BAB 2. NENEK YANG TINGGAL DI SUNGAI
Pagi itu tiga buah nampan besar sudah terisi lima macam lauk pauk, telur ayam rebus, sambal udang laut, ikan sardin Mili Mackerel, rebusan labu kuning, dan sambal ikan teri main bola. Setiap nampan di siapkan satu bakul nasi pulut putih. Aku melihat Bapak sedang bersiap-siap dengan Kopiah hitam merk Awing. Asap dupa yang baru saja dibakar memenuhi ruang belakang rumah Fuang. Asapnya melambai-lambai keluar mengejar angin yang ramai bertiup di sela-sela pepohonan nipah, menggoda hidung monyet ekor panjang yang sedang melompat dari satu dahan pepohonan nipah ke dahan yang lain, dan sebagian duduk di dahan pohon pedada.
Warna air sungai pekat kecoklatan, riaknya seperti awan bergerombol di bagian tengah namun tenang di bagian pinggir. Sesekali enceng gondok terbawa arus pasang kencang ke hulu sungai. Hampir seluruh rumah warga dibangun di pinggiran sungai karena transportasi yang banyak digunakan adalah perahu, perahu bandang dan perahu panjang. Perahu bandang bentuknya lebih luas karena dibuat dari susunan papan tebal sehingga lebar badannya bisa disesuaikan dan lebih ringan. Perahu panjang terbuat dari pohon kayu yang besar, ukurannya ujung jari tidak bertemu jika dipeluk oleh pria dewasa. Pohon besar yang sudah di potong tujuh meter, dipangkas dan dikikis sampai membentu perahu sempurna.
Perahu yang Bapak punya adalah perahu Bandang, bilah dayungnya ada dua, untuk di depan dan di belakang. Perahu ini sering dipakai melangsir kelapa atau padi ke penggilingan. Namun, hari ini muatannya seperti berbeda. Selain tiga nampan besar berisi bermacam lauk dan nasi pulut, juga beberapa sisir pisang batu yang sudah menguning, perlengkapan makan dan minum untuk sepuluh orang. Masing-masing nampan ditutup nampan yang sama besar, di bungkus dan diikat dengan sarung gajah duduk.
Satu persatu barang diletakkan di tengah perahu yang telah ditambatkan di ujung jerambah. Jerambah yang terbuat dari batang pohon nibung yang sudah hitam. Sesekali pinggir perahu oleng karena beban lebih berat pada sisi kanan saat menurunkan barang. Aku sudah duduk di muka perahu sejak awal, membantu menyusun barang-barang yang akan dimuat. Tak berapa lama, segala barang telah tersusun di tengah perahu. Bapak naik ke perahu dengan pelan agar tidak terlalu oleng.
Air sungai sedang pasang, warna coklat lumpur menyembur ke atas permukaan selayaknya asap. Dedahan pohon nipah hampir tertelelan separuh, menyisakan daunnya yang hijau dan kokoh. Bapak mulai mendayung, perahu bandang merayap ke tengah tubuh sungai yang bergemuruh dalam diam. Satu persatu jerambah tetangga kami lewati. Pekikan monyet ekor panjang sesekali menyela suilan burung cekakak di dahan pedada. Paruhnya yang panjang dan tajam berwarna merah, punggungnya hitam mengkilap dengan sayap biru laut, dilengkapi warna biru tua dibagian dada dan perut nya. Dari atas dahan entah dia melirik kami yang sedanng mendayung atau sedang melihat udang sungai yang bermain di sela pelepah pohon nipah.
Kami terus mendayung, mendekati persimpangan sungai yang arusnya mudah berubah. Sesaat perahu bergerak sama sekali di tengah sungai. Aku menoleh ke arah Bapak dengan muka bertanya, kok bisa perahu terhenti di tengah sungai padahal arus air masih kencang.
“Kok, berhenti perahunya, Pak? " Tanya ku sambil mengibaskan dayung di bawah badan perahu, ingin mastikan bukan karena tersangkut tunggul kayu. Dayung terus ku kibas perlahan, dari muka perahu hingga ke bagian belakang. Tidak ada tunggul kayu. Aku semakin heran.
"Itu sepertinya nenekmu yang menghentikan perahu" Ucap Bapak sambil membuka bungkusan rantang.
Aku berfikir keras mencerna jawaban Bapak. Bagaimana bisa manusia punya keluarga yang hidup di bawah air? Atau kah ini hanya semacam sebutan halus atau justru suatu kepercayaan? Ah, otakku yang kecil belum sampai kesana.
”Apa itu, Pak" Tanya ku ke Bapak yang sedang merogoh rantang
“Ini telur rebus” Jawabnya
”Kita makan telur di sini? “ Tanyaku kembali
“bukan untuk kita makan”
“Jadi? . .. ” aku semakin penasaran
“untuk nenekmu yang di bawah perahu"
Aku semakin bingung, ada nenek di bawah perahu, dia yang nahan perahu hingga tidak bergerak dan hanya diam di tengah sungai yang deras arusnya? Nenek suka makan telur? Telur yang dia suka seperti apa saja, telur sambal? Telur dadar? Atau telur asam? Ah, aku semakin tak paham.
Bapak memegang telur rebus yang masih ada cangkangnya di tangan kanan seraya berucap,
”O Nenek, ini ada cucumu mau lewat, tolong dikasih lewat“ telur dilepas Bapak di samping kanan perahu. Suasana hening, membuat jelas suara pelepah nipah disapu angin.
”Bismillah. . . " Aku mencoba menggerakkan dayung perlahan. Aneh. Perahu bergerak maju dengan mudahnya, padahal arah laju perahu berlawanan dengan arus air pasang.
Aku pribadi tidak meyakini perahu bisa bergerak karena apa yang disebut nenek di bawah air. Sama halnya matahari yang terbit dari timur di pagi hari ini, atau awan bermacam-macam rupa tergantung di atmosfer. Hanya yang Maha Kuasa yang bisa. Itu yang aku percaya. Aku membatin.
Perahu dengan laju berbelok ke kiri, memasuki anak sungai. Perlahan-lahan jembatan dengan atap, atau rumah jembatan tempat biasanya Pak Leman mencegat ku untuk sebuah lagu dangdut, mulai terlihat. Dan benar saja, Pak Leman CS sedang nongkrong sambil bergantian membuat asap seperti gelang putih terbang.
“Mari ikut ke Langko” Sahut Bapak dari perahu yang menembus bayang-bayang jembatan dari bawah.
”acara apa, Pak? Tanya Sudik yang juga sedari tadi di jembatan.
“makan pulut” Bapak menimpali
“oh sudah siap Langko nya berarti? ” Pak Leman menyambung pembicaraan.
“Sudah, inilah makanya mau mabbaca-baca, syukuran karena bangunan nya udah jadi, tinggal pakai besok " Bapak menjelaskan.
”pas nian, perut masih kosong, belum sarapan“ Pak Leman tertawa sambil mengusap-usap perutnya.
Perahu kembali ku dayung, menelusuri anak sungai atau parit, sebutan warga desa, melewati sisi bangunan Masjid Al Ikhlas di sebelah kanan dan rumah Pak Barat yang disisi kiri parit. Sesekali jemari ku celup ke dalam air, menciptakan riak gelombang kecil. Airnya masih sejuk.
Beberapa saat kanan dan kiri parit yang kami lewati terlihat hanya hamparan kebun kelapa hybrida milik masing-masing warga desa. Dan perahu menepi. Sigap ku melompat ke tepian sambil menarik tali tambang. Tidak berapa lama orang-orang yang lainnya pun sampai jua. Pak Leman dan Sudik, disusul dengan Pak Barayya, Nabik, dan Barahing.
Semua barang aku turunkan, dan membawanya ke bangunan Langko, sebuah bangunan berbentuk segi empat yang terbuat dari kayu-kayu yang tahan panas api, kayu bulian. Disini besok akan disusun rapi bertumpuk kelapa yang telah dibelah, kemudian di bawahnya tumpukan sabut kelapa kering bercampur batok kelapa disulut api. Asap panas yang menyelinap ke atas melalui celah-celah lantai yang terbuat dari bambu, merubah kelapa menjadi kopra. Sumber pendapatan utama warga desa.
Nampan berisi lauk dan nasi pulut sudah ku jejerkan rapi memanjang. Semua orang sudah duduk bersila berhadapan dengan nampan di tengah.
”mana apimu? “ Pak Barayya membuka suara
”mau bakar apa kita, Pak? " Jawabku
“kemenyan” jawabnya singkat
“haruskah hal itu kita lakukan? ” tanyaku dengan nada serius.
“iya, harus, supaya doa kita bisa terbawa wangi kemenyan naik ke langit” Nabik ikut berbicara sambil menyodorkan dupa yang sudah ada bara api.
“bukan kah Fuang kita Marajae mendengar segala doa? ” jawabku sambil membagi-bagikan piring plastik berwarna oranye kepada setiap orang. Maksud dari Fuang kita Marajae adalah Tuhan kita yang Maha Besar.
Bapak hanya tersenyum mendengar kan aku berceloteh sedari tadi. Aku agak berani meski ada Pak Leman, sebab dia tidak membawa botol berisi minyak makan. Sebuah asoy kecil hitam diserahkan Bapak ke Pak Barayya. Isinya kemenyan.
“Apakah kamu tau kemana perginya api jika ditiup sampai padam?” Pak Barayya berucap sambil menaburkan kemenyan di atas bara api. Seketika asap putih menebal berlari ke atas atap yang terbuat dari daun rumbia atau daun nipah, menari-nari dan hilang di ketinggian.
Aku hanya menggeleng kan kepala, tak faham sama sekali. Apakah Api punya rumah tempat kembali. Aku tak faham. Apakah Api bisa hilang dan pergi begitu saja kemudian datang kembali seperti semula? Aku juga tak faham.
“Makanya, api itu spesial, suatu yang luar biasa” kembali Nabik menyambung
“susah hidup kita kalau tak ada api" tambahnya lagi.
Aku diam, tak faham tapi semakin ingin bertanya. Apakah kita sudah mulai bergantung kepada Api? Apakah harus diistimewakan? Tanya ku dalam hati. Belum lagi pertanyaan ku ucap, Bapak memberi isyarat agar diam saja. Aku menurut. Pak Barayya mulai membaca Fatihah, tiga qulhu, ayat tambahan lainnya, dan membaca doa. Suara aamiin serentak terucap beberapa kali menjawab doa yang dibacakan. Aminku aku sampaikan sendiri kepada Tuhan yang menciptakan Api.
Sebenarnya aku tidak menolak harum asap dupa dan kemenyan yang dibakar. Bagi ku itu adalah pengharum jika tidak ada minyak malaikat subuh atau kasturi atau sejenisnya. Hanya saja fikirku tidak sampai jika doa harus dibawa asap ke langit. Malaikat bisa protes tugasnya diambil alih, meski sebenar Allah Maha Mengetahui, tidak butuh bantuan malaikat.
Do'a bersama selesai dipanjatkan. Semua orang lahap menyantap pulut putih disandingkan sambal teri main bola, istilah untuk sambal ikan teri yang dicampur dengan kacang tanah. Secangkir teh manis sebagai penutup menyiram tenggorokan yang pedas karena sambal. Gelak tawa sesekali terdengar menyela asap tembakau dari mereka yang merokok. Aku berdiri di depan tiang atap pertama, memandangi lagit. Oh Tuhan, adakah asap juga malaikat mu? Tanyaku polos dalam hati.
Semua alam ini tentunya adalah ciptaan-Nya. Tidak ada yang luput dari pengawasan-Nya. Tidak ada dedaunan yang jatuh tanpa sepengetahuan-Nya, atau tidak pula seekor semut hitam yang berjalan dalam gelapnya malam di atas batu hitam yang luput dari pandangan-Nya. Sungguh Dia Maha Kuasa yang menguasai seluruh jagad raya, tempat semua bergantung, meski sangat sedikit dari mereka yang mengenal dan bersyukur. Aku tertidur di dipan teras depan Langko.
Komentar