BAB 16. WAHAI BIDADARI BUMI, MAAFKAN AKU


“Rin, matamu kenapa?” Tanya Aswin yang sedang duduk di kantin sekolah bersama Narina, dan Wazna.

“Tidak faham aku, ini sudah hari ke tiga selepas membaca surat-surat Pak Hamdi. Setiap ingat potongan-potongan perjalanan hidupnya, mata ini berair” ucap Narina yang memakai kacamata hitam. Agar tidak ketahuan orang lain kalau matanya masih saja sembab. “Kalian berdua juga sama tuh, masih kelihatan habis nangis” sambungnya kembali.

Aswin dan Wazna tertawa sambil mengelap pipi yang kembali basah. Tentu saja Aswin yang ditertawakan lebih banyak karena dia laki-laki. Dia orang yang selama ini dipandang lelaki ideal di sekolah, kata-katanya sangat berpengaruh kepada siapa pun yang mendengarkan. Sebab membaca surat Hamdi dia yang pernah bilang laki-laki itu harus bisa dan tidak boleh mengeluarkan air mata, kini dia pun tak mampu menjalani tekadnya.

“Aku cukup geregetan dengan Pak Hamdi, saat awal dia berusaha mengambil hati perempuan yang bernama Masita Ria, eh pas takdir mempertemukan mereka dan seperti diberikan jalan, malah si Bapak yang acuh. Belum lagi perempuan yang bernama Nuriyani itu, emosi ku meledak-ledak karena dia. Sungguh tega dia menjadikan si Bapak seperti mainan layang layang, ditarik ulur tapi tak pula benar-benar dilepas.” Cerewetnya Narina muncul. Masih terbawa suasana.

“Kalau aku, aku ingin bertemu dengan yang namanya Putri. Anak SMK yang minta ijin pacaran sama guru nya sendiri, si Bapak kita tersayang” ucap Wazna sambil meneguk es teh manis. Suasana kantin tidak seramai biasanya, jadi mereka bertiga cukup bebas bercerita tanpa mengurangi suara. “Pak Ketua, apakah semua surat-surat itu sudah di-pos-kan?” Wazna menyambung ucapannya ke Aswin.

“Sudah aku kirimkan semua sesuai alamat yang telah disiapkan Pak Hamdi. Jika ada yang salah alamat atau orang yang dituju pindah, suratnya akan kembali dalam satu pekan” Aswin mengulang penjelasan yang dia terima dari pegawai Pos. “Jumlah suratnya 19 buah. Tebalnya seperti buku Biologi karya Neil A Campbell & Jane B. Reece. Sudah macam buku pula”

“Nana” Panggil Narina kepada Wazna. “Di salah satu surat ada nama yang sama dengan namamu disebut”

“Ah, masa iya?”

“Iya, Wazna yang dalam surat punya saudara perempuan yang dipanggil Diyah”

“Tak mungkin. Aku juga punya saudara yang dipanggil dengan nama itu. Ini pasti sangat kebetulan. Manusia di atas bumi sekarang lebih 7 milyar. Wajah aja ada yang mirip hingga 7 orang, apalagi hanya sebatas nama”

“Ya berarti tetap ada kemungkinan, Nana. Jika beneran iya, gimana ya nanti Saudaramu itu saat bertemu untuk pertama kalinya dengan Pak Hamdi setelah sekian lama tidak ada kabar. Setelah beberapa kali rencana ingin bertemu tapi selalu gagal. Apakah dia tetap manja seperti dahulu ya?” Narina menanggapi.

“Tak dapat dapat aku bayangkan. Aku pun pasti bingung ntah merasa malu atau justru merasa lucu melihatnya bersikap manja. Semoga saja itu orang lain yang hanya kebetulan sama namanya” Ujar Wazna sembari kembali meneguk es teh.

Aswin sedari tadi Hanya diam. Ada yang tiba-tiba muncul di dalam benaknya. Pertanyaan dengan awalan bagaimana jika beranak pinak dalam otaknya. Pertanyaan serupa kemudian melakukan proses mitosis dengan kecepatan yang luar biasa. Melebihi kecepatan suara. Membuat kepalanya serasa mengembang, semakin membesar, dan seperti bersiap-siap akan pecah.

Dia juga belum ingin menusukkan peniti pada balok yang berisi ribuan pertanyaan itu. Belum ingin sahabatnya tau. Namun, rona dan mimik wajah tentu saja tidak bisa di setting normal sepenuhnya. Ada mesin otomatis yang sudah terpasang pada semua manusia. Kranial, nama mesin otomatis yang menciptakan ekspresi pada wajah. Wajah Aswin yang cemberut bingung pun tergambar.

“Ada yang membuatmu khawatir, Pak Ketua? ” Narina menepuk bahu Aswin.

“Tidak ada” jawab Aswin sambil menoleh ke kiri, ke arah pintu keluar kantin sekolah.

“Aswin, jika dirimu tak pernah bohong, jangan dipaksa. Kursus dulu biar mahir berbohong. Orang sudah faham sekali Pak Ketua seperti apa. Jangan macam-macam dah” Wazna tak mau ketinggalan dengan Narina untuk menepuk bahu Aswin.

“kepala ku pusing oleh sesuatu. Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Bagaimana jika tak satupun surat itu diterima? Bagaimana jika orang-orang nya sudah pada tiada? Bagaimana jika Diyah di dalam surat benar-benar saudara kandung tertua Wazna? Bagaimana jika mereka semua ada di Kota Ranai? Bagaimana jika kemungkinan serupa dengan Wazna juga ada di keluarga ku dan Narina? Bagai. . . ”

“Stop. Otakmu sepertinya sudah overload, Pak Ketua. Nanti malah jadi film Get Out 2. Film yang penuh misteri. Kami yang tambah pusing” Wazna langsung menyela dan memotong ucapan Aswin.

“Kemungkinan orang-orang yang di surati ada di Kota Ranai ini bukanlah suatu hal yang mustahil. Meskipun mereka semuanya tinggal di alamat yang berbeda, bisa saja mereka memilih liburan ke Ranai” ucapnya sambil menahan karet pengikat rambut di mulut sedangkan kedua tangan merapikan rambut yang panjang untuk diikat.

“Kota Ranai ini cukup menggoda loh. Turis asing sudah banyak yang berdatangan. Ada Batu Sindu di Bunguran Timur dengan legendanya, pantai Batu Kasah yang sangat menggoda dengan batu granit yang usianya sangat tua, 65 juta tahun. Ada Alif Stone Park. Kalian ingat sore hari kita janjian di Kafe Omeno, banyak bule yang nongkrong di atas batuan besar menunggu matahari terbenam. Belum lagi Gunung Ranai. ”

Aswin masih diam, ucapan Narina hanya berkumpul di daun telinga bagian luar. Badai pertanyaan masih menyelimuti sebulatan kepalanya. Aswin berdiri mandangi pintu dan memandangi kedua sahabatnya.

“Aku ada usul. Tapi jika kalian tak sepakat, tak apa-apa. Bisa aku lakukan sendiri”

“Belum juga diutarakan idenya, sudah ngomong begitu. Sepertinya surat-surat itu membuat hormon serotonin mu berkurang banyak, membuat suasana hatimu cepat berubah” Ucap Wazna si kutu buku. Barisan gigi Aswin menyambut pidato biologi darinya.

“Begini. Kita sudah mengirim surat. Sampainya lumayan cepat tapi hasilnya belum menjamin. Ada satu lagi cara, tapi hasilnya bisa cepat bisa pula sangat lambat. Maksudku, bagaimana jika surat-surat itu kita satukan menjadi sebuah buku novel. Aku yakin pesan Pak Hamdi tetap akan sampai meski butuh waktu yang lama”

“Jujur, aku juga sudah pernah berfikir demikian sewaktu membaca surat-surat itu” Wazna menanggapi.

“Jika itu dibuat menjadi novel, apa yang cocok buat judulnya nanti?” ujar Narina yang sudah bersiap kembali ke dalam kelas.

“Karena inti dari semua surat itu sama, yaitu meminta maaf, bagaimana kalau kita kasih judul Wahai Bidadari Bumi, Maafkan Aku” ucap Aswin sambil memperagakan berlutut di depan Narina dan Wazna, kepala ditundukkan dengan sepuluh tangan merapat. Sontak kedua sahabatnya tak bisa menahan tawa melihat Aswin yang masih tak bergeming sambil mengulang-ulang kalimat itu.

“Kenapa pakai berlutut segala, Pak Ketua?” ucap Narina yang masih menutup mulutnya dengan telapak tangan.

“Supaya menjiwai, dong”

“Baca surat Pak Hamdi buat Mina Loka, kan?” tanya Wazna

“Iya. Emang kenapa?” Aswin balik bertanya.

“Di dalam surat ada percakapan tersirat begini, silahkan pilih, diantara kami berdua siapa yang dirimu pilih. Apa jawabanmu Pak Ketua? Wazna bertanya sambil memeluk Narina dari samping.

”Walah, berat amat pertanyaan kalian. Aku pilih kalian berdua saja“

”Mana bisa“ kompak mereka berdua menjawab sambil senyum. Bel masuk sudah berbunyi. Anak-anak yang lain sudah bergegas menuju kelas.

”Ah, rumit. Otakku gelap ditanya begitu“

”Pak Ketua, itu kekuranganmu sekarang. Tak punya gadis pujaan hati. Sering-seringlah jenguk Pak Hamdi. Jangan belajar bahasa Inggris saja sama Bapak, belajar juga mengambil hati wanita“ ucap Narina berlalu meninggalkan Aswin yang terdiam memajang gigi sampai kering.

Komentar