BAB 1. PERMULAAN KATA PADA BUKU YANG LUSUH


Kata ini kumulai dengan Nama Yang Maha Memiliki dan Maha Memelihara,

yang hanya dengan Kun-Nya, semua tercipta. Salam Rinduku senantiasa untuk

Cahaya Pertama dan Sempurna, hakekat dari apa yang bisa ku temui dan belum ku

temui. Semoga Sirr mengalir lembut ketika kata ini terbaca. 


Malluru, begitulah orang kampung memanggilku. Sebenarnya itu bukanlah nama pemberian orang tua ku. Sewaktu aku masih bayi, kata nenek, nama yang diberikan kepada ku sebenarnya adalah nama seorang yang terkenal jenius. Nama yang keren sebenarnya. Tapi nama itu tidak pernah terpakai lagi bahkan sampai di kartu tanda pengenal pun yang tertulis adalah Malluru. Malluru bin Pallawa. Malluru berarti Lurus. Mungkin itu sebagai doa. Aku besar di sebuah desa kecil bernama Labuan Jelita. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani.

Jalan utama desa mengukuti alur sungai yang berliuk-liuk seperti ular sawah. Jalan yang hanya selebar dua meter dan masih setapak. Di beberapa tempat memang sudah di Asmen (aspal semen – istilah warga), namun sudah mulai terkikis karena banjir bandang sudah beberapa kali datang. Untungnya warga desa sudah sangat faham dengan kondisi daerah, sehingga tiang rumah mereka dibuat tinggi- tinggi, layaknya rumah panggung. Mereka pun tidak merasa kekurangan bahan karena kampung ku itu sangat dekat dengan hutan, hanya berjarak tiga jam naik perahu. Sepanjang tepian sungai tumbuh subur pepohonan Rumbia (Nipah) , tempat monyet-monyet berloncatan mencari makan. Air sungai yang mengalir bagaikan sebuah layar tancap yang panjang terbentang karena lumpur sungai yang diaduk- aduk oleh derasnya air terlihat seperti asap hitam dari kebakaran hutan. Warnanya coklat pekat. Warga desa seluruhnya adalah orang perantauan, termasuk aku. Bermacam bahasa biasa aku dengar dalam keseharianku. Namun, hal itu tidak membuat kami terpisah-pisah.

Di tengah desa ada gudang sekaligus pabrik pengolah gabah. Bangunannya terbuat dari kayu yang usianya sudah melebihi usia pohon kelapa yang tumbuh subur di kanannya. Warna papannya coklat dipenuhi bercak putih seperti kelopak bunga yang layu, jamur yang tumbuh ramai di dinding gudang. Bangunannya memanjang ke sungai, disambung Jerambah dari tiga papan tebal yang selonjoran ke tepian sungai. Ini memudahkan petani yang mengantar gabah melalui sungai untuk diolah menjadi beras. 

Memasuki gudang sekaligus pabrik padi dari pintu belakang, mata langsung disapa oleh tumpukan gabah dalam karung ukuran 50 Kg yang disusun rapi. Susunan karung gabah menjulang cukup tinggi hingga hampir menyentuh penyangga atap. Tapi itu tidak digabungkan semuanya. Pemisahan karung-karung putih berisi gabah ini berdasarkan nama petani yang punya. Jarak antara tumpukan karung putih susu menyisakan lorong-lorong berliku yang sering aku dan kawan-kawan gunakan sebagai salah satu tempat bersembunyi, jika sedang bermain petak umpet.

Pada bagian kiri dan kanan gudang, banyak ruangan 2x3 meter tanpa pintu, hanya dibatasi 3 susun papan pada bagian depan, untuk memudahkan warga desa yang sedang membongkar gabahnya dari karung atau sebaliknya. Antara susunan karung putih berisi gabah dan ruangan kotak yang berjejer menempel pada dinding kiri dan kanan dinding gudang, hanya disisakan ruang untuk jalan troli besi untuk mengangkut gabah atau beras, selebar dua papan. Pada bagian depan bangunan ada ruangan dua lantai yang terbuka dan dihubungkan oleh otot-otot besi persegi empat. Di lantai dua, mulut besi seperti corong segi empat ukuran 80x80 cm adalah tempat menumpahkan gabah yang akan diolah menjadi beras. Di lantai bawah, mesin Yanmar TS 300, dengan tangki minyak warna merah lusuh memutar kencang alat penggiling padi.

Pada bagian depan gudang menjulur pipa ukuran 6 inci sepanjang 10 meter yang selalu memuntahkan kulit gabah. Tumpukan dedak kasar yang kuning menggunung menjadi tempat aku dan anak seusia ku bermain guling-guling dan berbaring. Serasa bermain di tepi pantai saja. Padahal dedak kasar hasil pabrik gabah padi membuat kulit gatal. Tapi hal itu tidak menjadi alasan buatku untuk tidak bermain di sana lagi. Karena selesai bermain aku dan yang lainnya langsung terjun ke sungai, 50 meter arah sebelah kiri gudang, dari jembatan penghubung desa.

Tumpukan gabah yang menggunung itu seringkali menjadi lahan mencari Ringgi'. Orang-orang tua kadang bercanda bahwa dibawah tumpukan gabah kuning itu ada koin emas (Ringgi') sehingga membuat dedak kekuningan warnanya. Dengan polosnya kami menggali kebawah tumpukan dedak, untuk mencari koin emas. Kesadaran bahwa gabah padi sedari awal memang berwarna kuning tertutupi dengan euforia ada koin emas yang tertimbun. Yang benar sebenarnya, dedak ini kami gunakan dalam proses pembuatan arang batok kelapa. Pada tanah tempat pembuatan arang akan dilubangi setelah setengah meter, kemudian derum besi yang sudah dibuka penutup atas dan bawahnya ditegakkan dalam lubang tadi. Batok kelapa disusun rapat melingkar hingga sampai setinggi derum, menyisakan sedikit lubat ditengah untuk api dan udara. Gabah difungsikan untuk menutup celah angin di bagian bawah dan atas derum. Ada pula yang mengubur batok kelapa dalam lubang dibakar dan ditutupi tumpukan gabah membuat hingga semeter lebih dari permukaan jalan. Begitulah muntahan kuning dari gudang kami perlakukan, sebagai tempat mencari harta karun dan membuat bahan bakar arang. 

Lima puluh meter sebelau kiri gudang, berdiri kokoh jembatan yg dibuat dari kayu bulian dan tembesi, jenis kayu yang mempunyai daya tahan yang sangat baik, keras dan padat. Di samping kiri dan kanannya dipasang masing-masing tiga lembar papan, semacam kursi panjang dengan sandaran sekaligus pengaman agar tidak terjatuh ke parit yang lebarnya 6 meter. Atapnya segitiga, layaknya rumah di kampung, dengan susunan seng yang mulai berkarat. Dari atas jembatan kadang kala aku dapat melihat gerombolan anak- anak ikan Toman yang bergerombol seperti lebah madu saat air mulai pasang di muara parit, lumpur berwarna abu-abu kekuningan, melandai, mengapit lekukan air pasang yang hanya setengah meter dalamnya. Dari jembatan ini juga sering ku melihat temanku yang lainnya menangkap ikan di sela-sela rerumputan gajah yang menjuntai lebat menutupi bibir parit pada saat air meninggi. Atau melihat sorang kakek mendayung lofi yang penuh dengan kelapa bulat.

Di rumah jembatan ini pula aku sering kali diminta oleh pak Leman untuk menyanyikan beberapa buah lagu dangdut. Itu karena di rumah nenek tempatku besar memang tersedia ratusan kaset dangdut dan pop, yang setiap hari selepas mengaji ku putar keras-keras sehingga setiap orang yang lewat dapat mendengarnya, bahkan berjoget kalau bisa. 

"Mal, mampir dulu sebentar, duduklah sini" Pak Leman memanggil saya untuk mampir duduk di sebelahnya, padahal aku ingin segera ke rumah Ruli, mau numpang nonton TV. 

"Sinilah dulu!" Terdengar suaranya anak meninggi dengan mata sipit yang dipaksakan melotot. Rambutnya yang hitam ikal membungkus wajah yang tirus. Beberapa orang yang berapa di jembatan terlihat menutup senyuman dan suara cekikikan yang keluar dari mulut mereka dengan telapak tangan. 

"Coba putarkan kami dulu lagu dangdut!" Ucapnya masih dengan mata yang melotot. Maksudnya adalah menyayikan lagu, seolah-olah aku sebagai Radio Tape berjalan. 

"Anu Pak, makkocai kasetnya" Jawabku sambil menunduk tapi sesekali melirik ke arahnya. Makkocai itu bermakna, seolah-olah aku sabagai Radio Tape tidak bisa memutarkan lagu karena pita kasetnya kusut, sehingga terdengar rusak jika dipaksa tekan tombol play. 

"Cepat Ko perbaiki itu kasetnya, kalau tidak aku telan kau bulat-bulat" Pak Leman menimpali. 

" E... Sudik, mana tadi botol minyak makan, mau ku telan ini anak pakai minyak makan, supaya cepat masuk semua badannya kedalam perut ku ini" Kembali dia berujar sambil memegang sebuah botol limun bekas merek Saparilla berwarna coklat. 

"Baiklah, Pak, aku ganti saja kasetku ini" Jawabku dengan nada takut. 

"Ini aku tekan tombol play, 1, 2, 3, mulai. . . " Ucapnya dengan nada rendah dan ketawa tipis. 

"aku lah pangeran dangdut, 

yang akan menggoncang dunia, 

lewat lagu yang ku nyanyikan, 

lewat musik yang ku mainkan. . . "

Dengan aba-aba tombol play tadi aku cosplay jadi penyanyi dangdut Abiem Ngesti. Satu lagu tuntas ku nyanyikan kali ini dengan diawali ancaman ditelan bulat-bulat pakai minyak makan yang terbuat dari kelapa. Aku pun berlalu menuju rumah Ruli. Langkah kaki ku percepat agar tidak bertambah permintaan lagu kedua. 

Ruli adalah anak pertama yang beruntung di desa ini karena memiliki Televisi berwarna dan satu-satunya di desa. Hari libur adalah waktu menonton setelah mengaji dari jam delapan pagi hingga jam sepuluh pagi. Selesai menonton serial kartun aku kembali untuk shalat zuhur dan makan siang. 

Jam 1 siang sampai jam 3 sore, aku kembali bersila menghadap guru ngaji. Biasanya diwaktu sore hanya aku yang mengaji, dengan Fuang sendiri, maksudnya nenek kandung sendiri, anak-anak yang lainnya tidak ada. Karena aku adalah cucunya, jadi belajar mengaji tidak seketat anak-anak lainya, namun, disiplin waktu lumayan. 

Tidak ada buku iqra'. Sistem mengeja yang dipakai. Untuk tahap awal, aku dan anak murid Fuang yang lainnya memakai Alqur'an kecil, maksudnya Juz Amma. Sambil bersila menghadap Fuang yang sedang menenun dengan alat Tennung Walida, alat menenun kain yang terbuat dari kayu. 

"Alefu' diase'na A, makkeda A" Aku mencoba mengikuti cara ejaan Bugis yang dipakai. Maksudnya adalah Alif berbaris atas berbunyi A. 

Suaraku mengeja ikut tertenun diantara benang warna warni yang didorong keras oleh tekanan kayu berat dan licin sepanjang semeter setengah, menciptakan bunyi taktek taktek. Fuang sedang membuat Lipa' Sabbe, sebutan untuk kain sarung sutera bagi masyarakat Bugis.

"Ba diawana, makkeda Bi" Maksudnya Ba berbaris bawah bunyinya Bi, aku melanjutkan mengeja huruf huruf-huruf hijaiyah. 

Fuang adalah seorang Qoriah di masa mudanya, sekaligus sebagai relawan yang menyiapkan makanan untuk para tentara yang bergerilya ke dalam hutan, melawan penjajah Nippon saat itu. Bahkan Ia fasih bercakap-cakap dalam bahasa penjajah, sesekali menyanyikan lagu dalam bahasa Negeri Sakura, dengan mimik yang ceria, meski aku sama sakekali tidak faham artinya. 

"Tak tek... Tak tek... Takteekkk... " bunyi kayu walida terakhir sore itu. Fuang berhenti karena sudah menjelang waktu shalat ashar. Selembar kain sutera berwarna ungu dengan motif bunga emas dan daun berserta tangkai kecil terlihat anggun. Kainnya belum selesai, baru separuh. Ia berdiri dari duduk silanya, menyingsingkan lengan baju, menuju derum hitam penampung air hujan di sebelah kanan rumah panggung yang terbuat dari kayu. 


                                                                                    * * *


Idi' ga, Malluru? " Seutas suara serak dan lembut menepuk pundak ku dari belakang, suara Pak Imam. Dia sangat hafal jalan pergi dari rumahnya ke Masjid Al Ikhlas, mesjid kami. Tongkat kayu dari pohon jambu biji, membantunya melihat jalan, selalu setia di tangan kanan, membantu nya berjalan di jalan desa, jalan cor dengan bebatuan koral putih sebesar kepalan orang dewasa. Lebar jalannya hanya satu meter. Selebihnya tanah di kanan dan kiri. 

Iyyek, Fuang" Aku menjawab pertanyaan Pak Imam. Iyyek adalah bahasa halus dalam bahasa Bugis yang berarti iya. Bahasa pasarannya adalah Iyyo, biasa dipakai jika lawan berbicara sepantaran. 

“mari kita ke Masjid, sebentar lagi maghrib, kita shalat bersama" Ujar Pak yg bernama Maje sambil tersenyum. Senyuman ikhlas seorang lelaki yang usianya telah termakan lebih dari setengah abad. 

Masjid Al Ikhas sebenarnya lebih tepat disebut Musholla atau Langgar karena selain ukurannya yang kecil, juga tidak dipakai sebagai tempat shalat jum'at. Bangunannya keseluruhan kayu, dinding papan berwarna biru laut sengaja dipasang berjarak satu inchi. Terpal biru pun dipasang di bawah atap seng untuk mengurangi hawa panas pada siang hari. Empat kayu balok ukuran 12 cm x 12 cm menjadi tiang penyangga tengah. 

Allahuakbar Allahuakbar, Laa ilaaha illAllah" sahutku mengumandangkan adzan. Khidmat tiada tara mencium bumi namun melangitkan doa. 


                                                                            * * *


Sekolah dasar ku berjarak lebih kurang 30 menit berjalan kaki. Aku dan teman-teman terbiasa berjalan tanpa alas kaki, entah kenapa. Jika menjumpai jalan yang menampung air hujan bercampur lumpur, dengan sengaja aku lewati dan membuat bunyi seperti dayung membelah air dengan cepat. 

Jalanan yang dilalui sebenarnya adalah kebun kelapa hybrida yan satu meter lebih lebarnya di waqafkan untuk akses jalan antar dusun. Pemandangan yang tidak pernah absen sepanjang jalan tentu pepohonan kelapa yang sesekali diselingi beberapa pohon pisang batu, pohon pinang, atau pun jambu biji dan jambu bol yang berwarna merah berair manis. 

“Malluru, kau saja yang panjat, aku takut digigit Gerenggo! ” Ridwan berkata sambil menjaga jarak dari pohon jambu bol milik Salah seorang warga yang ditanam dan berbuah rimbun tidak jauh dari jalan desa. Ridwan takut dikeroyok semut merah yang memang suka di pohon ini karena dedaunannya yang lebar, sangat bagus dibuat sarang semut merah. 

Tanpa banyak bantah, aku pun memanjat dahan demi dahan untuk menggapai buah-buah yang ranum berwarna merah tua. Aku mulai merasakan cubitan cubitan kecil di betis dan lengan. Semakin lama semakin ramai hingga sampai ke pundak dan tengkuk. Dahan yang ramai dengan warna merah melambai-lambai, membuatku menahan perih gigitan semut merah. Ku petik sebanyak yang ku bisa. Cubitan semakin nakal sampai menjelajah jauh ke dalam celana.

“Dag tahan lagi aku, Cukuplah itu ya, pungutlah" Teriakku dari atas sambil menggosok betis dan lengan yang penuh dengan Gerenggo. Bau khas semut merah mencucuk hidung ketika lima ekor ku pijit di tangan. 

Woy..!!! Ciya ko ga nonnok !!! " Teriak seorang tua dari kejauhan berjalan ke arah kami sambil menenteng pelepah kelapa. Ungkapan dalam bahasa Bugis yang berarti: segera turun kalo tidak mau nanti kena hukum. 

“gawat, Mal, yang punya kebun marah" Ucap ridwan mulai panik

Aku melompat dari dahan ke tiga, dan buru-buru membantu ridwan memungut buah jambu sebisa yang dapat. Sepatu karet tapi terlihat seperti sepatu bola tak sempat lagi aku pasang, ransel merk alpina warna hitam ku raih dengan tangan kanan dan mengambil langkah seribu berdua Ridwan. 

Kami tidak berhenti berlari, hinga tak sadar aku lewati rumahku sendiri, bahkan melewati gudang dan pabrik penggilingan padi, melewati rumah jembatan yang mana ada Pak Leman menunggu untuk disetorkan satu tembang dangdut. sampai di depan rumah Pak Siga, baru lah kami berhenti dengan baju seragam merah putih yang kuyup, ngos-ngosan, memegang lutut yang gemetaran. 

”Mampir dulu minum, sini" Tangan Pak Siga melambai menawarkan air putih. Tak pikir lama kami pun menaiki tangga kayu rumah Pak Siga. Dua gelas air ku teguk habis. Tuan rumah kembali ke dalam mengambil sesuatu, kami saling pandang. 

“Makan di sini saja jambunya" Pak siga tersenyum menggoda seraya memberikan piring plastik hijau kecil berisi kecap manis dicampur garam kasar dan potongan-potongan cabe rawit. Sepertinya dia tahu isi tas kami. Memang, ransel tidak sempurna tertutup, karena panik. Dan mungkin ada yang tercecer di jalan. 

Ridwan membuka tas, mengeluarkan 6 jambu bol merah. Mencuci dan membelah jadi empat bagian untuk setiap buahnya. Tidak ada suara yang terucap, kami menikmati potongan jambu bol merah dicocol kecap campur garam dan rawit. Aku memandangi ridwan sambil tertawa, ”hampir saja tadi kena sebat dahan kelapo“. Dia tertawa sambil mengunyah, sebagian gigi tertutup jambu. 

"Itu buku apa, Pak? " Tanya ku kepada Pak Siga sambil menunjuk ke arah sebuah buku di atas bangku panjang. 

”oh, itu buku catatan saja. Mau lihat? " Dia menawarkan

"Bolehlah Pak" jawabku. 

Aku membuka halaman demi halaman buku tulis merk SiDu bersampul kuning. Banyak yang ku tak faham, karena tidak ditulis dengan huruf Latin melainkan aksara Lontara, aksara yang dipakai oleh masyarakat Bugis. Tidak sampai habis ku buka, karena tak faham. Namun, di pertengahan buku ada beberapa Bait yang ditulis dengan menggunakan huruf Latin

Pakkarawa, U walako Pakkarawa, 

Magaru way, 

Pacinnong na Muhammad, 

Barakka', Barakka', Barakka'


Aku membaca agak keras sehingga terdengar oleh Pak Siga. 

“itu mantra, kalau mau mencari candring" dia berujar sambil tertawa. Candring artinya gebetan, pacar, atau semisalnya. Aku yang baru SD kelas 3 merasa lucu dan juga bingung. Emang bisa? Aku membatin. Jika diterjemahkan bebas maknanya mendekati seperti ini:

”Wasilah, aku niatkan hal ini menjadi asbab dan wasilah, keruhnya hati bisa di jernihkan karena kemuliaan Muhammad, Berkah jadi, berkah mumpuni, berkah ampuh. "

Aku masih tertegun, banyak awan-awan yang muncul dalam benakku seketika. Di dalam hati selalu bertanya, apa ini? Emang bisa buat melet anak gadis? Emang boleh sama yang namanya disebutkan dalam mantra? 

Ridwan lahap menyantap jambu hingga selesai. Aku berhenti mengunyah, ada sesuatu yang belum ku fahami dan pemahaman ku tidak bisa menggapai. Buku tulis ku kembalikan dan pamit dengan Pak Siga. 

Massima' Ka', Pak. Kami pamit pulang ya Pak. Terimakasih air putih dan cocolannya.”

 yang punya rumah hanya mengangkat jempol dan tersenyum. 

Aku baru mengeja Alif dan Ba, baru bisa menyebutkan bunyi, belum faham makna bunyi dan makna Alif dan Ba. Mantra tadi masih terbaca dalam fikiran. Aku tidak faham. Ah, biarlah. Ujarku dalam hati. Aku pun masih mengeja, tidak butuh ejaan yang tidak diajarkan untuk dieja. 

Aku mempercepat langkah untuk pulang, jangan sampai rotan mendarat di betis karena lambat pulang. Lagian, perut terasa sedikit aneh karena banyak makan asam sebelum nasi. Ah, hari ini berarti aku makan jambu hasil mencuri. Mungkin karena itu perut tidak nyaman.

Komentar