Lain lagi dengan Acce'. Dia diam-diam penasaran dengan cerita Ruli malam itu. Dia ingin melihat dengan kedua biji matanya. Ingin membuktikan kalau cerita Ruli salah. Dia selama ini percaya dengan suami pilihan orang tuanya. Dia pun patuh dan sabar menunggu pulang. Dia diajarkan dari kecil bahwa suami adalah jalan surganya nanti. Cukup dengan melaksanakan syariat dengan benar ditambah berbakti kepada suami, maka dia mendapatkan surganya. Itu yang diajarkan ibunya. 

Langkah kakinya rapat menapaki jalanan pasar yang sesak oleh manusia dari berbagai daerah. Dia harus rela menghirup bau yang bercampur aduk. Bau terasi, ikan asin, ayam potong, sate padang, atau keringat orang-orang yang lewat sambil mengangkat beras bersusun lima karung di atas pundak. Bau menyengat khas pasar dicampur dengan terik matahari pagi mengeringkan tenggorokan dengan cepat. Haus mulai memaksanya berjalan lebih cepat. 

Melewati jembatan kayu yang lebarnya hanya muat dua gerobak jika berpapasan, langkahnya masih harus diteruskan. Warung yang diceritakan Ruli berada di samping kiri Masjid Besar. Kering lehernya ketika sampai. Hanya telunjuk yang dipakainya sebagai isyarat membeli. Terlalu haus. Tidak mampu berucap lagi. Badan pun langsung dipangku kursi plastik di salah satu meja dalam warung. Tak berapa lama segelas air berwarna hijau muda berembun menyapa. Tak lagi butuh pipet. Tegurkan besar mengembalikan warna wajah dan tenaga. 

Dia ingat tujuan awalnya naik ke kecamatan. Satu persatu orang yang lewat di depan warung dia lihat dengan seksama. Adakah suaminya benar sering ke warung ini atau lewat di depan warung bersama gadis lain. Topi cap hijau menutup bagian atas rambut panjangnya yang tergerai. Sapu tangan kecil dituturkan ke mulut dan hidung. Agar dia tidak mudah di kenali. 

Sudah hampir satu jam dia duduk di warung. Tak pula suaminya nampak mampir di warung atau sekedar lewat. Es yang ada di dalam gelas pun sudah mencair semua. Uap dingin yang menembus dinding gelas pun sudah turun ke meja, berkumpul, basah. Dia sudah menerka cerita Ruli tidak benar. Tak mungkin suaminya berbuat demikian. Dia meninggalkan warung dan cepat-cepat ingin menyampaikan bahwa berita yang dikabarkan Ruli hanya bohong semata. 

Langkahnya semakin cepat menapaki jalan pasar. Dalam hati dia mulai kesal karena dibohongi. Hawa panas seperti tidak terasa lagi olehnya. Semangat sekali ingin bertemu Ruli. Padahal pasti ketemu juga, toh pompong nya yang dipakai pergi dan pulang. Namun, langkahnya melambat sampai terhenti di depan toko emas. Dia mendengar suara yang dia kenal. Suara suaminya. Memang benar. Itu suaminya. 

Sang suami sedang bersama seorang gadis. Sedang memilih-milih cincin. Mereka terlihat sangat akrab bahkan terlihat mesra. 

”Dek, yang mana yang dikau suka? Pilih saja“ ucap suami Acce'

”Ah, abang bercanda kan. Ini mahal loh Bang“ si gadis berkata dengan nada manja. 

”Tidak apa-apa. Abang baru saja panen sarang burung walet. Untuk adek tentu bisa semua“

”Ih, abang. Bisa aja buat hati semakin berbunga-bunga“ jawab si gadis dengan nada semakin manja sambil merangkul pinggang suami Acce' dengan tangan kiri dari belakang. 

”Tapi, abang kan sudah punya istri. Marah dia jika tahu cincin ini abang pasang ditangan“ sambung si gadis. 

”Dia tak bisa marah. Dia juga tak di sini. Dia hanya menunggu di dusun sana. Dusun yang tak ada listrik nya. Sepi. Dan hanya ada pohon kelapa di mana-mana. Cepat bosan. Kalau disini tentu lebih asyik, apalagi bisa bersama mu lebih sering“ ujar suami Acce' sambil tertawa merayu menyentuh dagu sang gadis. 

Acce yang berdiri mematung di tengah jalan di belakang mereka, tak menyangka hal ini terjadi langsung di depan matanya. Kedua tangannya mulai dikepal keras. Tapi tak ingin juga dia melakukan keributan. Cukup sudah apa yang dilihatnya. Manis dan segar es tebu tadi hilang seketika. Kini bukan panas hari yang mengeringkan tenggorokan. Deru nafasnya yang kencanglah yang menghabiskannya.

Cukup. Acce' tak ingin berlama-lama di sana. Hatinya sudah panas membara. Langkahnya yang cepat tak menghiraukan apa pun yang di lewatin ya. Tak ada barang yang dilirik. Dia ingin cepat pulang ke dusun. Dia teringat obrolan ibu-ibu tadi diperjalanan. Cerita bahwa suami jarang pulang bisa berbahaya. Bisa-bisa bermain api dengan gadis lain. Ini sudah kejadian. Dia tak ingin berita ini diketahui oleh mereka. Habis dia bakalan diceritain oleh semua. 

Aku menuju dermaga. Episode pekan ini telah usai. Habis dalam waktu satu jam. Pendekar wanita Bidadari Angin Timur sangat cemburu kepada sang pendekar 212, pasalnya dia menikahi Luh Rembulan pendekar cantik namun aslinya tukang santet. sang Bidadari Angin Timur tidak mengetahui jika Wiro dikasih minuman yang memaksanya menuruti segala perinta Lamahila, tukang comblang. Ah, kisah ini sekilas menurutku mirip dengan Siming dan Acce', meski miripnya hanya sedikit. Sama-sama punya rasa tapi tak memiliki. 

Teriakan mesin yanmar tiga silinder kembali memecah seru angin yang bertiup di atas permukaan sungai Batanghari. Aku kembali pulang ke dusun. Pompong kembali terisi dengan belanjaan warga. Acce' kini duduk di bagian depan. Menantang angin yang deras ke arahnya. Membuat matanya memerah dan berkaca-kaca. Beberapa bulir bening terbawa angin terbang menjauh. 

Aku duduk disamping Ruli yang sedang memegang kemudi. Melihat gadis duduk mematung memeluk kakinya sendiri dengan lesu. Dibelakangku Siming justru merebahkan badan memejamkan mata. Terlihat sangat letih. Atau justru dia juga tahu sesuatu? Belum ada kata darinya. Bunyi pompong kembali menggema. Seiring lebar sungai semakin sempit. Sesempit dada yang perih karena kecewa. 

Sudah menjadi sifat manusia yang tidak pernah puas. Selalu ingin lebih yang terkadang sampai melewati batasan. Hanya kesadaran dan iman yang mampu membatasinya. Jika bagian dari keimanannya bertambah maka kuatlah dia. Jika surut jauh seperti air sungai ini, hingga memperlihatkan lumpur hitamnya, maka tenngelamlah dia dalam lumpur hitamnya sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar