BAB 17. TIGA SEJOLI


Rembulan malam telah sempurna menyapa bumi Ranai dengan cahaya lembut dan dingin. Meski sebenarnya cahaya itu berasal dari sinar matahari yang panas dan dipantulkan dengan tubuhnya. Rembulan bisa menahan panas dari pancaran langsung sinar matahari demi memberikan cahaya yang lembut dan dingin untuk semuanya yang di bumi. 

Namun, sayang sekali, Hamdi harus berlapang dada karena tak dapat merasakan sejuk cahaya rembulan. Dia mulai di rawat ketika bulan ketika usia rembulan tidak sampai 1 jam. Hari ke-lima belas, begitu menawan. Bulat sempurna. Siluet pria sedang bekerja pun terlihat jelas pada permukaannya. 

Hamdi telah menerima penjelasan lengkap tentang penyakitnya. Gagal nafas hipoksia akut. Jika beruntung bisa sembuh namun peluangnya sangat kecil. Peluang bertahan mungkin paling lama dua tahun, atau bahkan hanya tinggal 30 hari. Begitulah penjelasan dari dokter yang menanganinya. Inilah alasan besar Hamdi menulis 19 surat. Agar bisa meminta maaf sebelumnya gilirannya tiba. Entah yang 30 hari, 90 hari, 12 bulan atau yang 2 tahun. Baginya ajal memang rahasia Tuhan. Dia hanya perlu untuk mempersiapkan diri. 

Kadang dia berfikir pada saat bangun pagi hari sepertinya hari itu terakhir baginya. Dia merasa banyak tanda-tanda namun dia pun tak faham. Hanya ketika dia ingat larangan berputus asa oleh Tuhannya, dia kembali bisa menepis rasa was-was. Apalagi jika dia mengingat muka imut anak semata wayangnya, Noura. Rasa hawatir pun berganti rindu. Juga kepada semua keluarga dan semua sahabat baiknya. Mereka semua menjadi penyemangat yang ampuh. 

Tapi kematian memang tak bisa tolak datangnya. Suka tidak suka. Siap tidak siap. Semua musti melewatinya. Ada yang melewati dengan berjuta kesakitan ada pula yang berlalu hanya seperti terlelap dalam tidurnya. Hamdi sangat tidak menginginkan dia melangkah melewati gerbang dunia dengan keadaan yang tidak baik. Semua dosa-dosa masa lalu silih berganti terputar dalam ingatan bak film layar lebar. Tak terhitung jumlahnya. Dia kembali tenang setiap kali bisikan dari dalam hatinya kembali terdengar, jangan khawatir, Tuhanmu Maha Pemberi ampunan lagi Maha Penyayang. Dia pun kembali tenang. Terhindar dari Death Anxiety, kecemasan berlebihan yang menyusahkan. 


                                                                           * * *


Dua jam sebelum Aswin membawa surat-surat Hamdi untuk di-pos-kan. 

“Rapi nian, Win. nak kemano?”

“Nak pergi ke kantor POS, Mak Su” ucap Hamdi sambil mengenakan jaket bomber berwarna hijau Navy. 

“Cuma nak kirim surat harus bawa ransel? ”

“Suratnya banyak, Mak Su. Belasan”

“Banyaknya pulo, itu surat lamaran kerja? Sampai segitu banyaknya”

“Bukan, Mak Su. Ini surat-surat guru Aswin yang sedang terbaring di rumah sakit, Pak Hamdi” Aswin kembali membuka jaketnya, meletakkan tas berisi surat-surat di atas meja tamu. Dia buru-buru ke kamar kecil. Sepertinya jengkol yang dia makan enam jam yang lalu sudah berdemo, saling dorong minta jalan untuk keluar. 

Tas Aswin tidak tertutup rapi. Nuriyani yang duduk di sofa ruang tamu melihat tumpukan surat di dalam tas. Iseng dia membuka tas Aswin. Dia perhatikan satu persatu tujuan suratnya. Semua tertuju kepada perempuan. “Playboy juga gurumu, Win. Sempat-sempatnya dia menulis surat sebanyak ini di rumah sakit” ujar Nuriyani dalam hati. 

Nuriyani berhenti meledek dalam hati ketika surat terakhir sampulnya terbaca. “dari Hamdi kepada Nuriyani” suatu kebetulan kah? Tanya dia kepada diri sendiri. Dia sungguh penasaran. Siapa sebenarnya Hamdi dan siapa pula Nuriyani yang dituju. Nama pengirim sama dengan seseorang yang dia kenal dan nama tujuan sama dengan namanya. Jantungnya mulai berdebar seperti menunggu pengumuman kelulusan sekolah. 

Dia bertambah penasaran. Hamdi tidak kunjung keluar dari kamar kecil. Perekat amplop ternyata belum sepenuhnya dipasang. “Ini salah, tapi rasa penasaran membuat ku tak tenang” ucapnya kembali kepada dirinya. Perlahan lembaran HVS yang terlipat dia buka. Baris demi baris kalimat dia baca. Tanpa dia sadari kedua bola matanya terasa hangat, seperti hangatnya siang hari dengan mendung menggumpal tebal di atas kepala, yang kemudian menumpahkan deras hujan. Tanpa terasa bulir air mata deras mengalir. Tangan kanan memegang surat. Sedang yang kiri meremas ujung baju berkali. Tubuhnya bergetar. Nuriyani tak dapat menahan sedu-sedannya. Apalagi kalimat terakhir: Dari seseorang yang tak pernah berhasil masuk di hatimu, Hamdi. Bertambah deras tangisnya menjadi-jadi. 

Dia menanyai dirinya mengapa hal seperti ini harus terjadi. Mengapa dahulu dia tidak tegas pada diri sendiri. Mengapa dulu dia dia membuka jendela hati tapi menutup rapat pintu hati. Sehingga membuat seseorang menderita begitu lama. Dengan apa dia harus menebus kesalahannya. Tapi lebih sedih lagi karena yang merasa bersalah adalah Hamdi sendiri, mengapa bukan dirinya yang disalahkan. Ah, dunia, engkau memang tempat penuh cobaan. 

Cepat-cepat dia merapikan muka yang berserakan oleh banjir air mata yang datang secara tiba-tiba. Sebantar lagi Aswin muncul. 

“Kenapa Mak Su? ”

“Sepertinya kelilipan. Ada yang masuk ke mata”

“Mau Aswin bantu tiup kan matanya, Mak Su? ”

“Tidak usah. Makasih, Win”

“Bener nih? ”

“Iya. Buruan ke kantor pos. Nanti bisa tutup jika lambat ke sana” ucap Nuriyani yang masih membersihkan kedua matanya.

Aswin berlalu dengan motor RX king miliknya menuju kantor pos yang terletak di jalan Datuk Kaya Wan Mohd. Benteng, yang bersebelahan dengan gedung Bank Riau Kepri. 


                                                                           * * *


“Penerbit mana yang bersedia menerbitkan Novel itu nantinya, Pak Ketua? ” Tanya Wazna yang sedang menunggu Nazra Diyah datang menjemputnya. 

“dari 7 penerbit yang aku tanya hanya Benteng Karya Tak Layu yang menanggapi dan meminta agar naskahnya segera dikirimkan”

“Jadi belum dikirim?”

“Sudah. Katanya mereka akan menghubungi dalam 2 hari jika telah selesai dibaca oleh tim editor”

“Yes. Berarti tinggal menunggu kabar. Tak sabar rasanya” ucap Wazna. 

Mobil warna silver Toyota Yaris memarkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Terlihat Nazra Diyah keluar dari mobil. Dengan stelan panjang berlatar biru dengan motif bunga-bunga kecil dan jilbab merah muda, tak lupa kacamata dengan frame berwarna cream terpasang. Dia kemudian menghampiri mereka. 

“Nana, ayo pulang” ucapnya kepada Wazna. 

“Baik. Kenalin, Yuk, ini Aswin, ketua kelas Wazna. 

”O jadi ini toh yang sering dipanggil Pak Ketua kalau telpon. Gagah ya“ ucap Diyah memuji Aswin. 

”Biasa saja kok“ Aswin menimpali. 

”Sekali-kali ajaklah Aswin ke rumah, Nana. Makan malam. Jika perlu langsung pakai baju batik“ ucap Nazra Diyah sambil masuk ke dalam mobil. Tak berselang berapa lama mereka telah menghilang diantara kerumunan kendaraan lainnya di jalanan. Aswin mengetik pesan. 

”Eh, Nana, ucapkan terimakasih kepada saudariku dari ku ya. Tapi, aku tak mengerti mengapa ada opsi harus memakai baju batik? Maksudnya bagaimana? “ ujar Hamdi melalui pesan teks. 

”Pak ketua mau tahu atau mau tempe?“

”Seriuslah, Nana“

”Jangan ketawa ya. . . “

”Aman“

”Maksud dari datang ke rumah dengan memakai baju batik adalah datang meminang“

”What!? Memangnya Nana mau dilamar sekarang? “

”Sama Pak Ketua? “

”Ya ini kan cuma diskusi ya, berarti bebas siapa saja. Pertanyaannya kan, memangnya sudah siap dilamar?“

”dirimu sudah tak waras, Pak Ketua. Kita masih sekolah“

”Ya siapa yang tau mau dipinang dan tunangan dulu, kan“

”hmmm. . . Aku tak mau berfikir kesana. Tapi jika diundang makan malam, mau datang apa tidak, Pak Ketua?“

”Aku sendiri saja? Narina tidak diajak? Kita kan tiga sejoli kemanapun“ Aswin menambahkan 10 emoticon tertawa

”Tapi. . . yaaa. . . Ya sudah bolehlah sama Narina juga“

”Nah begitu dong. Tiga sejoli tetap harus bersama apa pun dimana pun“ Wazna tak lagi membalas pesan Aswin.

Komentar