BAB 6. BEDA GUNUNG BEDA RASA
Tidak banyak yang tau cita-cita Wazna yang sebenarnya. Penetapan dia masuk kelas 3 IPA juga sebenarnya tak sejalan dengan cita-citanya. Karena dia sangat mencintai buku dan hobi sekali membaca buku, komite guru menetapkan dia cocok di kelas eksakta. sebab, memang hasil membacanya cukup membekali dirinya bergumul dengan tabel periodik, atau teori-teori genetika, atau bahkan fisika yang rumit semacam mekanika quantum. Padahal, tak semua bacaannya itu materi sekolah menengah atas.
Namun, sebenarnya dia sangat mendambakan berkantor di gedung pemerintah. Mengolah dan melaporkan pendapatan, pajak dan administrasi lainnya. Cita-cita aslinya ingin jadi seorang akuntan. Semestinya dia duduk di kelas IPS. Tapi dia diamkan saja. Faktor X menutup mulutnya secara kasat mata untuk meminta di kelas IPS. Narina sahabat gulalinya. Dia tak mau pisah. Wazna pun demikian. Hal itulah yang membawanya bergabung di kelas IPA.
Dia juga penggemar Heavy Metal Band asal California yang banyak memajang logo kelelawar mati dengan tengkorak kepala sebagai badan, yang berasal dari California, US. Penyebabnya karena music sejenis ini seringkali dia dengar di rumahnya. Saudara tertuanya seringkali memutar album Avenged Sevenfold jika sudah menutup rapat kamar tidurnya.
Wazna gadis manis berkulit kuning langsat. Rambutnya yang hitam sebahu, seperti kail pancing pada ujungnya yang menghadap ke depan. Penyuka warna soft oranye ini lebih pendek 5 sentimeter daripada ketua kelasnya, Aswin. Bibirnya yang berbentuk bulan sabit selalu memberikan senyuman ketika menemukan buku baru yang belum pernah dibacanya. Warna pipinya alami tak seperti temannya yang lain yang suka berdandan ria. Dia asal ada saja bedak sedikit itu sudah cukup baginya.
Dia juga selalu tertarik dengan anak-anak lelaki yang postur badannya jauh lebih tinggi darinya. Persiapan perbaikan keturunan, jawabnya jika ditanya mengapa.
“Ayuk, belikan Wazna buku ya, jika mampir ke toko buku” ucapnya dengan suara setengah teriak kepada Nazra Diyah, saudaranya yang paling tua, yang sedang memasang sepatu, bersiap keluar rumah.
“Ga janji ya, Dek. Soalnya belum tau jam berapa acaranya selesai. Lagi butuh buku apa? ”
“Novel aja, Wazna lagi butuh bacaan sastra”
“Judul? ”
“Olenka. kata guru, itu novel yang rumit, tidak bisa difahami semua jika hanya baca satu kali. Dibaca dua kali tamat juga belum tentu faham. Wazna jadi penasaran”
“Gurumu sok tau, Dek. Itu guru ngajar mata pelajaran sastra? ” Nazra berdiri telah rampung mengikat tali sepatu pink.
“Bukan. Guru bahasa Inggris”
“tuh kan, memang tak nyambung. Guru bahasa Inggris kok komentar buku sastra” bibir Diyah maju ke depan, mencibir.
“Gurunya asyik, kalau ngajar suka maen gitar dan nyanyi lagu barat”
“Oh ya? ” gerakan kepala Nazra diiringi nada tanya yang panjang. Masih meledek.
“Size the day, Dear God, Unintended, dan masih banyak lagi”
“Serius kamu Dek? Wah beneran asik dong. Boleh tuh ntar ayuk duet nyanyi sama gurumu” Diyah tiba-tiba kembali duduk di sofa biru meski sudah mengenakan sepatu.
“Ayuk tuh ya, perkara lagu rock metal aja semua langsung bisa berubah. Tadi mencaci, sekarang menghampiri”
“hahaha. . . Kalau kita ini tau ada orang yang mempunyai hobi yang sama dengan kita, ya pasti senang dong”
Kaki Diyah memanjat meja, melipat seperti rotan. Gaya gayaan di depan adiknya.
“Tapi, meski Pak Hamdi guru bahasa Inggris, dia mengaku baru suka lagu metal rock setelah seorang teman dekatnya mengirimkan dua lagu itu sebagai tambahan koleksi. Padahal dia belum pernah bertemu sekali pun dengan teman dekatnya. Hanya melalui telpon sering nyanyi bareng”
Diyah tak menanggapi, pandanganya sesekali dilempar ke teras rumah. Seperti berjaga-jaga. Seperti sedang menunggu sesuatu. Tapi telinga tetaplah mendengar. Mendengar adiknya yang semangat sekali menjelaskan.
“Dek, kamu senang belajar darinya? ” pertanyaan Diyah berubah seperti petugas imigrasi di bandara.
“Banget. Siswa sekelas sangat bahagia jika sudah dengan bapat itu. Ruangan kelas bisa dibuatnya seperti suasana konser. Padahal suaranya biasa saja. Kadang fales juga”
“yaa, berarti kalian beruntung dapat guru yang mengajar dengan sepenuh hati” ujar Diyah yang kini kembali berdiri sambil sedikit menari Zapin.
Bunyi klakson mobil menarik Diyah keluar. Sebuah mobil berwarna biru metalik telah menunggu di depan pagar rumah. Diyah terlihat bergegas. Hari ini pertama kali Diyah sebagai Event Organizer yang meng-handle konser amal dari band-band di tanah air. Kali ini diadakan di tanah paling utara dari negeri ini, di natuna, di Ranai. Dana yang terkumpul nantinya akan di sumbangkan ke Palestina dan tempat-tempat lainnya yang sangat butuh ukuran tangan.
Diyah lahir dan besar di Pangkalan Kuras. Orang tuanya seorang petani sawit yang mempunyai kebun lumayan luas. Meski rumahnya bukan di ibu kota kecamatan, di desa, dekat dengan kebunnya, Diyah tetap senang. Dengan harga tandan buah segar sawit yang lumayan mahal harganya keluarga Diyah hidup dengan ekonomi lebih dari cukup.
Lingkaran sahabatnya lebih banyak anak laki-laki. Di dunia anak perempuan jarang dia menemukan orang yang sama suka lagu-lagu metal rock. Tentu saja kegiatan touring dan mendaki gunung dia ikuti. Gunung terakhir yang dia daki adalah gunung kerinci yang berada di provinsi jambi. Salah satu gunung Merapi yang masih aktif hingga saat ini.
Sekarang ini pun, mumpung di Ranai, Diyah punya rencana untuk mendaki gunung Ranai. Meskipun hanya sepertiga dari tinggi gunung kerinci. Beda gunung beda rasa, ujarnya waktu dilarang buat rencana mendaki di Ranai. Memang tak salah adiknya melarang. Beberapa waktu yang lalu ada beberapa tempat yang longsor. Curah hujan sangat tinggi. Debit air yang melimpah itu tak bisa ditebak waktunya kapan tiba. Sebab, sepanjang hari belakangan panasnya melebihi musim kemarau, tiba-tiba saja hujan seperti badai sepanjang hari.
“Menikmati kopi tanpa gula di ketinggian puncak sebuah gunung itu memberikan suasana yang berbeda. Lebih fantastis daripada minum kopi di kafe atau di warung kopi samping pasar. Di atas puncak sana, secangkir kopi pahit bisa mengingatkan hal-hal yang terlewat begitu saja dalam kehidupan ini yang sebenarnya lebih manis daripada gula.”
“Creamer yang biasa nongkrong di bagian atas kopi kafe sudah diganti yang lebih seru. Lautan awan yang membentang. Entah dimana tali yang digunakan untuk menggantungnya, atau ujung tali itu dilakukan pada dinding langit yang mana. Sungguh pengalaman berbeda dan tak tergambarkan di lembaran kertas”
Penjelasan panjang Diyah pada adiknya yang belum pernah mendaki gunung, sehari sebelumnya. Saat menunggu pesanannya datang di sebuah kafe.
“Tetap bahaya, Yuk, apalagi untuk kita yang perempuan. Kalau tiba-tiba sakit, seperti Pak Hamdi, bisa repot”
“Wazna, manusia ini ajalnya tidak ada yang tahu. Mau meninggal dalam keadaan seperti apa juga tidak ada yang tau. Tempatnya juga tidak bisa dipilih. Itu rahasia Tuhan. Kita hanya harus bersiap-siap”
“Gurumu kenapa?”
“Tiba-tiba sakit. Jadi yaa, digotong turun dari puncak Ranai, langsung masuk ICU”
“Kapan-kapan kita jenguk gurumu, siapa tahu bisa nyanyi duet lagu Dear God” ucap Diyah kepada Wazna sambil tertawa kecil.
“Mana bisa, mau kena usir satpam karena bikin gaduh?!”
“Siapa tahu gurumu sembuh setelah bertemu Ayuk, kan. Namanya juga usaha” kembali Diyah menggoda adiknya.
Pramusaji di kafe Hari Dah Sore meletakkan pesanan mereka berdua. Diyah minta ditemani mencicipi Kopi Pandan khas Ranai. Sementara Wazna memilih Nasi Goreng Senja. Kafe ramai pengunjung. Terlihat banyak orang memadati jalanjalan Sukarno Hatta menunggu masuk ke parkiran kafe yang baru buka pukul empat sore hingga tengah malam.
Sabtu malam sangat ramai di kafe ini. Namun, siapa sangka relung hati Diyah menjadi sepi meski ditengah keramaian. Sesuatu yang belum dapat Diyah simpulkan. Seperti melihat kado yang belum boleh dibuka. Cemas dan harap.
Komentar