BAB 2. DIBALIK TIRAI JINGGA MUDA


Hari kedelapan Hamdi di rumah sakit. Gejolak jiwanya semakin terasa. Dia rindu akan hangatnya suasana rumah. Juga rindu dengan riuh suasana kelas. Kelas serba ada. Yang tengil. Yang pendiam. Yang kutu buku. Yang pengacau. Yang aktif dalam kelas. Yang cuek saat guru menerangkan. Yang hobi ngemil. Yang diam-diam janjian dengan pacarnya di kantin. Yang bawa kantin ke dalam kelas. Lengkap. Suasana yang cukup membuat kangen. Tapi dia harus menerima kenyataan terbaring. Menantang kesunyian yang merayap pada setiap sudut ruangan berwarna hijau lemon.

Perlahan tirai jingga muda bergeser. Gesekan pengait kain dan baja stainless menimbulkan suara cukup untuk membangunkan Hamdi yang sedang terlelap. Tiga orang remaja nampak mengunjunginya. Kelopak matanya yang nampak lelah perlahan terbuka. Ada garis hitam melengkung dibawah bola mata. Senyum yang masih dia jaga pun dia perlihatkan.

“Wah, ada apa ini tetua adat kelas tiga IPA pagi-pagi udah muncul?” Hamdi menyapa muridnya yang datang dengan nada gembira.

“Tadi kami saling jumpa saat jogging di sekitar mesjid Agung” Ujar Narina sambil meletakkan kresek putih berisi buah apel, jeruk, dan pear.

Mesjid Agung Ranai dengan kubah berwarna hijau memang menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi oleh masyarakat. Selain karena tempat ibadah. Tempat ini juga menjadi favorit semua kalangan. Arsitektur bangunannya indah mengingatkan siapa saja kepada bangunan indah yang dibuat oleh Kaisar Mughal Shah Jahan untuk istrinya, Mumtaz Mahal, yang berasal dari Persia. Di sekeliling bagunan Masjid tersedia dua jalan melingkar. Jalur terluar mengelilingi jalan yang di tengah. Inilah yang ramai digunakan masyarakat untuk berlari santai atau sekedar berjalan kaki. Tak cukup sampai disitu, landscape gunung ranai langsung berada di belakang Masjid. Ini menambah sejuknya pemandangan bagi yang datang kesana.

“Emang, ga boleh anak-anak jenguk bapaknya sendiri?” celetuk Aswin, ketua kelas tiga IPA.

“Ya, boleh dong. Malah Bapak yang terimakasih, udah diliatin. Ada Sepi. Sepi banget di sini” ujar Hamdi.

“Nah, Bapak sudah jadi seorang seorang penemu spesies baru. Nanti Bapak bisa tuh dikukuhkan sebagai Liennaeus-nya Indonesia” celoteh si kutu buku, Wazna.

“waduh. Kamu ya. Bisa aja Wasna. Ini Bapak jadi guru bahasa Inggris atau guru biologi sih?” ucap Hamdi mengikuti random diskusi murid-muridnya.

“Bapak ngajar kedua-duanya saja. Kan Bapak pernah menjadi juara Internasional Biology Olympiad” Ujar Narina sambil membuka kulit jeruk manis dan menyodorkannya ke Hamdi untuk segera dimakan.

Hamdi menatap wajah murid-muridnya. Wajah ceria yang baik hati. Benar-benar memperlakukannya seperti orang yang sudah lama mereka kenal. Padahal tidak. Hamdi seorang perantau. Orang baru. Dalam hati Hamdi berdoa, semoga mereka semua ini kelak menjadi orang-orang yang berguna, tetap dengan pembawaan yang apa adanya, cerdas dan baik.

“ooo, IBO itu ya. Hmm darimana kamu tahu hal itu, Rin?” ujar Hamdi sambil menikmati jeruk yang telah dikupas oleh Narina dan disodorkan ke mukanya.

“Kamu iseng aja sih, Pak, searching tentang Bapak di net sewaktu Bapak baru pertama kali masuk ke dalam kelas, hari pertama mengajar” ucap Aswin yang pada saat yang sama mengambil separuh jeruk yang telah dikupas Narina. Sontak Narina menatap tajam ke arah Aswin sambil menggigit bibir bawahnya dengan muka tak terima. Kulit jeruk yang di tangan kirinya pun melayang mengenai kepala Aswin.

“Ini untuk Bapakmu loh, Win. Parah kamu nih” Narina berkata dengan nada sedikit kesal.

“Iya, aku tau. Justru karena ini untuk Bapak, aku ambil sebagian. Supaya berkah makanan aku dapat juga. Supaya aku kedepannya juga bisa jadi guru seperti Pak Hamdi” jawab Aswin dengan santai dan tetap mengambil sebagian dari jeruk kedua yang dikupas oleh Narina.

“Lah, ada beritanya di internet? Kok Bapak ga tau ya?” tanya Hamdi penasaran sambil senyum melihat tingkah pola dan prilaku siswanya.

“Ada loh Pak, fotonya juga ada. Cuma mata Bapak merem sambil senyum, hahahaha” celetuk si kutu buku.

“iya. Bisa-bisanya Bapak merem. Yang motoin ga sabaran kali” Ucap Hamdi.

Suasana kamar rawat inap kelas dua menjadi ramai oleh diskusi mereka. Tak di kelas tak di rumah sakit, mereka sama. Ramai dan kocak. Untung saja pasien yang dirawat di ranjang sebelah Hamdi sudah diperbolehkan untuk pulang. Keluarganya sudah menjemputnya jam tujuh pagi tadi.

“Kalian penasaran ga berapa nilai yang juara itu?” ucap Hamdi sambil kembali mengunyah jeruk manis.

“Iya. Ceritain dong Pak” mereka kompak kali ini

“Kalian bakalan ga percaya” ucap Hamdi mengulur jawabannya. Membuat mereka semakin penasaran.

To do point aja kali, Pak. Jangan seperti tukang ojek mutar-mutar cari alamat” Wazna protes.

“100 dong, mesti perfect-lah, ya kan Pak?!” Narina memotong ucapan Wazna.

“Bukan” ujar Hamdi menelan senyum.

“90 kali” Aswin menambahkan.

“bukan juga” kembali Hamdi menahan tawa dengan telapak tangannya.

“Jadi, berapa dong, Pak? Katanya juara” tanya Narina dengan nada sedikit kesal. Dia pun berhenti mengupas jeruk.

“Jadi. . ., jumlah soal yang harus diselesaikan adalah 100 soal. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya hanya dua jam. Setiap soal punya nilai berbeda-beda sekaligus punya nilai pengurang jika jawabannya salah. Ada sepuluh soal yang skor nilainya paling tinggi dari lainnya. Tentu skor pengurangnya juga tinggi jika salah jawab.” Hamdi menjelaskan dengan detail.

“Ih, kok jumlah soal dan waktu yang diberikan lebih serem dari film horor sih” ucap Wazna seperti tak terima.

“Ya namanya juga even internasional. Standarnya mungkin memang segitu” Jawab Hamdi

“Jadi skor nilai Bapak berapaaa. . .?!” tanya mereka kompak tak sabaran.

“minus nol koma lima” Jawab Hamdi sambil tertawa lepas. Tangannya menekan dada. Terasa sakit karena tertawa terbahak-bahak.

what?!! Are you kidding me?” tanya Narina dengan wajah tidak percaya.

“Yupz, that's true. That what it was” ujar Hamdi pelan menghindari rasa geli supaya tidak tertawa kembali. Dadanya masih nyeri sehabis tertawa sebelumnya.

Mereka saling pandang sambil menutup mulut menahan tawa. Terasa lucu. Lucu dengan sebutan juara namun nilai tak sampai satu. Terdengar suara pengumuman dari speaker yang ditempel di langit-langit ruangan. Jam besuk pasien telah habis.

“Ih, kok lucu. Kok ada ya juara nilainya ga sampai satu. Minimal 60, kek.” ujar Wazna merasa aneh.

“Iya, baru kali ini tau ada yang juara nilainya segitu” ledek Narina kepada Hamdi.

“Sekarang Bapak dapat gelar baru, Sang Juara minus nol koma limaaaa” Aswin menimpali seraya lengan kanannya mengarah ke Hamdi.

Hamdi tidak merasa tersinggung dengan tingkah dan ucapan siswanya. Justru hal itu menjadi hiburan disaat dia dilanda rasa sepi. Sekilas dia terbang ke masa lalu saat sertifikat penghargaan diberikan di atas podium, dengan menyebut nilai minus itu. Semua peserta bersorak antara lucu dan kecewa. Lucu karen nilai yang memang lucu. Kecewa karena bukan mereka yang berada di atas podium penghargaan. Hamdi tetap bangga, meski nilai lucu, tapi dia menjadi wakil kabupaten untuk seleksi selanjutnya tingkat provinsi. Yang lucu sebenarnya makhluk yang bernama sepi.

Tiba-tiba tabir jingga muda ditarik dan terbuka. Seorang perawat muncul menemui mereka. Perawat wanita berbaju biru berkerudung sorong putih sedada.

“Mohon maaf adek-adek, suaranya terlalu kencang terdengar dari luar ruangan. Lagipula, jam besuk sudah habis. Kami persilahkan pulang. Terimakasih atas kunjungannya dan telah menghibur pasien kami. Pasien kami butuh istirahat”

Mereka hanya mengangguk menyetujui. Mereka tak banyak protes. Narina dan Wazna melambai sambil meninggalkan ruangan.

Get well soon, Mr.” ucap Narina dari pintu. Perawat membetulkan letak ujung alat ventilator yang dipasang di muka Hamdi. Suasana kembali hening. Sepi muncul kembali menyapa Hamdi. Hanya suara gelembung gas oksigen di atas tabung yang terdengar samar. Hamdi kembali ditelan sunyi ruangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

+62111, Ada apa ya?

Langko