BAB 7. KESEPIAN
Bel istirahat pertama telah berbunyi. Siswa berhamburan seperti anak ayam yang tak dikasih makan pagi. Tentu saja kantin Bude Dewi tempat paling cepat yang penuh. Seolah meja dan kursi belajar pindah ke kantin. Rapi tangan mereka di atas meja serupa baju yang baru dipungut dari jemuran samping rumah dan dilipat oleh seorang bapak-bapak. Panjang sebelah. Tinggi sebelah. Atau tambah kusut dan menumpuk.
Setiap meja panjang merelakan dirinya menampung berjuta obrolan labil. Tentang si anu yang diputusin pacarnya. Tentang jam pelajaran yang terlalu panjang sedang waktu istirahat hanya setengah jam. Tentang ongkos minyak yang dijatahi oleh orang tua sedangkan harga minyak di SPBU semakin kencang menanjak. Tentang makanan kantin yang keasinan. Semua tak luput dari goyangan dan oper operan kata. Setiap meja miliki isu hangat masing-masing.
“Aswin, tolong lah bisikin sesuatu ke telinga Pak Tamliha, agar memberikan guru pengganti yang lebih bermutu daripada yang mengajar tadi. Pengganti Pak Hamdi ngajarnya tidak asik. Terlalu kaku. Monoton. Jarang senyum. Tidak bisa melakukan ice breaking jika pelajaran membosankan. Sekali dia melucu, hanya giginya yang kering dipaksakan terbuka, tak satu pun yang terbawa lucu. Garing bahkan hampir gosong saking dipaksa lucu tak lucu-lucu” Narina berbicara dengan gigi ditahan sambil memukulkan telunjuknya di meja kantin.
“Ayolah Pak Ketua, keluarkan jurus mautmu. Kalau perlu gandeng suara semua guru perempuan. Pasti Pak Kepala sekolah bakalan sepakat” Wazna menambahkan. Segelas penuh air putih kering diteguk.
“Patut kita coba. Aku pun rasanya cepat bosan dan hilang semangat jika Bapak pengganti itu masuk. Tapi, kalian kan juga tau, beliau masih kerabat Kepala Sekolah. Jalan tak semulus perkiraan. Ada resiko juga mengajukan pengganti” Jemari kanan Aswin memengurut ubun-ubun.
“atau kelas bahasa Inggris kita pindahkan saja ke ruang rawat Pak Hamdi. Pasti pada senang. Pasti bosannya hilang” Wazna memberikan usul. Novel Orang-orang Biasa karangan Andrea Hirata yang baru saja dibukanya, kembali ditutup. Nasi goreng dengan dobel telur mata sapi sudah mendarat di hadapannya.
Potongan mentimun di piring Wazna dengan cepat melayang ke mulut Aswin. Membuat suapan pertama Wazna tertahan sembari melototin mata kepadanya, pesan sendiri, kenapa sih? Begitulah kira-kira makna tatapannya.
“itu cari perkara namanya” Aswin masih mengunyah mentimun.
“yang ada Pak Hamdi yang sedang sakit bisa diusir keluar” lanjutnya lagi.
“jadi gimana? Ada ide ga? Kangen juga sama Bapak” Narina berujar. Pesanannya semangkuk tekwan tanpa tekwannya. Hanya kuah dan mie putih saja. Agak lain memang selera gadis satu ini. Pernah juga dia makan cengkodok ditambah kuah lontong sayur. Kue putu ayu di taburin kuaci yang sudah dibuang kulitnya pernah juga. Mungkin karena dia ketika lahir diletakkan diatas nampan bambu.
Mereka bertiga diam. Meja tempat mereka hening kata. Diberikan waktu untuk mengunyah dan menyelesaikan makan terlebih dahulu. Jika tidak, bel masuk akan berbunyi dan mereka tak sempat menikmati pesanan.
“Aku mau jenguk Bapak nanti malam”
“Sama siapa, Rin? ” tanya Aswin
“sendiri”
“aku ikut” Aswin bersemangat
“aku juga” ujar Wazna tersenyum lebar sampai terlihat potongan cabe merah yang terselip pada sela gigi gingsulnya.
Belum sempat Narina merespon, hape Aswin berbunyi. Sebuah pesan masuk.
“Hi, Could you please to see me tonight? I feel lonely” pesan teks dari Pak Hamdi. Mereka tersenyum membacanya. Mereka merasa seolah fikiran tersambung kepada gurunya.
* * *
Tabir jingga muda dibuka. Tiga serangkai langsung mengelilingi ranjang rawat inap.
“Pak, ini boneka Woody saya bawakan untuk Bapak. Jangan kesepian lagi ya” Narina ceplos begitu saja
“Bapak udah usia kepala tiga, Rin. Kamu ini ada-ada saja”
“Kan lucu Pak, dia pakai pakaian Cowboy”
“Terimakasih lah kalau begitu” Hamdi meraih boneka yang dibawakan oleh Narina.
“Sengaja saya minta kalian datang. Ada yang mau saya sampaikan” raut wajahnya yang rileks berubah mode serius. “Bapak merasa waktu yang tersisa tinggal sedikit. Bapak tidak ingin pergi namun masih menanggung beban berat. Tak ingin nanti di alam sana hanya bisa menatap dari kejauhan pintu surga namun tidak dapat izin masuk karena masih ada sangkutan yang harus diselesaikan”
Hamdi berhenti berbicara. Narina dan Wazna sama-sama membalikkan badan mebelakangi gurunya. Terdengar beberapa kali kaki dihentakkan pada ubin lantai ruang rawat inap. Mereka berdua sibuk mengelap pipi yang basah. Aswin menggenggam erat berulang-ulang besi penyangga kasur. Matanya juga berair.
“Namun, sebelum waktu itu tiba. Saya punya harapan. Asal kalian tahu, Bapak ini punya banyak sekali dosa dimasa silam. Berharap mereka semua menerima permohonan maaf dari orang yang penuh salah ini” ujar Hamdi. Entah mengapa muka boneka Woody juga terlihat sedih. Mukanya jatuh kedepan.
Narina dan Wazna membersihkan sisa air mata dan kembali menghadap ke Hamdi. “kenapa Bapak merasa repot. Kan cukup menelpon mereka satu persatu” Ujar Wazna yang kini duduk di kasur.
“Bapak tak punya nomor mereka. Ada beberapa yang masih berteman di media sosial, namun sepertinya sudah diblokir juga.Tak bisa mengirim pesan”
“Tapi, Bapak jangan bicara seperti tadi lagi, dong. Nanti aku nangis lagi” muka Narina kembali mewek. Hamdi tersenyum haru.
“emang sebesar apa salah Bapak? Hingga seperti sangat terbebani? Aswin memotong pembicaraan karena melihat Narina kembali menutup mata dengan jari kirinya.
”Dulu Bapak banyak dekat dengan gadis. Jika kalian berkata Bapak playboy, tak salah juga. Memang begitulah adanya“
Wazna memukul halus telapak kaki gurunya yang mengaku pernah menjadi playboy. Hamdi malah tertawa. Narina berhenti menangis dan ikutan ingin tertawa, namun suara masih tertahan. Aswin masih diam.
”Namanya juga masih muda, mungkin saja banyak ucapan Bapak yang tidak semestinya. Atau perlakuan yang kurang baik. Atau pengharapan mereka kepada Bapak yang tak terwujud. Bapak anggap itu kesalahan. Dan berharap mereka memaafkan“
Mereka bertiga saling tatap. Seperti terhubung dan sepakat mendengar pengharapan gurunya. Masker yang terhubung kepada tabung oksigen kembali Hamdi pasang. Sudah cukup lama dibuka sejak kedatangan mereka. Hawa dingin dari AC yang disetel 19°C merambat semakin padat. Seperti dinginnya sepi terbaring sendiri di rumah sakit dengan penuh salah diambang maut.
”Bapak sudah menuliskan beberapa surat untuk mereka semua. Isi intinya memohon maaf dan rela atas semua salah Bapak diwaktu yang lalu. Ada yang singkat. Ada yang panjang. Bapak minta tolong kalian kirimkan melalui pos kilat. Alamat yang dituju pun sudah Bapak sediakan. Semoga saja mereka masih tinggal di rumah yang sama. Tak dapat balasan surat pun tak apa. Yang penting mereka sudah tau Bapak meminta maaf dan rela dari mereka semua“
Hamdi mengeluarkan puluhan lembar kertas HVS yang sudah diisi coretan pena biru. Diberikan kepada Aswin yang sedari tadi tidak banyak berucap.
Kesalahan atau dosa kepada Tuhan bisa ditebus dengan bertobat. Salah dan khilaf dengan sesama manusia hanya bisa dihapus dengan kata maaf dari hati yang terdalam. Cinta yang pernah dilukai akan tetap perih meski luka sudah tertutup
Komentar