BAB 8. SURAT - SURAT DI ATAS BATU
“Es Kopi Omeno, ya Mbak” Aswin selesai memesan minuman. Kedua tangan menyangga badan. Kaki dilipat memanjang. Sesekali dia menoleh ke belakang. Ingin melihat apakah dia sahabatnya sudah muncul. Sudah lima belas menit dia sampai. Narina dan Wazna belum juga terlihat daun kuping dan bola matanya. Mereka sudah janjian untuk bertemu di Kafe Omeno. Kumpulan surat-surat Pak Hamdi juga dibawa serta. Tebal. Setebal skripsi. Entah kapan Pak Hamdi menuliskannya.
Pandangan Aswin menelusuri bebatuan di pinggiran pantai. Indah dan sangat alami. Alif Stone, orang-orang menyebutnya. Batu-batu purba ini tertancap dengan indah seperti lukisan. Disebut demikian, karena ada satu batu yang tegak berdiri menyerupai huruf alif dalam aksara Arab. Harapannya agar yang datang berkunjung dan melihat batu ini akan ingat kepada yang Maha Pencipta, dan kita harus memiliki kesadaran untuk merawatnya. Begitu cerita pengurus taman batu ini sebelum Aswin masuk ke dalam kafe.
“Silahkan, Bg. Ini pesanannya. Es Kopi Omeno” Pramusaji tersenyum sesuai standar prosedur operasional (SPO) layanan .
“Terimakasih, Mba” ucap Aswin. Pramusaji kembali tersenyum SPO dengan sedikit membungkukkan badan.
Dia kembali menatap luasnya lautan membentang. Es kopinya hanya diletakkan di atas meja kayu segi empat dengan permukaan sengaja dibuat berjarak, antara kayu-kayu kecilnya. Memberikan estetika sedikit retro. Ingin rasanya Aswin merebahkan punggung di atas batuan besar tempatnya duduk menunggu. Namun eksotik suasana matahari menjelang menarik selimut malamnya juga telah memaku matanya.
“Maaf Pak Ketua kelas, kami sedikit terlambat” Wazna dan Narina datang menghampirinya dari belakang.
“Iya, terlambat sedikit, tidak mengapa” Aswin tertawa sambil meriksa jam tangan. Jam 5:25 sore. Mereka telat 25 menit masih dianggap telat sedikit, dalam hati dia bergumam.
“maaf ya ketua kelasku yang manis dan baik hati” Narina menggoda Aswin yang melihat jam.
“No problemo”
Tak berselang berapa lama, pramusaji yang tadi datang kembali. Menyodorkan buku menu.
“Singkong saljunya satu Mba” Pinta Narina
“Pisang aroma bandung” Wazna memesan.
Pramusaji kembali tersenyum SPO layanan kemudian balik kanan masuk ke dalam cafe. Angin laut sudah semakin kencang terdengar bersiur. Seperti membawa pesan dari segala arah. Bahasanya saling menyatu. Tak dapat dipecahkan meski menggunakan mesin pemecah kode Enigma. Angin yang datang dari delapan penjuru mata angin saling bercampur membawa rupa, rasa, dan warna. Tapi tetap tak terbaca.
“Apakah surat-surat Pak Hamdi sudah kau kirimkan? ” tanya Narina kepada Aswin yang sedang meneguk kopi.
“Belum”
“Kenapa? ”
“Entah apa yang membuatku gelisah setelah menerima semua surat ini untuk dikirim. Itu pula yang membuatku mengajak kalian bertemu disini” Aswin menarik nafas yang dalam sebentar.
“Maksudku, apakah surat ini pasti sampai kepada orang yang dimaksud? Sementaranya alamat yang diberikan adalah alamat lama, sudah beberapa tahun berlalu. Bahkan ada yang sudah lima belas, sembilan belas tahun, dan dua puluh tahun yang lalu” sambung Aswin kembali.
“Dicoba kirimkan saja, jika memang salah alamat atau alamat sudah tidak di sana lagi, surat biasanya akan kembali” Wazna menjawab rasa cemas Aswin.
“Iya kalau kembali, kita bisa berikan lagi ke Pak Hamdi. Namun, jika surat tak sampai dan tak kembali? Aku merasa cemas. Aku tau ini adalah curahan hatinya, sembari yang katanya mang memohon maaf. Takut aku jika ada yang menyalahgunakan”
“Jika demikian, kita periksa saja satu persatu. Kita baca. Jika perlu kita salin. Jadi jika ada yang tak sampai dan hilang, salinan masih kita miliki” Ide dari Narina yang sedikit keluar dari aturan.
“Tapi bukannya itu tidak sopan? ” Wazna menimpali. Singkong salju potongan pertama sudah melesat ke dalam perutnya.
“Tidak juga. Ini casenya sangat khusus. Ini demi Pak Hamdi. Harapannya kan cuma satu, mendapatkan kerelaan dan maaf yang diterima. Itu saja. Meski sebenarnya aku sangat sedih. Sedih jika ini selesai. Bapak benar-benar berlalu pergi untuk selamanya” suara Narina terdengar cemas.
“Kamu masih ingat, dia berkata dia boleh dibilang seperti seorang playboy. Aku masih kepikiran pernyataannya itu. Kalau pun iya, sangat normal sih, dia juga manusia. Dia juga seorang laki-laki. Namun, yang masih mengganjal di fikiran adalah karena pernyataan itu seolah-olah tidak sejalan dengan sikap dan pembawaannya sekarang yang sangat baik. Disenangi semua murid” Aswin berucap sembari kembali menghirup kopi yang dicampur dengan gula aren itu.
“Justru karena pembawaannya yang seperti itu, dia disenangi banyak orang. Tak menutup kemungkinan juga banyak orang suka kepadanya.” Wazna menimpali.
“Menurutmu, apakah ada seseorang yang memendam amarah atau bahkan dendam kepadanya? ” Aswin semakin serius bertanya. Dia tak menghiraukan indahnya matahari terbenam, gerakannya perlahan. Dengan pelan tubuh besar bulat berwarna orange kemerahan yang terang menyelinap diantara ombak ganas yang tak tampak dari atas batu tempat Aswin dan kedua sahabatnya duduk.
“Setiap orang pasti ada yang tak senang kepadanya, atau ada yang kecewa kepadanya. Itu lumrah saja.” Wazna menimpali perkataan Aswin.
Aswin mengeluarkan tumpukan kertas HVS dari Pak Hamdi. Surat-surat itu dia letakkan di atas batu datar. Sesekali tumpukan itu bersuara serupa kepakan sayap belasan burung kolibri yang mengepakkan sayap 4000 kali dalam satu menit karena dihembus angin yang kencang. Ribuan kata yang di dalamnya seperti ingin segera terbang mencari orang yang dituju dalam surat.
Beragam waktu beragam rupa, beragam tawa, beragam kecewa yang tertumpuk dalam lembaran. Siuran angin yang kencang yang meliuk-liuk diantara sela-sela batu purba, mencoba menterjemahkan suasana hati setiap anak manusia. Sayangnya Nabi Sulaiman sudah lama berlalu, tak sempat lagi menimba ilmu supaya bisa berbincang bersama angin di pantai Desa Selempang.
“Rin, Wazna, aku berencana membaca semua surat ini sebelum dikirim. Supaya aku faham kegelisahan yang dialami oleh Pak Hamdi. Supaya aku bisa memahami perasaannya saat ini. Supaya aku bisa menyelam ke kedalaman hatinya, di bagian mana saja yang masih ada luka. Kiranya aku bisa membantu mengeringkan luka-luka lama dengan membantu sebisanya” Aswin menatap mata kedua sahabatnya berharap ada tanggapan yang sejalan.
“Apakah tak mengapa? Karena hal itu akan membuat waktu pengiriman surat semakin lama. Semakin lama pula sampai kepada orang yang di maksud” Wazna menanggapi
“Aku juga memikirkan hal yang sama. Kemarin kita hanya mendengar sekilas apa yang membebani fikiran Pak Hamdi. Dengan membaca surat-surat ini, tergambar pula maksudnya secara utuh. Hal ini memang tak sopan membaca surat untuk orang lain. Namun, aku khawatir waktu kita benar-benar tersisa sangat dikit sekali. Jika pun iya demikian, aku ingin berguna untuknya pada saat terakhir” Narina kembali tak dapat menahan air mata. Dibiarkan bulir-bulir bening itu jatuh diatas batuan besar yang didudukinya. Angin seolah bermaksud mengeringkannya dengan segera, hembusannya terasa lebih kuat menyapa wajah-wajah mereka.
Tiada lagi kalimat yang terucap. Mereka hanya mengangguk menyepakati. Tujuan mereka sudah sama. Ingin memahami isi hati gurunya tercinta yang sedang sakit terbaring di rumah sakit. Tiada yang tahu kapan ajal mendatangi seseorang. Sebagai siswa yang paling dekat dengan Hamdi mereka tidak ingin menyesal karena terlambat dan tidak mengambil keputusan yang tepat lebih awal.
Langit di atas laut sudah gelap. Hempasan ombak yang mengenai bebatuan yang tersebar acak di sepanjang pantai semayup memanjat kedalaman gendang telinga. Hanya batu alif yang masih terlihat jelas tegap berdiri, seolah membisikkan kata-kata semangat untuk tetap pada jalan yang dapat membantu memberikan rasa bahagia kepada orang lain.
Komentar