BAB 4. SUARA RINDU DARI SEBERANG PULAU


Matahari sudah menghilang dari pandangan Orang-orang yang setia mengukur berulang-ulang jalan melingkar di halaman Masjid Agung Ranai tanpa mau tahu waktu. Hanya sisa-sisa cahanyanya yang masih dipantulkan pada mega merah di ufuk barat. Mempetegas warnanya yang dengan waktu yang tinggal beberapa menit. Setelah itu, merahnya pun menghilang. Menyatu bersama hitam malam. 

Seiring digulungnya cahaya surya, sinar rembulan malam ke sepuluh sudah mulai berbisik diantara bisingnya kota. Pijar cahaya lampu di tepi jalan memantul pada mahkota bunga Kamboja kuning yang tegap di pinggiran jalan. Bahkan suara pengajian selepas shalat maghrib menggema dari toa di pucuk menara. Hiruk pikuk kendaraan di jalan raya pun berlomba saling mendahului, meski hanya perkara siapa yang mendapatkan posisi paling depan di perempatan lampu merah. 

Semua ini sudah 10 hari tidak dapat Hamdi lihat dan rasakan karena badannya yang lemah, terbaring dalam kamar dengan tirai jingga muda, di dalam deretan ruang rawat penyakit dalam, didalam gedung rumah sakit, yang pula dikelilingi pagar yang luas. Dirinya jauh di dalam. Tak dapat dia melihat indahnya mega merah yang pelan-pelan dihisap aura malam. Tak dapat lagi dia memasang telinga, mendengar kajian muballigh di masjid. 

Semayup suara riang bersuka cita merembes menembus dinding. Agaknya orang di rawat di kamar sebelah dikunjungi oleh semua keluarganya. Agaknya kondisinya semakin membaik. Agaknya mereka riang gembira melihat keluarga yang sakit semakin membaik. Agaknya ada hujan diluar yang menembus atap dan plafon ruang perawatan. Agaknya air itu telah menetes dan jatuh mengelus pipi dengan basahnya. Membuat dada Hamdi tersendat-sendat. Menciptakan gelas optik cair yang melapisi kedua bola mata. Geraham bawah berkali-kali dia tekankan dengan kuat ke geraham atas. Agar tak terlalu deras kiranya hujan lokal malam itu. Sesak dadanya yang sudah bernafas pula sesak dengan rindu dengan keluarga yang sangat jauh di sebrang sana. 

Bunyi gagang pintu yang kering karena kurang pelumas meringkik dibuka seseorang. Seorang gadis pramusaji dengan seragam biru hitam mengantarkan makan malam. Piring besi dengan enam sekat diletakkan pada buffet di samping kirinya. Buah delima yang telah dipotong-potong, juga diletakkan di atasnya. Pramusaji berlalu. Hanya berpesan jangan lupa makan, dengan senyum setipis tisu. Standar SOP sekali. Tidak ada pesan jangan bersedih, atau jangan putus asa, atau membacakan sebait puisi. Tidak mungkin pernah ada. 

Ditengah hujan lokal yang kembali menetes, Hamdi merasakan getaran. Hape yang diletakkan di atas buffet bergetar mengenai piring besi. Sebuah video call masuk dari anak s, Noura, yang baru kelas 2 Sekolah menengah pertama. Panggilan video Hamdi reject. Hamdi yakin istrinya juga ada di depan layar karena hape Android hanya satu untuk mereka berdua. Bukan karena tak sayang anak dan istri. Atau karena tidak mau diganggu. Bukan. Sekali lagi bukan. Dia hanya tak mau anak dan istrinya bersedih karena mengetahui keadaannya yang sebenarnya. 

Istrinya divonis dokter mempunyai penyakit jantung stadium tiga. Belum lagi embel-embel penyakit lainnya yang mulai merayap perlahan ke seluruh badan. Hamdi faham betul. Jika ada masalah yang difikirkan istrinya, hal itu bisa membuatnya tak bisa tidur, asam lambung naik, rambut rontok, hingga malas masak. 

Noura anaknya semata wayang, adalah gadis ayu yang cerdas. Namun, menjelang keberangkatan Hamdi ke Ramai, dia pun memiliki kelainan. Mirip-mirip Anxiety Disorder. Rasa cemas akan ayahnya yang pergi jauh mengantuk dirinya. Pembawaan ceria yang sehari-hari melekat padanya menjadi serba malas dan lesu. Dia khawatir ayahnya tak mendapatkan makanan yang sehat. Dia hawatir ayahnya tak menemukan warung yang menjual sayur bening. Hawatir ayahnya akan kurus kering karena tidak ada cemilan setelah makan seperti biasanya. Hawatir tidak ada lagi yang harus ayah marahi. Dia super cemas. 

Tapidada Hamdi yang sesak karena rindu juga tak dapat menahan ombaknya yang selalu menghantam dinding tepian hatinya. Dia memutuskan untuk mengirim pesan. 


My Boo Boo, so sorry. Kita telponan biasa aja ya. Hape ayah kameranya bermasalah”

OK, my Bubba” balasan dari seberang pulau. 

Hamdi menatap langit-langit kamar rawat inap dengan muka sedih. Dia merasa bersalah karena telah menyusun dan menjalankan misi kebohongan terhadap anak dan istrinya. Dibelanya nafas dengan pelan dan teratur. Dites tesnya bunyi suaranya seperti tukang sound system. Supaya tak terdengar seperti sedang bersedih. 

“Hello, Ayah, ini anakmu yang cantik, Noura” terdengar suara anaknya dari balik hape yang telah disematkan senyuman paling manis, lucu dan imut. 

“Halo anak gadis ayah yang paling cantik, yang paling imut, yang paling lucu. Gimana kabar anak ayah di sana? Jangan ngemil berlebihan. Ntar badannya seperti Hippo yang di sungai Nil”

“ih, ayah belum apa-apa sudah ngeledekin Noura. Kabar Noura dan Ibu baik.”

Suara hening sebentar. Bunyi roda troli makan terdengar cukup keras melintas di depan kamar Hamdi. 

“Noura cemas, ayah sudah lebih sepuluh hari tak ada kabar”

“aman kok, tuan putri, tidak ada apa”

“trus, kok ga boleh video call? ”

“kamera nya rusak, Noura”

“perbaikilah, ayah. Biar Noura bisa lihat hidung jambu ayah” Noura tertawa cekikikan

“biaya reparasi Hape dua kali lipat lebih mahal dari harga di sana loh. Hampir satu juta. Kurang beberapa ribu malah. Sayang juga. Untuk ditabung dulu, untuk ongkos tiket pesawat jika mau pulang nanti”

“berarti lama dong baru bisa liat wajah ayah, meski melalui hape” tawa Noura yang tadi riang berganti nada cemas dan sedih. Suasana hening kembali menyela. Hamdi membayangkan wajah sedih anaknya yang memandang kebawah. 

“Sabar ya Noura ayah yang cantik. Semoga dalam waktu dekat ada tambahan rejeki untuk perbaiki hape. Kalo perlu beli yang baru, agar tak rusak lagi” Hamdi mencoba membesarkan hati anaknya yang sedang bersedih. 

“Oke deh. Tapi ayah harus janji, begitu dapat uang tambahan segera perbaiki hapenya. Trus langsung video call Noura”

“iya, ayah janji”

“oh iya, tiga bulan lagi penyerahan rapor kenaikan kelas. Noura akan juara umum. Noura akan naik ke podium menerima penghargaan, dan ayah akan melihat dari tempat duduk VVIP di bagian depan. Noura akan diminta pidato diatas podium, didepan 720 orang siswa dan 35 orang guru. Belum lagi wali murid yang datang. Kalau perlu Noura akan sampaikan bahwa ayah adalah inspirasi Noura sehingga bisa juara umum. Noura akan gandeng tangan Ayah untuk menemani Noura. Ayah bisa pulang kan mendampingi Noura? ” 

Menetes kembali air mata Hamdi mendengar keinginan dan harapan anaknya. Gembira bercampur sedih. Gembira membayangkan anaknya benar-benar meraih juara umum. Dan sedih melihat kenyataan bahwa dia terkulai lemas di rumah sakit, yang berarti besar kemungkinan dia tidak bisa memenuhi harapan putrinya. 

“iya, ayah usahakan pulang”

“kok usahakan sih, ayah? Janji doong” terdengar suara manja penuh harap dari Noura. 

“iya, ayah janji akan pulang tiga bulan lagi”

“yeeee, asiiik bisa pencet hidung jambu ayah lagiii. . . ” suara Noura kegirangan. 

“asal aja kamu, Noura. Hidung ayah bukan trompet mamang es krim”

“Biarin, weeeekk. Sekalian aja ayah nanti jualan es potong coklat” kembali suara renyah tawa Noura penuh manja masuk ke pendengaran Hamdi. 

“Anak ayah bisa saja. Jaga kesehatan ya. Jangan suka Bergadang. Makan makanan yang sehat. Jangan suka jajan berlebihan. Jagain juga Ibu ya. Doakan ayah disini sehat”

“baiklah, Cekgu” jawab anaknya sambil tertawa. 

Suara Noura sudah menghilang. Terbang kembali ke seberang pulau nun jauh di sana. Suasana kembali hening. Semakin hening. Semakin sepi terasa. Tapi paling tidak dia sudah mendengarkan suara manja anak gadis semata wayangnya. Itu sudah cukup membayar tagihan rindu yang selama ini mendera hatinya. Bahkan cukup untuk menggantikan makan malam yang disiapkan gadis pramusaji tadi. Cukup kenyang melepas rindu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

+62111, Ada apa ya?

Langko