BAB 9. SUARA CEMPRENG
Malam minggu di kota Ranai. Biasanya Aswin nongkrong di kafe bersama teman-temannya yang lain. Club RX King Kota Ranai. Malam ini dia tidak keluar rumah. Dia memutuskan untuk menutup pintu kamar tidur lebih awal. Tidak seperti biasanya.
“Win, kamu sakit ya? ” tanya Nuriyani dari depan pintu kamar. “Biasanya kamu motoran sama temenmu kalau malam minggu begini” sambungnya lagi.
“Idag kok, Mak Su. Aswin hanya ingin di rumah malam ini. Banyak kertas yang mau aku baca”
“Yakin? Tak mau ajak Mak Su yang cindo Nian katamu, untuk keliling Kota Ranai naik motor kesayanganmu?” Nuriyani kembali membujuk Aswin.
“Maafkan Aswin ya Mak Su, malam ini ada yang harus Aswin selesaikan.”
“Ya udah ga apa-apa. Tapi lain kali ya”
“Iya, Mak Su” Jawab Aswin pendek dari dalam kamar. Dia tak ingin lembaran surat-surat Pak Hamdi terlihat dan terbaca oleh Bibinya.
Malam hari apalagi akhir pekan memang momen masyarakat Kota Ranai untuk melepas lelah, menikmati kota mereka yang sekarang sudah mulai dikenal dunia. Salah satunya karena adanya kawasan Alif Stone Park. Tentu juga posisi kepulauan Natuna yang merupakan tanah paling utara di negeri ini, menjadikannya salah satu tempat yang sangat strategis di mata internasional.
Sama dengan Aswin. Narina pun memilih tak kemana-mana. Malam minggu biasanya ada saja cowok yang datang ke rumah ngajakin dia bermalam mingguan. Tapi kali ini dia memilih diam di rumah. Dia juga ingin merasakan apa yang Hamdi rasakan melalui goresan penanya itu.
“Rin, ada tamu. Pemuda ganteng. Katanya mau ngajakin kamu minum kopi” Sahut Puput sambil mengetik pintu kamar Narina.
“Minta tolong sampaikan, Narina ada kerjaan. Tidak bisa keluar kemana-mana malam ini, ya Bi'”
“Tapi orangnya cakep loh”
“Ga apa-apa”
“Nanti Bibi yang masukin ke dalam saku baju loh”
“Biarin aja, yang ini lebih penting soalnya Bi'”
“Ya sudah, Bibi sampaikan dirimu sedang sibuk. Ada kerjaan ya. Biar dia disuruh pulang saja”
“Terimakasssseeeehh, bibi ku yang cakep”
Demikian pula dengan Wazna. Kakaknya, Nazra Diyah telah membujuknya untuk kembali ditemani bersantai sambil minum kopi di kafe Hari Dah Sore alias HDS. Suasana ramai akhir pekan memang asik buat berkeliling kota, kemudian menikmati malam di sebuah meja kafe yang dipayungi langsung dengan dedaunan pohon. Diterangi beberapa lampu pijar yang di gantung berjarak dua meteran. Diyah masih terus merayu.
“Ayolah dek, temanin ayuk ke kafe HDS. Nanti Ayuk traktir Nasi goreng serai” Diyah merayu adiknya.
“Mohon maaf Yuk, Wazna ada yang harus dibaca malam ini. Dan harus tuntas malam ini juga”
“Pekerjaan Rumah dari sekolah?”
“Bukan”
“Lantas?”
“Naskah novel yang belum terbit, langsung dari penulisnya” Jawab Wazna setelah berfikir keras 10 detik untuk menjawab tanpa berbohong. Memang, dia ada ide untuk menerbitkan surat-surat Hamdi menjadi novel jika tidak ada balasan surat dari orang yang dituju. Paling tidak jika novelnya terbit bisa terpampang lama atau beredar lama dari tangan ke tangan yang akhirnya akan terbaca sama orang sebenarnya, fikir Wazna. Ide ini masih disimpannya karena surat tetap harus dikirim.
* * *
Teruntuk
Sahabat kecilku, Fatma,
Yang katanya cinta monyet.
Kita dulu bertemu di sekolah pertama kali. Aku yang hitam keling, rambut jabrik menggapai langit karena seringkali kesiangan, buru-buru mandi dan memasang seragam biru putih tanpa sisiran. Sedangkan dirimu yang berkulit putih, mata tenggelam jika sedang tertawa. Hanya suaramu saja yang cempreng saat bicara (maaf).
Kita berbeda kelas. Dan juga jarang bersama jika di sekolah. Aku menjalani kelasku sendiri, demikian pula dirimu. Padahal kelas kita hanya dibatasi papan. Pun itu bisa dibuka pasang jika sekolah membutuhkan aula tambahan untuk acara. Atau jika ada perlombaan persahabatan antara sekolah.
Kita juga tak pernah janjian jadian. Kata kakak-kakak tingkat kita cinta monyet. Padahal tak ada monyet yang lalu lalang di sekitar sekolah. Pada saat pulang sekolah, dengan pedenya kita jalan berdua. Sengaja memisahkan diri dari rombongan siswa yang lain yang juga berjalan kaki pulang ke rumah. Tangan bergandengan sambil diayun ke depan ke belakang. Merasa pede sekali, padahal sepanjang jalan adalah rumah warga di kanan dan kiri jalan. Dan mereka biasa duduk di teras. Semua yang melintasi jalan pasti terlihat.
Aku pernah dimarahi ibu karena menolak didekati oleh sepupu sendiri. Alasannya tidak bisa gandeng dua tangan saat pulang sekolah. Jujur saja senyumanmu lebih menarik karena keahlianmu menghilangkan bola mata. Aku juga minder karena secara usia dia lebih tua. Alasan klasik dan sok dewasa.
Kita sudah sering pulang berdua tapi kita hanya cerita tentang yang lucu-lucu, atau yang konyol-konyol di sekolah. Hanya itu. Dan memang belum saatnya kita bercerita tentang memanen padi dan menakar beras yang akan ditanak. Belum. Namun, setelah beberapa bulan dirimu menulis secarik surat. Surat itu dirimu titip kepada sepupumu yang juga sekolah di tempat yang sama. Surat itu aku terima. Sampai esok hari pun belum juga aku buka. Belum juga aku baca.
Pada hari berikutnya, sebelum pulang dari belajar, surat itu aku serahkan kepada seorang guru. Sang guru pun membacanya di hadapanku dengan suara yang cukup terdengar sambil tertawa geli. Sialnya, belum selesai surat terbaca habis, guru yang lainnya sudah pada datang, dan ikut nimbrung dalam kelucuan suratmu, menurut mereka. Yang lebih sial lagi, ada beberapa temanmu yang menguping di jendela kantor.
Hari itu kita tak pulang sama-sama. Aku tau dirimu masih menunggu ku di gerbang sekolah. Sengaja aku tak keluar kelas. Untuk membiarkan dirimu pulang sendiri. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah. Tiba-tiba aku menyesal menyerahkan surat itu kepada guru. Tiba-tiba aku melihat dirimu pulang sendirian tanpa ditemani seorang pun. Jika pun ada teman yang melewati mulai, mereka mengejekmu sebagai anak yang ganjen. Dari kejauhan aku melihatmu hanya berjalan pelan. Tak banyak gaya seperti biasanya saat kita jalan berdua. Tak ada suara cempreng yang nyaring terdengar jika dirimu sambil tertawa bercerita.
Dan, sungguh mengejutkan, dirimu tidak jera dengan kejadian itu. Pada hari-hari berikutnya dirimu tetap menunggu di gerbang sekolah. Aku? Aku hanya berlalu dan bergabung bersama anak laki-laki lainnya. Meninggalkan dirimu yang masih berdiri di gerbang sekolah. Hari berikutnya pun sama.
Pada hari ke empat pada saat aku keluar dari perpustakaan, dirimu menghampiri ku. Seperti biasa dirimu tertawa dengan suara serak melengking, sambil bercerita kepadaku bahwa ada anak laki-laki di sekolah lain yang sedang mendekati mu. Dengan polosnya dirimu bertanya dan meminta ijin untuk jalan bersamanya. Sambil berkata “Apakah boleh aku. . . ” , ya tentu saja boleh. Jawabku waktu itu yang langsung memotong ucapanmu.
Setelah pertemuan itu, tak pernah lagi dirimu berdiri di gerbang sekolah. Dan aku pun seperti biasa, berlalu bersama teman laki-laki lainnya. Hanya ketika beberapa hari setelah itu, aku benar-benar melihatmu berjalan dengan anak laki-laki lainnya yang membuka baju seragam sekolahnya, dengan kalung rantai sebesar telunjuk, begitu juga lengannya. Asap rokok yang tebal sesekali dihembuskan ke mukamu. Tak ada ku dengar tawa cempreng mu. Dirimu seperti takut tapi tak pula ingin menjauh.
Belasan tahun kemudian, entah darimana dirimu dapatkan nomer ponselku. Tanpa basa basi, seperti biasa awalan percakapan adalah suara dan tawamu yang cempreng. Diujung percakapan dirimu meminta tolong untuk dibantu barang beberapa rupiah, karena kondisimu. Aku yang pada saat itu kerja serabutan dan pada saat yang sama tidak memiliki uang sama sekali, karena hari sebelumnya saja aku hanya makan nasi putih tanpa lauk. Aku pun tak bisa memenuhi harapanmu.
Meski berselang beberapa menit, sepupu mun yang dititipin surat waktu itu, menelpon ku dan menanyakan apakah dirimu ada menghubungi dan meminta tolong berupa beberapa rupiah. Dia meminta ku untuk tidak membantu mu meski merasa kasihan. Alasannya agar suamimu bersungguh-sungguh mencari nafkah untukmu dan mengurangi perilaku yang tidak bermanfaat.
Sedih juga membayangkan kondisi mu, terlebih pula aku lah orang pertama yang dirimu ingat yang mungkin bisa menolong.
Kini aku terbaring dirawat di rumah sakit di perantauan. Sangat jauh dari rumah di kampung halaman. Aku tak tahu berapa lagi waktu yang tersisa. Terasa semakin hari semakin panas dada ini jika menghirup udara. Namun lebih perih hati ini rasanya jika ku tutup lembaran perjalan di dunia ini tanpa mendapatkan maaf darimu. Mohon maafkan segala kesalahan dan kekuranganku mulai sejak kita bertemu hingga surat ini kutuliskan.
Dari seseorang yang selalu meledek mu jika mendengar tawa cempreng mu.
Aswin menghapus bulir dingin dari pipinya yang tanpa disadari bergerak sendiri. Dia menarik nafas yang dalam dalam keharuan.
Komentar