Ramadhan waktu itu menyisakan pengalaman yang sampai sekarang masih sering ku putar balik (flash back) di dalam fikiran. Mengapa ya wakti itu sampai aku lakukan?
Suatu sore, setelah pulang dari sekolah, aku cepat-cepat ganti baju dan bergegas keluar rumah agar tidak ketahuan sama nenek. Aku bolos ngaji sore itu. Jalanan setapak yang kering menghembuskan debu-debu tanah yang abu-abu. Aku berlari tergopoh-gopoh menuju rumah Amin, sahabatku. Kami sudah janjian akan berburu ulat daun pisang untuk di jadikan umpan memancing nantinya. Rupanya dia telah menunggu di teras rumahnya. Kami kembali berlari menuju kebun pisang yang ada di depan gudang sekaligus pabrik penggilingan padi.
Kami tersenyum-senyum melihat banyak dedaunan pisang yang bergulung rapi. Itu pasti ulat daun pisang. Tapi kami lupa membawa bambu. Amin berlari ke samping rumah H. Hade'. Dia tahu biasanya Aji menyimpan bambu yang panjang, yang biasa digunakan untuk memetik kelapa, di samping rumah. Aku berlari menyibak semak rasau menyusul si Amin. Belum lagi dapat bambunya, Aji tiba-tiba keluar dari teras.
"Kalaki', Aga maelo muala?"
"Kami mau pinjam awo' ta' sebentar untuk petik ulat daun pisang, Aji"
"Mau mancing ya?"
"Yek, Fuang"
"Ikan-ikan lagi puasa juga sekarang" kami tersenyum mendengar tuturan Aji yang barusan. tak lama berselang, dia kembali berucap.
"Kalian, mau aku kasih tau sesuatu?"
"Apa itu, Aji?"
"Mau kah kalian jika jatuh dari pohon kelapa tidak merasa sakit?"
Mengingat selain bersawah, di kampung kami perkebunan kelapa sangatlah kami andalkan, tentu saja kegiatan panjat memanjat pohon kelapa sangat lekat dengan kami. Bahkan anak perempuan sekalipun pasti bisa memanjat pohon kelapa. Dengan pertimbangan seperti itu, dengan senyum lebar aku dan Amin mengiyakan.
"Kalian lihat batang kayu yang lapuk di depan sana?"
"Yek, Fuang, kami lihat"
"Kesanalah kalian, angkat kayu lapuk itu, dan ambil apa pun yang bergerak di bawahnya"
"Yek. . ." tanpa pikir panjang, kami bergegas menuju batang kayu lapuk yang dimaksud. Tidaklah susah mengangkatnya, apalagi si Amin memang anak yang kuat. Sering mengankat kopra. Kami terkejut karena yang ada di bawah kayu adalah lipan yang panjangnya sekitar sejengkal tangan orang dewasa.
"Ambil, jangan takut, tapi hati-hati. langsung bawa ke belakang. taruh di dalam Dafo' " teriak aji dari teras rumahnya. Dengan menggunakan empat buah ranting jambu biji, aku dan amin menjepit lipan yang besar itu dan segera membawanya kebelakang. Masih belum faham akan diapakan lipan ini. Sesampai di belakang, langsung saja kami lempar ke dalam dafo' yang masih ada bara apinya. Bau harum daging terbakar mecucuk hidung. Setelah beberapa saat, Aji menyusul kami di belakang. Dia meminta kami mengambil kembali lipan yang tadi dari dafo'. "Kalian makan ini ya" WHATTT. . .MAKAN LIPAN? tapi kalimat ini kan baru sekarang keluarnya. waktu itu kami cuma heran tapi tergoda denga harum bau dagingnya. tanpa pikir panjang, lipan yang sudah matang, yang hanya tinggal badannya karena kaki-kakai dan kepalanya sudah hilang, kami bagi dua. layaknya sedang makan panggang udang, kami buka kulitnya. Daging yang putih kemerahan karena matang itu semakin menggiurkan. Hanya dengan satu suapan, ludes sudah lipan ke dalam perut. Tapi rasanya memang seperti udang yang di panggang.
"Kalian tadi puasa?"
"Iya. .. "
"Lantas kenapa dimakan?"
"Kan, Aji yang nyuruh, agar kalau jatuh tidak sakit. . ."
Aji tertawa, kami pun ikut tertawa. Dasar anak-anak, mungkin itu yang ada dalam benaknya.
Namun sekarang, aku tidak habis pikir mengapa bisa. Cukup sekali aja dah. tidak akan ada lagi acara seperti itu. Bulu kuduk aja sekarang merinding ngebayanginnya. . . hahaha Dasar anak-anak. . .
Catatan:
- Kalaki', Aga maelo muala? : Mau ngambil apa, anak-anak?
- Dafo' : Tungku yang dibuat dari tanah liat ala masyarakat bugis.
- Yek, Fuang : Iya, kek.
0 comments:
Posting Komentar