BAB 18. MAKAN MALAM BERSAMA


“Pak ketua, jangan lupa, nanti malam. Ayuk, Diyah pasti kecewa jika dirimu tak datang”

“Boleh mengajak seseorang?”

“Siapa? Pacarmu? Kalau begitu tidak usah datang Pak Ketua. . . ” Suara Wazna sedikit menunggu terdengar dari hape.

“Pacar? . . . Hahaha, sejak kapan aku punya? Kan kalian berdua selalu jadi pagar. Tak ada yang berani mendekat”

“Lantas dengan siapa?”

“Mak Su. Sama Bibi aku. Narina bagaimana?”

“Dia jua mau datang dengan Bibinya. Sampai jumpa nanti malam, Pak Ketua” Wazna menutup telpon.

Aswin merebahkan badan di atas sofa panjang di ruang tamu. Banyak hal yang melintas di benaknya. Tak sabar dia menunggu kabar dari Editor. Dia juga kepikiran Hamdi, gurunya, yang juga tak kunjung membaik. Tentang memakai baju batik ke rumah Wazna pun terlintas di benaknya. Sungguh rumit memang semua jika hanya disimpan di dalam hati dan fikiran. Lebih baik dijalani satu per satu, mulai yang paling sederhana.

“Pusing nian kelihatannya, Win, sudah rebah badan begitu tapi pandangan masih keliaran jauh entah sampai kemana” Nuriyani duduk di sofa yang kecil sembari menaikkan kedua kakinya di sofa. Tangan kiri memeluk lutut dan kanannya memegang segelas coklat hangat.

“Aku diundang makan nanti malam di rumah kawan” ujar Aswin masih memandangi langit-langit.

“Bagus, dong”

“Tapi aku minta Mak Su menemaniku. Boleh ya?” ucap Aswin yang kini memutar wajah ke arah Nuriyani.

“Harus begitu? ”

“Aswin diminta datang dengan pasangan. Pasangannya Aswin tak punya” Aswin kini duduk bersila di atas sofa.

“Demi apa, Win Mak Su ngawanin dirimu? Makanya jadi laki-laki itu jangan super pilih-pilih. Jadinya sampai sekarang sudah kelas 3 SMK masih Jomblo. Kenapa dirimu tidak memilih dari dua orang gadis yang selalu mengapitmu kemana-mana?”

“Narina dan Wazna? Haduh, mereka justru seperti saudara sekarang. Mereka berdua bersikap kepada ku juga sama, seperti saudara. Dan bukan tidak mencari, Mak Su, tapi tidak ada yang mau. Heran juga. Apa sih yang dicari wanita sama laki-laki?”

“Mau tau? Yang diinginkan wanita kepada seorang laki-laki itu banyak sekali. Orangnya baik. Bisa jadi badut. Bisa jadi seperti pendekar. Bisa tiba-tiba jadi pengusaha. Harus bisa seperti atlit olahraga. Namun tak sedikit juga menambahkan bahwa laki-laki itu harus bisa juga menjadi Bad Boys ketika dibutuhkankan. Dan itu semua harus terhimpun dalam satu orang, Win” celoteh Nuriyani. Gelas yang berisi coklat panas telah kosong diletakkan di Meja. Di hadapan Aswin.

“Astaga, Mak Su, sebegitu rumitnya kriteria wanita kepada laki-laki? Wajar saja jika Aswin tak punya. Jadi faham sekarang apa yang dialami oleh Pak Guru”

Nuriyani yang tadinya santai tiba-tiba terlihat membeku mendengar Aswin menanggapi. Kini Nuriyani yang terlihat menerawang jauh. Seperti ingin menjumpai seseorang.

“Jadi Mak Su, bisa ya? ”

“Demi keponakanku yang ganteng dan karena dirimu tak punya pasangan”

“nah, gitu dong” ujar Aswin ceria. Dia pun bangkit dari sofa menuju kamarnya.


                                                                             * * *


Rumah Wazna di kota Ramai terbilang cukup besar. Kamar tidur empat dilengkapi ruang tamu, ruang keluarga yang luasnya muat dua meja pingpong digelar bersama, dan garasi yang bisa menampung tiga buah mobil. Halaman rumah cukup asri dengan taman kecil yang menghijau pada siang hari, memanjang dari teras rumah hingga pagar. Keluarga yang serba cukup sebenarnya. Ayahnya seorang petani yang sukses. Namun harus sering ke Pangkalan Kuras jika waktu panen tiba.

Ibu Wazna sehari-hari di Butiq, khusus pakaian Wanita. Dia lebih sering di rumah hanya bertiga. Dia, Saudar laki-laki yang sedang kuliah, dan Ayuknya yang masih mondar-mandir mandir sebagai EO. Masih bebas. Tunangannya tak kunjung datang melamar.

“Mana senyummu, Pak Ketua?” Wazna membukakan pintu. Nuriyani tersenyum melihat Aswin yang salah tingkah mendengar Wazna menyambut.

“Adalah masih. Kenapa nanya itu pulak, 6 hari dalam sepekan kita selalu bertemu”

“Malam ini tentu khususon, berbeda” Nuriyani menimpali ucapan Aswin.

“Oh iya, Nana, ini Mak Su aku, Bibi aku, Nuriyani”

“Salam kenal, Mak Su, saya Wazna, biasa dipanggil Nana. Beginilah rumah kami. Tak ada Apa-apanya” ucap Wazna.

“Rumahmu besar sekali, Nana”

“Mak Su, ternyata sangat cantik ya. Sekilas mirip seorang artis, tapi aku tak tau namanya”

“Nana, kamu bukan orang pertama yang berkata seperti itu, dulu ada yang hampir setiap waktu berkata seperti itu” ucap Nuriyani sambil menutup mulut yang tersipu malu.

Wazna menatap tajam ke Aswin sambil menggerakkan alis dua kali. Aswin diam. Wazna tiba-tiba menarik tangan Aswin, mengajaknya sedikit menjauh dari Nuriyani. Secukup obrolan mereka tak terdengar jelas. Di samping TV yang menyala.

“Pak Ketua, apakah dirimu tak menyadari sesuatu? ” Ucap Wazna yang masih memegang lengan Aswin.

“Iya. Sebenarnya dari kemarin aku juga kepikiran sesuatu. Tapi lepasin dulu lengangku, Nana. Aku malu dengan Mak Su” Wazna lagi-lagi tersenyum malu.

“Apakah ada kemungkinan. . . ”

“Ada, Nana” ucap Aswin langsung memotong pembicaraan.

“Kini aku faham, mengapa tempo hari Pak Ketua seperti banyak fikiran”

Absolutely right” ujar Aswin sambil melambai kepada Nuriyani yang gembira melihat keponakannya diperlakukan sangat akrab oleh sahabatnya.


                                                                               * * *


Sepuluh menit sebelum Aswin berangkat mengantarkan surat Hamdi ke kantor pos. Dilihatnya Aswin belum juga keluar dari kamar kecil. Nuriyani memotret semua nama dan alamat tujuan surat. Entah apa yang dia rencanakan. Matanya yang sembab tidak menghalangi nya. Dia sudah tahu salah satu surat itu untuknya. Namun, 18 belas yang lainnya dia tidak kenal.


                                                                               * * *


“Wah, Aswin sudah datang ya” Diyah menghampiri Aswin dan Nuriyani yang menunggu di ruang tamu.

“Iya. Baru saja. Ini Bibi saya, Nuriyani” Aswin memperkenalkannya kepada Diyah.

“Nuriyani” ucapnya dengan ramah.

“Nazra Diyah” ujar Diyah.

“Nazra. . . Diyah?”

“Iya Mba, ada sesuatu? ”

“Emm, tidak ada apa-apa” ucap Nuriyani yang baru saja memastikan nama dan alamat salah satu surat Hamdi yang pernah dia foto sebelumnya.

“Aku tau seseorang dulu, dengan nama yang sama”

“Kebetulan sekali ya, Mba, bisa sama”

“Iya. Nazra Diyah, apakah lahir dan besar di Kota Ranai?”

“Tidak. Ayah membeli rumah di kota ini, dan kedua adikku melanjutkan pendidikan di Ranai. Aslinya kami dari Pangkalan Kuras. Ayah kami sedang kembali ke sana karena harus mendampingi para pekerja di kebun sawit”

Nuriyani menunduk. Telapak kirinya menepuk-nepuk lutut kiri. “Aku yakin salah satu surat Hamdi untuk Nazra Diyah yang ada di hadapanku” ucapnya dalam hati. Dari 19 orang yang dikirimkan surat, secara usia Nuriyani adalah yang paling tua. Sedangkan yang lainnya cukup jauh dibawahnya, lima hingga delapan tahun dibawahnya.

Terdengar bel pintu berbunyi. Terlihat Narina dan Putri Komala Sari menuju sofa.

“Tiga tahun kita sama-sama, Nana. Baru kali ini aku masuk rumahmu. Biasanya hanya di dekat pagar” Ujar Narina yang merasa wah dengan rumah Wazna. “Ini Bibi ku, Puput” sambung Narina kembali.

“Puput Komala Sari” ujar puput merasa senang bertemu yang lainnya

“Aku Nuriyani”

“Aku Ayuknya Wazna, Nazra Diyah”

Kembali Nuriyani tersentak. Salah satu nama tujuan surat kembali dia dengar. Dibuka kembali nama-nama tujuan surat. Sama persis. Dia pun merinding sebentar. “Jangan-jangan dia juga” ucapnya dalam hati. Bulu kuduknya seketika terasa berdiri tegak. Namun, dia masih butuh pembuktian untuk meyakinkan dirinya bahwa Puput yang di hadapannya juga merupakan orang yang dimaksud dalam suratnya Hamdi.

“Puput asli orang Ranai?” tanya Nuriyani secara langsung karena dia ingin memastikan suatu hal.

“Tidak, Mba. Aku dari Talang Kemuning, Bukit Kerman. Baru pindah ke sini tiga tahun yang lalu, setelah papa tidak ada lagi” Pupu menjelaskan.

Kini Nuriyani sangat yakin. Orang yang dituju surat Hamdi tiga orang berada di kota Ranai. Dirinya sendiri, Nazra Diyah dan Puput Komala Sari. Entah mengapa hatinya senang tapi bercampur sedih. Dia mencoba menyembunyikan warna mukanya yang berubah. Berubah karena saat ini dia satu meja makan dengan orang-orang yang pernah disayangi oleh Hamdi. Sedangkan hanya dia yang menolaknya berkali-kali. Hal itu dia sembunyikan seolah-olah tidak mengetahui. Tak ingin Aswin terkejut.

“Mari, silahkan kita makan malam bersama” Diyah mempersilahkan semuanya menikmati makan. Wazna, Aswin dan Narina duduk bersebelahan. Sama dengan Nuriyani,Puput dan Diyah yang juga bersebelahan.

Malam ini mereka bertiga bertemu untuk pertama kalinya. Nuriyani menatap lekat-lekat muka Puput yang makan sambil bercerita dengan Diyah sambil berucap salah hati “Hamdi, dua orang yang dirimu sayangi ada di sampingku. Orang-orang yang menerima mu dengan baik. Sedangkan aku? Aku tak tahu. Bahkan aku tak yakin masih memiliki hati”.

Tiga orang sejoli di seberang meja pun makan sambil bergurau. Terlihat Wazna berusaha menyuapi Aswin. Narina pun juga tak mau kalah. Karena merasa grogi justru hidung dan pipi Aswinlah yang disuapin. Mereka lucu. Tertawa, sadar karena berbuat konyol. Persahabatan yang indah.

Komentar