Rabu, 27 April 2011

Nihayatuzzin


Suatu hari sepulang dari kampus (kalau ga salah 24 Oktober 2008 pukul 3.00 pm), langkah ku berbelok ke kiri (bila lurus berarti aku langsung pulang ke Mushalla), ke arah perpustakaan. Sepertinya kepala ku ingin diisi dengan sesuatu hal yang baru. Mungkin inilah mengapa langkah ku menuju ke Perpustakaan Wilayah. Jalan ku percepat karena ku tahu sebentar lagi perpustakaan akan tutup. Aku tidak memperdulikan tetesan – tetesan keringat yang membasahi dahi ku yang lebar dan mengkilap diterpa terik sinar matahari.

Ku lihat replika tubuh ku didalam cermin yang tergantung di atas tangga, sesosok manusia dekil, berbau matahari. Sosok yang terlihat tua dalam umurnya yang masih muda (waktu itu aku masih 19 tahun kok). Bagaimana tidak, pemuda yang seharusnya menikmati masa remaja dengan bergaya seperti halnya pemuda lainnya, yang, paling tidak menggambarkan bahwa ia adalah seorang remaja, justru sering kali berdandan seperti halnya orang tua separuh baya. Mungkin karena pengaruh lingkungan sebelum aku melanjutkan studi ke Perguruan tinggi masih melekat erat.

Aku akui sewaktu SMA (emang udah jadi takmir atau mudim masjid sih), tepatnya mulai kelas 1 semester genap, aku memang lebih banyak bergaul dengan orang – orang yang jauh lebih tua daripada ku misalnya, para imam masjid, para pengurus masjid, pak Ka KUA, pak Camat, ibu – ibu majelis taklim, dan para habib – habib keturunan arab. Tentu saja secara perlahan – perlahan hal itu terjadi . misalnya, setiap aku menamani bang Basit menikahkan orang (dia adalah Waka KUA pada saat itu, sekarng ia sudah menjabat sebagai Ka KUA Nipah Panjang), aku harus mengikuti style – nya; pakai sarung, baju kemeja lengan panjang yang licin, dan kopiah yang erat. Bahkan, bila disuruh pakai jas, ya harus pakai jas (lha, ntar yang ngucap Ijab Qabul salah orang loh hehehe). Atau, mengikuti rombongan mereka ketika berlebaran selepas shalat ‘Ied, atau ketika memimpin acara ibu –ibu majelis taklim. Sungguh keadaan yang sangat berbeda, tapi aku menikmatinya.


Ku teruskan langkah ku mendaki setiap anak tangga. Aku berharap hanya sedikit pengunjung yang masih ada di dalam. Aku takut mereka terganggu dengan bau keringat yang menempel di tubuh ku. Ternyata aku salah menduga, hampir tidak ada kursi yang tersisa. Dalam hati aku bergumam, “seandainya keadaan pengunjung seramai ini tiap harinya, mungkin kita tidak akan sungkan menyebut diri kita sebagai mahasiswa yang baik.”

Aku malas membongkar, mencari buku di rak – rak yang telah diaduk – aduk (buku sains kok banyak terselip di rak buku agama!?). aku hanya langsung menuju kursi yang masih kosong yang hanya tinggal 2 dan langsung duduk (kecape’an toh). Ku raih salah satu buku yang berserakan di atas meja. Halaman – demi halaman aku buka (aku lupa judul bukui tersebut). Sampai pada suatu paragraf aku behenti. Aku tertarik pada dua buah istilah yang indah bila ku sebut dengan mulut ku dan didengarkan oleh telinga ku; Nihayatuzzin dan Mashailul ‘ashri.

Lama mata ku memperhatikam dua istilah yang menggunakan bahasa arab ini. Tiba – tiba saja aku teringat dengan orang yang selalu mencuri perhatian ku. Aku tersenyum sendiri menunjuk –nunjuk salah satu dari dua istilah itu. Aku menunjuk – nunjuk Nihayatuzzin. Mengapa bukan Mashailul ‘Ashri? Sebenarnya kedua – duanya adalah istilah yang indah dan bagus. Tetapi, tetap saja aku lebih memilih yang pertama, Nihayatuzzin, yang di dalam buku tersebut diartikan sebagai “permata yang sempurna, yang paling indah” sedangkan Mashailul ‘Ashri diartikan sebagai “ pelita atau cahaya masa kini.”

Segala macam “dewan pengurus” yang ada di dalam otak ku setuju bila istilah ini aku gunakan sebagai gelaran untuk orang yang sangat istimewa, yang gerak – geriknya selalu mencuri perhatian ku.

Sebenarnya, ada perasaan ogah untuk melanjutkan niat ku tadi. Masa iya nama orang pake diganti segala?. Apalagi beberapa saat yang lalu lewat telepon seluler dia berkata, eh, nama orang kok pake’ diganti segala, tuh nama pake’ motong kambing lho, kalau mau ganti potongin kambing dulu” aku tidak punya hak untuk mengganti nama seseorang, apalagi nama tersebut sudah barang tentu merupakan pemberian orang tuanya. Aku hanya memberikannya gelaran (yang hanya berlaku untuk ku). Hal ini aku lakukan mengingat segala tindak – tanduknya, tutur kata, adab kesopanan, dan setiap aspek dirinya sangat menggambarkan sebuah permata yang indah, yang sempurna, yang bisa membuat setiap orang terpesona akan cahaya yang dipancarkannya (ini kata hati ku).

Dia adalah saudari ku, sahabat ku, Seorang gadis shalehah nan manis, lahir 16 mei ditahun yang sama denganku, di suatu daerah di Palembang (mudah – mudahan aja ga salah neh). Katanya ia berdarah sunda (ga tau tuh benarnya pa ga). Yang jelas, aku paling senang mendengarnya bercerita dengan semangat dengan logat jawa campur sunda (tentunya dalam bahasa Indonesia, yang sesekali diselingi bahasa jawa dan sunda). Apalagi bila nada suaranya terdengar manja. Rasanya tak akan ku lepas jauh - jauh hanphone dari telinga ku.
Dia anak bungsu dari orang tua yang sangat menyayanginya (nah, yang ini aku ga berani nanya siapa nama kedua orang tuanya, aku hanya ikut – ikutan manggil Babeh dan Ibu), yang tertua bernama Umayyah,  sekarang sedang berada di Yordania, mencari rezki dan pengalaman hidup. dan yang lainnya adalah 3 saudara laki-lakinya. Tapi aku merasa lebih akrab dengan saudaranya yang ke 4 (cieile. . ., akrab? Ketemu aja belum pernah, ngomong aja baru sekali, itu pun hanya lewat telpon).

0 comments: