BAB 5. CINDO NIAN


“Cak mano kabar, kamu Win?” tanya Nuriyani kepada Aswin sambil menghirup kuah pindang patin yang merah pedas dari sendok makan bergagang kuning. Tak dia sangka di kota Ranai pun ada masakan lezat khas daerahnya.

“Alhamdulillah, baik, Mak Su ” Jawab Aswin kepada adik bungsu ayahnya. Sepotong roti kemang yang berisi parutan kelapa dan gula merah disantapnya dengan lahap.

Aswin merupakan anak dari kakak Nuriyani. Ketua kelas 3 IPA ini memiliki perawakan yang kurus dengan kulit sawo matang. Tinggi badan 165 sentimeter. Rambut hitam lurus disisir ke samping. Dia dikaruniai hidung bangir, alis tebal hampir melengkung sempurna, kumis tipis diatas bibir yang rounded. Bola mata hitam kecoklatan. Tajam pandangannya. Semua itu Tuhan himpun pada canvas wajah yang oval.

Dia terpilih sebagai ketua kelas bukan karena dia yang paling pintar. Bukan pula karena dia naik RX King setiap hari ke sekolah. Tidak pula karena ditunjuk guru atau kepala sekolah. Atau yang paling sering disuruh-suruh guru. Bukan. Dia terpilih menjadi ketua kelas justru karena dia menolak dicalonkan. Ribet dan merepotkan, alasan dia ketika menolak pencalonan. Namun, justru alasan itu yang membawanya terpilih menjadi ketua kelas.

Memang, pembawaannya santai, dan bisa mengimbangi obrolan semua watak temannya, tak hanya teman sekelas, namun hampir semua teman di sekolah. Mulai yang paling pintar, paling bodoh, yang usil, yang sok jagoan, yang pemalu, yang pendiam, yang extrovert, yang hobi mojok, sampai yang melambai pun bisa dia ajak ngobrol asik. Itulah si Aswin.

Tapi harus kita faham bahwa banyak tipikal manusia yang memang tak pernah mau diberikan beban. Istilah kalau dengan dia sudah bisa beres, mengapa harus aku juga masih banyak yang menjadikannya sebagai jimat lipat yang dibawa kemana-mana dalam dompet. Pilihan seperti ini membuat sebagian orang tak bisa mengembangkan potensi diri. Bahkan justru mendirikan tembok raksasa yang menghalangi keluarnya kreatifitas yang terpendam.

Aswin, meski dia selalu menolak, toh akhirnya menyadari terbukanya gerbang potensi dalam dirinya sebagai pemimpin. Meskipun hanya sebatas ketua kelas.

“Berapa lama Mak Su akan tinggal di Ranai?” Tanya Aswin dengan mulut yang masih penuh dengan roti kemang. Suaranya terdengar bercampur bunyi roti yang bersuka cita dilahap habis oleh tuannya.

”Sekitar tiga bulan kedepanlah, Win. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, sembari menikmati keelokan bumi Ranai dan berkumpul dengan kalian di sini“

”Elok apanya, Mak Su, Ranai hanya seperti inilah adanya. Yang betul itu Mak Su“

”Betul apo dio, Win? “

”Cindo nian, Mak Su“ Aswin memuji kecantikan bibinya dengan menggunakan bahasa Sumatera Selatan yang bermakna cantik atau elok sekali.

”Kamu bisa aja, Win. Janganlah pula kamu mau bilang suka sama Mak Su ya! “

”Idih, pantang dipuji sekali ternyata. Lagian senang atau sayang sama bibi siapa yang larang? Kan sayang karena keluarga wajar saja toh. Kalau cantiknya Mak Su itu adalah bonusnya. Lagian, Mak Su sudah punya anak satu orang, sudah jadi istrinya Om Farhan“ celoteh Aswin dengan gerak tangan seperti sedang membaca puisi”

Memang, Nuriyani, adik dari ayahnya mempunyai wajah yang elok nan rupawan. Setiap bicaranya selalu terselip senyum dan bumbu tawa yang manis. Membuat setiap orang yang diajak berbincang merasa nyaman dan cepat akrab. Mungkin dari dia pula lah cara berbicara yang asyik menurun kepada Aswin. Sehingga, Aswin meski menolak menjadi ketua kelas tetap terpilih pada akhirnya.

Nuriyani tidak tinggal di Ranai. Dia tinggal di Sumatera Selatan. Seorang pengusaha tanaman hias yang produknya sudah banyak di ekspor ke luar negeri. Tidak hanya itu saja, karena kepiawaian dan cara berbicara nya yang selalu bisa membuat orang akrab, tanpa batasan status sosial, dia bahkan dikenal hampir semua masyarakat satu kabupaten tempatnya tinggal.

Iya-iya. Mak Su hanya menggoda kamu saja. Teman sekelasnya banyak yang lebih cantik, kan?

“Banyak sih yang cantik tapi tidak ada yang bisa diajak ngobrol seasik Mak Su”

“Masa sih? ”

“iya, beneran”

“Makanya kalian itu harus banyak membaca buku. Dengan banyak membaca wawasan akan bertambah luas. Banyak mengerti akan segala hal. Minimal faham sedikit-sedikit lah. Gunanya apa? Gunanya agar kamu bisa ikutin semua topik pembicaraan, siapa pun lawan bicara kamu bisa nyambung ngobrolnya. Tak hanya diam mengangguk-angguk seolah mengerti tapi aslinya kosong melompong”

“berarti harus banyak sekali dong yang harus aku baca”

“Ho oh. Kan tidak mesti juga dilahap dalam satu waktu. Makanya mulai saja dari sekarang. Jika dulu alergi sama tumpukan buku, sekarang harus berubah menjadi cinta sama buku apa saja yang berguna. Yang penting tidak mencuri buku orang saja ya” Nuriyani menjelaskan.

“Begini, jika kamu tadi bilang Mak Su cindo nian, maka kata itu juga harus kamu pakai untuk buku sehingga selera membaca terus bertambah, tidak bakalan kenyang selamanya. Selalu haus. Selalu ingin buku yang lain setelah selesai membaca buku sebelumnya”

Ada saja orang yang memanfaatkan keadaan. Pada saat seperti sekarang, musim pemilihan kepala daerah, sudah jarang figur yang mencalonkan diri yang sudah matang, yang sudah siap mengayomi tanpa membeda-bedakan. Yang ada sekarang berlomba meraup suara. Tentu saja salah satu strategi adalah berduet. Nuriyani pun, karena sudah dikenal luas dengan nama baiknya, dia pun telah dilamar beberapa partai.

Sebenarnya, dia berlibur di Ranai hingga tiga bulan merupakan salah satu alasannya untuk menghilang dari kejaran media massa dan orang partai. Selain memang ingin memperluas usaha tanaman hias di Ranai.

Bagi Aswin, dia tak mau ambil pusing. Kedatangan bibinya ke Ranai menambah keceriaan suasana rumah. Ada saja yang bisa diobrolin, hingga tertarik pula untuk mendaki gunung Ranai.

“Win, kamu pernah naik ke sana?" Tangan Nuriyani menunjuk ke arah barat, ke arah gunung Ranai.

”Pernah, sudah dua kali. Terakhir dua minggu yang lalu. Tapi yang terakhir ini kami tak sempat menikmati suasana karena harus cepat-cepat turun“

”Lah, kenapa? Rugi dong sudah letih mendaki kemudian harus cepat kembali ke bawah“

”Ada seseorang yang harus segera dibawa ke rumah sakit“

”siapa?“

”Pak Guru Hamdi. Dan sampai sekarang masih terbaring di rumah sakit“

Nuriyani terdiam sejenak. Aswin pu ikut terdiam. Detak jarum jam dinding lah yang jelas terdengar, diselingi deru kipas angin yang tertanam pada plafon ruangan.

”Ada apa, Mak Su? Kok diam? Tak jadi rencana naik ke Gunung Ranai? “

”Tidak, bukan. Kasihan juga gurumu. Semoga dia cepat sembuh. Sepertinya dia guru yang baik, yang disayangi semua orang di sekolah.“ nada bicara Nuriyani tiba-tiba berubah. Warna mukanya pun jadi sedikit kaku. Hanya memiringkan kepala dan menatap langit-langit ruangan.

Ada sesuatu yang membuatnya cemas namun tak dia faham soal apa. Apakah tentang orang-orang media massa yang bisa tiba-tiba menyerbu ke rumah Aswin, untuk mencari tahu Bacalon siapakah yang dia pilih untuk didampingi. Atau perwakilan orang-orang partai yang bisa datang untuk membujuknya mendampingi bacalon bupati secara langsung. Ataukah hal lain. Tak karuan isi fikiran. Dia hanya berharap di Ranai dia bisa nyaman dan mengobati hatinya yang gundah. Meski demikian, sepiring pindang patin kuah merah menyala telah kering. Pun Roti kemang yang dibawa dari Musi Rawas Sumatera Selatan habis disantap Aswin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

+62111, Ada apa ya?

Langko