Sabtu, 06 Agustus 2011

Jejak-Jejak Dalam Rumah Biru



Added from rezqlovely[dot]blogspot[dot]com
Warna biru langit yang menempel di setiap papan dinding bagian luar tidak semua bisa terlihat pada malam hari. Cahaya dari lampu pijar yang tergantung di sudut kanan teras rumah tidak dapat menerangi sisi dinding rumah yang mungil itu. Hanya bagian teras yang tersiram cahaya kuning seadanya, bangku panjang yang ada di sana pun hanya terlihat remang, mematung sepanjang perjalanan waktu. Sudah ramai orang yang mendudukinya, dia hanya diam saja, hingga pada saat giliranku yang menyentuhnya, dia masih diam dalam keluguannya. Akhirnya aku berjanji tidak akan sesering mereka duduk di sana.

Lapangan bola yang ada di depan rumah, di seberang jalan, samar terlihat hampir tertutup oleh luapan air dari sungai kecil yang bermuara di Batanghari. Aku hanya sekali berlari mengejar bola di sana, seingatku. Aku takut terjatuh dan penyakitku kambuh. Dalam keadaan terlalu capek aku seringkali terjatuh pingsan. Dan belum sepuluh menit berlalu, gemintang yang harusnya hadir pada malam hari, sudah mulai berdatangan di hadapanku, di depan mataku, sebelum senja pergi bersama mega merah. Aku hanya ingin meninggalkan bekas di lapangan itu. Dan kini hampir hilang tertutup luapan air. Aku hanya duduk diam di dekat pintu. Aku menikmati duduk di lantai, bukan di kursi. Dengan demikian, dengan leluasa aku bisa melihat pijar kuning cahaya dari sudut teras rumah.

Jalan setapak kecil yang ada di samping rumah menjadi gelap di kala malam. Jalan yang membawa ku melihat arus coklat air yang mengalir di sungai kecil, tepatnya parit. Tempat bermain-main air ketika air meluap, melewati bibir sungai hingga menyentuh rerumputan di kebun belakang.

Aku hanya berbicara sesekali, menimpali hal-hal yang kadang mungkin tidak begitu menarik untuk di dengarkan. Aku hanya diam sambil berbisik dengan kursi panjang di teras, bertanya, apa yang harus aku lakukan. Dia hanya tersenyum dan kembali diam dalam malam.

Sajadah yang mulai lusuh itu pun pernah aku hamparkan dalam kamar yang mungil itu, berdoa kepada Allah untuk sebuah pengharapan. Sebuah kotak menyangga rak kecil yang berisi beberapa buku. Sangat sederhana. Dan ranjang kecil yang hanya baik untuk merebahkan badan satu orang saja. Tidak banyak. Hanya itu saja. Bahkan pintu kamar tidak terkunci sama sekali, hanya tirai yang menghalangi pandangan keluar. Jejakku tertinggal di sana. Jejak doa dikala senja.

Setiap sudut dari rumah sudah aku salami semua kecuali kamar yang satunya. Memang aku tidak mau. Anggap saja itu punya orang lain dan aku tentu tidak boleh kesana. Kalau meja makan dan kursi plastik biru itu, aku sangat kenal. Berkali-kali aku makan disana. Jejakku juga ada di sana. Bahkan sampai ke bagian belakang, sampai ketika ibu menggorengkan telur mata sapi yang dibumbui cabe campur gula untuk makan siang kami. Jejakku pun ada di sana. Dan setiap tetes air untuk wudhu, aku juga di sana. Aku menatap keluar. Jalanan sudah hening. Tetumbuhan yang menjadi pagar hidup, sudah basah oleh embun. Aku harus segera beranjak.

Jarang sekali kata-kata ku dengar. Hanya detak jarum jam yang semakin jelas terdengar dan tatapan-tatapan seperti biasa. Tatapan yang kemarau. Mungkin karena terlalu lama tidak membicarakan sesuatu yang telah menggenggam matanya, senyumnya, bahkan wajahnya. Seringkali yang ada adalah wajah berbaju kecemasan. Tapi hanya diam. Iya, aku yang salah. Aku harus bergegas, meski sebenarnya ingin lebih lama.

Aku berlalu. Sudah lama. Bahkan aku tidak tahu apakah dindingnya masih biru atau sudah berubah. Aku ingin ke sana melihatnya. Melihat pijar kuning lampu di sudut kanan atas teras. Melihat bangku panjang yang hanya terpekur diam, meski sesekali tersenyum. Melihat meja makan dan kursi plastik biru. Melihat sajadah lusuh di hamparkan dalam kamar yang mungil. Aku ingin. Tapi aku sangsi akan keberadaannya sekarang. Bagaimana kalau sudah berganti. Oh tidak. Jejakku akan hilang, dan mungkin tidak ada alasan lagi untuk melihatnya. Semoga masih utuh, meski hanya dalam cerita ini sekalipun. Dan jejak itu masih ada dalam malam yang telah tertinggal jauh di belakang.


Jambi, Rumah Kemuliaan,
            05 Agustus 2011,
            00.45 AM.

6 comments:

Anonim mengatakan...

Jejak itu tidak akan pernah hilang kok, karena kamu sudah menjadi bagian dari rumah biru..

numpang ngabuburit ya bi, biar gk berasa nunggu maghrib.. hehe

NIT NOT at: 7 Agustus 2011 pukul 03.45 mengatakan...

seprtinya tempat itu indah dan mengesankan....semoga masih bisa melihat sejenak ke masa lalu dan kembali merasakan masa2 yg berkesan di masa itu..:D

habibi daeng at: 7 Agustus 2011 pukul 14.54 mengatakan...

mas Nit Not,, tempat itu tidaklah indah mas, hanya saja banyak kenangan indah di sana. hehehe. aamiin. aku juga berharap semoga masih bisa ke sana.

Dhenok,, iya juga seh,, tapi kalau semuanya sudah berubah,, jejaknya jadi samar gitu. tafaddol, makasih malah udah mau mampir. kirain sekalian bubar gitu hehee

Ujang Arnas at: 7 Agustus 2011 pukul 15.13 mengatakan...

seperti berada disana :)

keep posting mas

habibi daeng at: 7 Agustus 2011 pukul 15.19 mengatakan...

hehehe alhamdullah, berarti diksinya pas, hehehe

Taufiqillah at: 18 Agustus 2011 pukul 21.39 mengatakan...

Biru adalah salah satu warna kesukaanku.