BAB 10. COKELAT PUTIH


Narina menyiapkan kopi sachet yang telah diseduh. Dia sudah mempersiapkan waktu. Agaknya malam minggu kali ini lebih panjang dari biasanya. Suara knalpot yang keras dan bising tak membuatnya terganggu. Niatnya telah menutup kedua telinga dari bebunyian lain dari luar. Indera rasa dalam hatinya diaktifkan.

Kepada Sahabatku,

Cokelat Putih,

Masita Ria.

Wajahmu yang putih bersih, mata yang bulat besar, alis tebal yang bukan dipoles oleh cellak. Hidung yang mancung dan gigi gingsul mu. Semua tersusun rapi dan indah pada muka yang oval. Rambut yang panjang hitam yang selalu memakai bando. Dan tawamu yang jarang sekali dilepas, selalu disekap dengan mulut rapat dan jemarimu. Aku masih ingat.

Kehadiranku sebagai anak yang kumal dan kurang rapi dibandingkan yang lainnya mungkin membuatmu risih. Namun aku tak dapat menahan mataku yang selalu ingin melihatmu meski dari jauh yang terlihat seperti bunga anggrek putih yang bersih dengan mahkota yang banyak dan bersusun. Indah bercahaya.

Disetiap kesempatan aku selalu menjaga posisi agar bisa tetap melihat angrek putih mekar bersih berseri. Dirimu pun menjadi salah satu alasan aku belajar giat dan rajin. Dirimu adalah anak yang cerdas. Selalu berada di lingkaran tiga besar prestasi. Aku harus bisa mengimbangimu. Setidaknya lima besar dalam prestasi.

Setiap kehadiranku, terlihat selalu membuatmu tak nyaman. Dirimu yang termasuk anak yang ceria tiba-tiba menjadi pendiam jika tau aku mendekat. Sungguh suatu hal yang dilematis. Aku dekat dirimu terganggu, aku jauh hatiku yang tertemanggu.

Hal yang luar biasa juga adalah selain aku, 6 orang sahabatku yang selalu kumpul bersama, ke kantin bersama, main bola bersama, atau bolos bersama juga menaruh hati padamu. Itu mereka katakan kepadaku saat sarapan pagi di kantin. Diantara mereka ada Budi yang juga sangat perhatian kepadamu. Setelah mengungkapkan kebenaran hati, dari enam orang ini mundur, dan menyokong Budi. Aku pun terpaksa ikut mendukungnya.

Hampir setiap momen berkumpul aku dan 5 orang lainnya selalu membuat Budi bisa dekat dengan dirimu. Walau itu pahit dan menyiksa, tetap ku jalani. Sebab, jika dia yang mendekatimu, dirimu terlihat tidak berubah. Tidak pendiam. Tidak menjaga jarak. Tidak canggung. Bahkan terlihat ceria. Sepertinya dirimu merasa lebih nyaman jika Budi ada. Itu juga yang membuatku kuat menahan pahit dan perih dalam dada. Tak mengapa. Asal selalu ada terbit senyum ceritamu, meski bukan untukku.

Seiring waktu, karena mengikuti mu yang rajin membaca, aku pun rajin membaca. Tak luput pula dunia sastra. Aku mulai tenggelam dilautannya yang dalam dan tak bertepi. Aku mulai suka menulis puisi. Banyak untukmu. Bahkan pernah suatu ketika saat berkunjung ke rumahmu, aku perlihatkan puisi yang ku tulis untukmu. Tak ada tanggapan apa-apa.

Aku tak lagi berharap banyak seperti dulu, karena sudah mulai terbiasa untuk menjadi orang yang mendorong Budi ke arahmu. Bahkan aku siap selalu menjadi fotografer, mengambilkan gambar kalian berdua di setiap momen indah. Atau sebagai kurir jika ada surat dan kado hadiah ulang tahun mu dari Budi. Atau sebagai pengusir nyamuk yang menemani Budi bertemu denganmu. Tak masalah.

Kini aku memilih jalan lain, lewat puisi. Hanya lewat deret kata itu, aku ingin melihatmu tertawa dan tersenyum. Meski itu jika mengejek puisi yang ku tulis. Tak mengapa. Karena tujuannya hanya membuatmu terlihat ceria. Karena tujuannya hanya agar dirimu tak merasa terganggu denganku. Itu saja. Dan aku sudah belajar merelakan. Yang penting dirimu bahagia.

Beberapa tahun berlalu. Jalan hidup memang tiada yang bisa mengira seperti apa. Kita kembali dipertemukan dalam sebuah kegiatan yang mengharuskan pergi ke luar kota bersama. Tinggal di satu gedung bersama selama tiga bulan, bersama 10 orang lainnya. Aku tak banyak bicara denganmu. Namun dirimu sudah lebih baik kelihatannya. Tak lagi pendiam jika aku ada dan sudah tidak terlihat risih jika diajak diskusi.

Puisi-puisi untukmu masih ada, meski sudah bertahun-tahun berlalu. Hanya tak lagi ingin ku perlihatkan. Apalagi pada kegiatan itu aku ditunjuk sebagai ketua tim, banyak yang harus dikerjakan. Dirimu sudah berubah menjadi gadis yang biasa seperti lainnya. Sudah tak sungkan tertawa terbahak-bahak di dekatku. Aku senang. Meski tak banyak lagi waktuku untuk kembali membacakan puisi yang pernah ku tulis. Karena pada saat yang bersamaan ada orang yang mengetuk pintu ruang kecil di sebuah kota.

Aku melihat dirimu sudah tak canggung bahkan mulai mengajakku berbincang, meski sebatas kegiatan yang sedang berjalan. Tapi puisi itu sudah terlalu lama tidak dibaca. Bahkan bukunya sudah tak tahu kemana rimbanya. Aku pun mendengar ada seseorang yang sedang mendekati mu. Bagiku itu tak lagi jadi masalah. Kesibukan ku telah mulai mengubur rangkaian kata yang pernah ku susun dulu untuk dirimu dengarkan. Mungkin pernah dirimu ingin membicarakan sesuatu dengan ku namun aku justru menghindar.

Kini aku terbaring dirawat di rumah sakit di perantauan. Sangat jauh dari rumah di kampung halaman. Aku tak tahu berapa lagi waktu yang tersisa. Terasa semakin hari semakin panas dada ini jika menghirup udara. Namun lebih perih hati ini rasanya jika ku tutup lembaran perjalan di dunia ini tanpa mendapatkan maaf darimu. Mohon maafkan segala kesalahan dan kekuranganku mulai sejak kita bertemu hingga surat ini kutuliskan.

Dari seseorang yang ikutan memanggilmu Cokelat Putih, yang membuat puisi tak bermakna.


Narina menghela nafas yang dalam. Surat Hamdi membuat kepalanya panas dingin saat membaca. Gelombang adrenalin terasa meningkat. Membuat nafas pun kurang teratur. Kasihan Guruku, Narina membatin. Tapi dia tak habis fikir, mengapa saat jalan sudah mulai terbuka, justru tak dicoba sekali lagi untuk dilalui. Mengapa pada saat telinga sudah dipasang, tak dicoba untuk membacakan puisi yang dulu telah dituliskan. Mengapa pada saat keadaan memberikan waktu selama tiga bulan selalu bertemu karena tinggal dalam satu gedung, tak digunakan untuk memperbaiki keadan yang lama rusak.

Narina tak habis fikir. Dia merasa gregetan juga sama gurunya, Hamdi. Sampai hampir terucap kata Bodoh karena membiarkan kesempatan berlalu dengan sia-sia. Tapi hal itu dia biarkan sebatas dalam hati saja. Dia bahkan tak tega mengucapkan dengan lidah mengingat kondisi gurunya yang terbaring sakit tanpa keluarga, tanpa sahabat-dekatnya di perantauan.

Segelas kopi yang telah dingin diteguknya hingga habis. Berusaha menyiram rasa gregetan yang masih berayun dalam fikirannya. Dipandangi kaca jendela kamarnya, sudah mulai berembun. Tumpukan lembaran surat yang belum dibaca masih banyak di atas meja belajar.

Dia mulai menerka-nerka petualang kisah seperti apalagi yang akan dia jumpai di lembaran selajutnya. Sedalam apalagi sedih dan kecewa yang dituang hingga tumpah ruah dalam tinta kata. Belum bisa dia menerka. Namun, hati sudah berjanji untuk dapat merasakan perjalan hidup gurunya dimasa lalu yang membuatnya bersedih. Dia ingin rasa itu juga dia rasakan, agar beban gurunya sedikit berkurang. Meski hanya beberapa gram dari sekian ton sedih, sepi, dan kecewa. Dia harus bersiap.

Waktu malam sudah mulai beranjak larut, aktifitas masyarakat di Bunguran Timu masih terdengar ramai pada malam hari akhir pekan. Nuansa kasih sayang sering pula terpajang di beberapa tempat. Kasih yang berserak sungguh disayangkan. Serupa kisah Guru Hamdi yang berserakan yang kini disusun ulang meski hanya diatas kertas. Apa kabar, Bapak, malam ini? Sekilas pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benak Narina.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

+62111, Ada apa ya?

Langko