BAB 19. HAMADA WAN
Narina berlari mencari Aswin di selasar sekolah. Dia sudah ke kantin namun tidak bertemu juga. Seisi sekolah memandanginya berlari sambil menenteng kedua sepatu dan kaos kaki. Ke ruang guru pun sudah di carinya. Matanya yang berair menyebarkan tetesan putih bening di sepanjang langkahnya. Setiap pintu kelas dia sibak, mencari Aswin Pak Ketua kelas. Tetap saja tidak ditemukan. Tinggal WC yang belum. Narina berlari masuk ke WC laki-laki. Diteriakkan nama Aswin sekuat urat leher hampir meledak. Tak juga ada batang hidung bangirnya yang muncul.
“Aswiiiin, dimana kau sembunyi. Bapakmu tersayang sekarat. . . ” teriak narina kembali di tengah lapangan sekolah. Letih dia berlari kesana kemari ingin mengabarkan kondisi Hamdi, gurunya.
Semua siswa di lantai satu dan dua menoleh ke arah lapangan. Narina terduduk di tengah lapangan sambil menangis. Hampir saja dia pingsan karena kelelahan sambil menahan sedih yang mendalam. Petugas UKS membawanya ke ruang perawatan.
Wazna tidak masuk sekolah. Dia ijin sakit. Maagh yang dia derita kambuh. Harus istirahat. Narina mendapatkan kabar dari perawat yang biasa tugas jaga di ruang Hamdi. Memang sengaja dia meminta dikabari jika kondisi Hamdi semakin memburuk. Waktu istirahat pertama ketika suapan pertama sudah siap disantap, waktu itu pula perawat rumah sakit mengirimkan pesan singkat. “Pak Hamdi kembali di bawa ke ICU, kondisinya memburuk”. Hilang rasa laparnya seketika. Tak dihiraukan lagi sepiring gado-gado yang baru sampai di mejanya.
Aswin menghilang dari sekolah bukan karena bolos. Dia dihubungi oleh pegawai pos yang minta bertemu di depan sekolah di seberang jalan besar. Ada tiga surat yang kembali. Orang yang dituju tidak tinggal lagi di alamat yang dituliskan.
* * *
“Tiga surat ini kami kembalikan” Ujar petugas pos yang membawa surat.
“Kenapa ya, Pak?” tanya Aswin.
Orang yang dituju sudah tidak tinggal di alamat itu“ ucap petugas pos sembari pamit.
Aswin sudah curiga pada awalnya bahwa pasti ada surat yang kembali karena orang yang dituju sudah berpindah alamat. Namun, hanya satu orang yang dia curigai. Namun, surat yang kembali tiga buah. Di mana dia harus mencari alamat dua orang yang tersisa?
Dalam kusutnya benang hitam yang saling bergelut dalam kepalanya, hape Aswin berdering.
”Saudara Aswin, kami telah membaca naskah novel yang saudara kirimkan beberapa hari yang lalu. Naskahnya cukup menarik karena sedikit berbeda daripada naskah pada umumnya. Ini bisa menjadi ciri dan daya tarik tersendiri yang akan jarang ada di pasaran. Jika pembaca sampai terbawa suasana ke dalam cerita, ini bisa menjadi pola pemasaran tambahan yang gratis namun sangat efektif“ ujar laki-laki yang berbicara dari telepon.
”Terimakasih atas penghargaan Bapak kepada Naskah yang kami kirim. Kami bertiga pun sepakat jika naskah ini diterbitkan“ Aswin menjawab
”Namun, ada satu hal yang kurang. Tidak disebutkan siapa nama pengarangnya, minimal nama pena“ Aswin baru teringat, karena terburu-buru dia hanya menyatukan surat-surat itu dan mengirimkannya, tanpa ada keterangan nama pena pengarang.
”Mohon maaf, Pak. Itu murni kelalaian kami. Nama pena untuk naskah tersebut adalah Hamada WAN “
”Nama lengkap pengarang?“
”Hamdi, Pak“
”Loh, bukan saudara pengarangnya? “
”Bukan, Pak. Pengarang aslinya benama Hamdi“
”Boleh kami berbicara secara langsung dengan Pak Hamdi? “
”Boleh, tentu saja boleh. Namun, sepertinya untuk saat ini belum bisa, karena Pak Hamdi sedang terbaring di rumah sakit“
”Baiklah. Mungkin nanti kami akan menghubungi kembali, jika Pak Hamdi sudah baikan“
”Terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami, Pak“ ucap Hamdi.
Dalam jam yang sama Aswin menerima dua kabar. Kabar gembira dari penerbit dan suatu yang menambah bingung karena ternyata tiga surat yang harus kembali.
Dia bergegas kembali ke Sekolah. Dia merasa heran karena semua siswa memandanginya tidak seperti biasanya. Lapangan bola basket dia lewati, semakin banyak bola mata yang memandangi. Seorang petugas UKS menarik lengannya ke ruang perawatan. ”Seseorang menunggumu di dalam“ ucapnya.
”Aswin, kemana saja dirimu. . . Aku berlari kesana kemari selama tiga puluh menit, ke semua tempat, sampai ke toilet juga“ Ucap Narina yang tiba-tiba berdiri menghampiri Aswin sembari menangis menundukkan kepala. Rambut panjangnya yang tidak terikat menjuntai ke lantai menutupi air mata yang masih deras tumpah.
”Ada apa, Rin? Sepanjang jalan dari gerbang hingga ruang UKS ini, semua sisa yang lain memandangi aku.“
”Aku berteriak kesana kemari sambil menyebut namamu. Mungkin mereka yang melihat sudah mengira aku setres atau kesurupan“ ucap Narina.
”Iya, tapi mengapa harus begitu? “
Suara sedu Sedan kembali terdengar. Kepalan kanan Narina mendarat di bahu Aswin.
”Bapak kembali di rawat di ICU, Win. . . Aku khawatir, kata-kata yang diucapkan beliau saat sebelum surat-surat diberikan benar-benar menjadi nyata. Nanti sepulang sekolah jangan langsung hilang. Dirimu harus menebus kesalahan“
Aswin terdiam mematung. Wajah bijaknya meredup. Terbayang wajah Hamdi yang penuh peralatan di ruang ICU yang tak sadarkan diri. Ruang UKS menjadi hening. Hanya bunyi kipas angin torpedo yang dipasang pada dinding berwarna toska yang masih tak diam, melontarkan deru angin yang dingin. Tapi, dinginnya belum mampu meredakan panas kepala Aswin. Tiga surat yang di pegangnya terlepas.Sebagian telah basah oleh tetesan air mata Narina.
”Kesalahanmu hari ini adalah membuat aku harus menahan malu berteriak di mana-mana, sambil manggilmu seperti orang gila. Hari ini pantangan jok motormu yang tak boleh membonceng cewek lain selain Mak Su harus dihapus. Hari ini dirimu harus membonceng ku. Mengantarkan aku ke rumah sakit. Menanti aku sampai pulang. Dan mengantarkan aku pulang ke rumah“ ucap Narina dengan nada lirih.
Tiga surat itu dipungut. Narina membaca nama-nama. Tiga nama. Sepertinya tak asing terdengar setelah acara makan malam bersama tempo hari.
Nuriyani, Nazra Diyah, dan nama yang sama dengan bibinya, Putri Komala Sari. Dalam sedu Sedan yang mulai surut, dia berbicara dengan Aswin melalui tatapan matamata sembari menggerak-gerakkan tiga buah surat. Aswin hanya mengangguk pelan.
”Aswin, mungkinkah. . . “
”mungkin saja“ Aswin menjawab pertanyaan yang belum selesai. Dia faham Narina juga sudah mulai curiga, siapa senarnya tiga orang di Surat itu. Narina kembali menatap nama orang yang sama dengan nama bibinya. Terlalu kebetulan atau memang orang yang sama?
Pada saat makan malam di rumah, Nuriyani mencoba menggali lebih banyak informasi dari Nazra Diyah dan Puput, tanpa mereka berdua sadari. Bagus juga. Mereka menjadi akrab dan saling bertukar nomor. Tapi bagi Nuriyani itu tak hanya sekedar itu saja. Bahkan dia punya keinginan untuk bertemu dengan semua orang yang di surati oleh Hamdi. Alasanya hanya dia yang tau saat ini. Apakah ingin mengajak mereka join usaha tanaman hias? Atau ingin mendengarkan cerita tentang Hamdi dari mereka tanpa ketahun bahwa dia pun ada dalam cerita Hamdi? Belum ada yang tau.
Setibanya di rumah, dia tak banyak bicara lagi seperti biasanya dengan Aswin. Dia menerawang ke atas jauhnya berujung. Memikirkan orang-orang yang ternyata bisa dengan sepenuh hati menerima Hamdi yang dulu selalu dia tolak. Bahkan mereka semua boleh dibilang gadis-gadis yang cantik, manis, dan menawan. ”Jangan-jangan Tuhan benar-benar mengirimkan bidadari untuknya karena aku telah menyia-nyiakan ketulusannya, untuk menyadarkan diriku yang angkuh” ucapnya dalam hati. Tanpa dia sadari bulir embun nan bening ternyata lebih dahulu jatuh di pipinya, sedangkan dedaunan di luar pekarangan masih menunggu segarnya embun yang tak kunjung menyapa.
Komentar