Selasa, 11 September 2012

Matalah Yang Mendung

Kami dipaksa menggosok bumi sampai putih.
Tak tahu tangan sudah mulai hilang kulit,
Tak tahu keringat sudah menganak parit,
Pun, tak tembus pandang jejak yang mulai bersih.

Kami dipaksa tertawa sengit,
Tak tahu darah darah menetes perlahan,
Tak tahu nafas mulai tertahan,
Pun, tak bergeming berpumpuk jarak yang semakin pelit.

Ladang-ladang kami buka sebisa tenaga,
Kami cangkul kami gemburkan tanah dengan doa,
Jika musim sedang kemarau, matalah yang mendung agar segera hujan.
Meski tahu mulai mengering, tetap saja kami peras cawan perlahan.



Jaluko, 14 April 2012
Habibi Daeng

6 comments:

Irma Devi Santika at: 11 September 2012 pukul 22.02 mengatakan...

Kata-kata penuh makna. Keren.
Kemarau telah mengeringkan lahan para petani dan peladang, tapi semoga tidak mengeringkan asa mereka untuk terus berharap dan bekerja :)

Kang Harjho 35 at: 12 September 2012 pukul 10.48 mengatakan...

Semangat terus bro... jangan menyerah... :)

Asriani Amir at: 18 September 2012 pukul 20.32 mengatakan...

paragraf pertama, nyawa chairil anwarnya terasa sekali.
ngefans sma chairil anwar kah, by?

habibi daeng at: 25 September 2012 pukul 19.58 mengatakan...

Irma,, Makasih banyak hehe, baru belajar kok ini mah.

Mas Jhoe,,wokehh, lagi ngumpulin semangat sebanyak-banyaknya ini mas hehe.

Mba Achi,,puisi dan antologi puisi yang pertama kali saya baca sewaktu masih Madrasah adalah punya dia emang kok mba ee :)

dhilooo at: 19 Oktober 2012 pukul 21.41 mengatakan...

huwaaa samaan yah kya teh bonit, pinter berpuisi :3
bagus qaqaaaa,, :D

habibi daeng at: 20 Oktober 2012 pukul 16.32 mengatakan...

,, hehe makasih ya udah mau mampir di rumahku yang sangat sederhana ini yak.... :D. hehehe