BAB 15. SATU DETIK SAJA


Surat ketiga Narina raih. Kini dia membaca sambil duduk di lantai kamar, sambil menyandarkan punggungnya di dinding kamar dan meluruskan kaki. 


Kepada

Gadis manis di tanah Melayu, 

Nazra Diyah. 


Berawal dari mengomentari sebuah foto dirimu di media sosial, aku akhirnya mengenalmu. Saat itu aku cukup frustasi karena kembali gagal dalam tes CPNS yang ketiga kalinya. Demi menghibur diri sendiri, hampir satu hari penuh yang ku lakukan hanyalah berselancar di dunia maya. Jalan takdir lewat di depan mata. Ada foto dirimu dengan fose berdiri menyamping, mengenakan jersey Real Madrid berwarna jingga muda. Dan fotomu yang sedang menyandarkan badan pada sebuah Bus yang sudah diistirahatkan. Sebagai orang yang tak di kenal, aku tulis beberapa kata penghargaan standar terhadap sebuah foto. 

Komentar di balas komentar. Dan kita larut. Larut dalam diskusi tentang berbagai hal ketika sudah bertukar nomer hape. Banyak dan beragam topik yang selalu bisa dibicarakan dengan gaya dan pembawaan yang menyenangkan. Sejak itu kita akrab menjadi sahabat, bahkan dirimu menganggap aku sebagai abang karena dirimu merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, yang sering cemburu melihat yang lainnya punya seorang saudara yang bisa menerima tingkah dan pola seorang adik yang random dan manja. 

Tak hanya sebatas itu, dirimu mengenalkan aku dengan Papamu, adikmu yang laki-laki dan yang bungsu yang masih kecil. Dan mereka mengenal ku sebagai abang angkat mu. Mendapat saudara meski tak sedarah itu memiliki kebahagiaan tersendiri. 

Dari dirimu juga aku mengenal lagu-lagu rock metal. Dirimu memintaku menghafalkan dua lagu dari Avenged Sevenfold, supaya bisa nyanyi sama-sama nantinya kalau ketemu, ujar dirimu. 

Dirimu bercerita ingin memperbaiki keturunan karena tinggi badanmu hanya 158 sentimeter. Makanya waktu itu pacarmu jauh lebih tinggi darimu. 

“Bang, bolehkan adek dekat dengan Ikbal? ”

“Tentu saja boleh, kenapa pula di larang-larang"

”Ya kan Abg sekarang sudah jadi Abangnya adek, dan Papa juga bilang begitu“ aku tersenyum mendengar dirimu mengatakan hal itu. 

”Ikbal itu tingginya 178 sentimeter, kalau adek berdiri disampingnya jadi kelihatan pendek sekali ya, hahahaha“ lanjut mu kembali. 

”yang penting harus bisa jaga diri“ pesanku padamu sok bijaksana. 

Dirimu juga senang melihat pemandangan alam yang luas. Suka travelling. Bahkan tertarik untuk naik gunung. Menjelajahi alam yang masih alami. Dirimu bahkan mengajakku yang tak pernah juga mengenal gunung untuk ikut serta. 

”Bang, liburan nanti ikut sama adek, ya!? “

”loh, kita aja belum pernah bertemu, gimana tiba-tiba harus ikut? “

”Makanya ikut saja, ayo dong mau ya. . . “ dirimu merengek manja kepadaku

”Biar sekalian bisa bertemu. Adek diledekin papa loh, punya abang tapi tak pernah berjumpa“

Aku mau saja ikut namun pasti mengorbankan 2 hari tidak masuk mengajar di kelas.

”emmm. . . Gimana ya dek. Abangmu ini punya kewajiban mengajar. Apalagi hanya guru honorer. Gaji sangat dipengaruhi jumlah jam masuk kelas“

”aihh, Si abang mah begitu. Cuti aja Bang 2 hari cukup, ditambah akhir pekan bisa ada 4 hari ketemu adek“

”Maaf ya dek. Kita atur waktu lain kali saja“

”ih abang tak sayang sama adeknya sendiri. Ya udah, adek pergi sama rombongan pendaki lainnya sajalah“

Pada libur panjang sekolah tempatku mengajar. Demi menambah tabungan, libur sekolah selama satu bulan ku gunakan menjadi freelancer menjual jasa asuransi. Aku diikutsertakan mengikuti training selama delapan hari, yang sebenarnya hanya 6 hari. Sisanya 2 hari diberikan kebebasan peserta untuk berdarmawisata. Kebetulan sekali trainingnya di ibu kota provinsi mu. Melihat aku posting foto dengan background landmark daerahmu, sontak saja dirimu menghubungi. 

”Abang, kok bisa di sini? Sejak kapan?“

”sudah sepekan. Abang cari seseran. Kan sekarang juga tidak mengajar selama satu bulan“

” iiihhh, kok abang tidak ada kasih kabar? Kan bisa adek jemput ke rumah“

”Abang ga mau merepotin adek. Lagian trainingnya mulai dari jam 7 pagi, selesai jam 6 sore. Itu harus 2 jam pergi 2 jam pulang. Berangkat subuh, sampai disana jam sembilan“

”Ya tidak mengapa. Selagi abang ada disini. Kan bisa jalan bareng abang yang super susah ketemunya. Adek sampaikan ke Papa loh“

”Jangan bilang-bilang Papamu. Abang tak enak hati nanti“

”Ya sudah adek ke hotel tempat abang menginap saja. Abang nginap di hotel mana? “

”Grand Yatera“

”Wiih, bisa nginap sepekan di hotel mewah. Enak banget abang difasilitasi di hotel mewah“

”Iya, 1 malam disini sama dengan abang ngajar setengah bulan“

”Fix kalau begitu“ 

”Apa yang fix, Diyah? “

”Fix adek nyusul abang ke sana. Soalnya Abang curang sekali, tak kasih kabar dari awal. Ini aja karena foto abang yang di Tugu terlihat. Jika tidak manalah abang kasih kabar. Sesekali menikmati fasilitas hotel mewah gitu“

Aku kembali pusing. Dirimu mau ke hotel itu membuat pusing kepala. 

No, Please. Adek jangan nekat kesini sendirian. Bahaya. Jauh loh itu jaraknya“

”Demi ketemu Abang, tak mengapa“

”Beneran deh, Adek jangan ke sini. Di kamar hanya Abang seorang. Abang takut“

”Bagus dong, Abang sendiri“

”Takutlah, nanti ada hantunya“ ucapku merasa cemas. 

”hihihi. . . Biarin. Ajak mainlah“

”Sableng“

”hahaha, biarin. Biar abang ikut sableng juga. Serius loh ini, adek ke sana. Sebentar juga jadilah. Kalo perlu satu detik aja, please. . . Mau foto hidung yang pesek“

”kalau mau kesini syaratnya ajak kedua adikmu. Soal foto kan bisa tinggal kirim“

”Ah, malas. Mana bisa diam mereka. Ada juga abang ngobrol sama mereka nantinya. Adek benerannya didiamin, hmmmm. Lagian kalau adek kesana kan bisa main gitar, abang nyayi dua lagu yang adek kasih dulu“

”Mohon maaf nian adek abang yang manis. Jangan ke sini ya. Bukan apa-apa. Bahaya sekali laki-laki dan perempuan bertemu di dalam kamar. Di hotel pula. Nanti malah melewati batasan“

”jika adek kesana memang perbatasan dilewatin pasti Abaaangg“

”Itu perbatasan daerah, o oon“

”Hahahaha, iiihh, abang ga asik. Gitu aja ga boleh. Ya sudah, kirim semua foto abang selama disini ya“

”Siap laksanakeun, tuan putri. Foto adek juga kirim ya. Yang hari ini“

”Sama foto adekmu yang paling kecil, Wazna ya namanya? Jangan lupa foto papa dan mama. Siapa yang tahu malah ketemu di jalan“ aku melanjutkan.

”Oke boss yang tidak asik. Hmmm, ya sudahlah“

Seperti itulah dirimu jika bertutur manja. Entah mengapa, kepadaku yang orang asing, justru seperti pernah tinggal lama di dalam keluargamu, yang kini merantau ditunggu untuk kembali. 

Kini aku cukup jauh. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, juga jauh dari dirimu dan keluarga mu. Terbaring sakit disini dengan waktu yang sepertinya tidak banyak lagi. Sebelum aku benar-benar dijemput, aku mohon maaf sebanyak-banyaknya atas semua salahku, kekonyolanku, dan kata-kata yang melukai hatimu. Mohon maaf nian tidak bisa mengabulkan permintaan mu berkali-kali. Semoga nanti, jika usia masih panjang, bisa kiranya aku meminta maaf secara langsung, bertemu denganmu. 

Dari Abangmu, Guru honorer, yang belum pernah berjumpa dengan mu hingga saat ini. 

Narina terdiam sejenak berfikir. "Diyah dalam surat kok manja sekali sama gurunya, padahal hanya abang. Bukan saudara kandung. Apa karena dia anak pertama yang sangat ingin punya seorang abang? Siapa yang dipanggil dengan nama Wazna di dalam surat Hamdi. Nama yang sama dengan sahabatnya di sekolah, Wazna. "pakah orang yang sama? Ah, tidak mungkin. Nama bisa saja sama. Wazna sahabatku tinggal di Ranai. Wazna yang disebut dalam surat entah tinggal di mana. Apalagi Pak Hamdi kan merantau, baru kali ini ke Ranai. Jadi ini pasti hanya namanya yang sama” Narina berbicara dengan diri sendiri.

Komentar