Selasa, 26 April 2011

Kebermaknaan: ulasan sekilas

                                                                   

Oleh: Habibi Daeng

A.    Pengertian Makna

Menurut teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Sausure, Bapak Lingustik Modern, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu yang diartikan dan yang mengartikan. Yang diartikan sebenarnya adalah konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifian atau signifier) adalah tak lain daripada buni-bunyi itu, yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda terdiri dari unsur bunyi dan makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intra lingual) yang biasanya mengacu kepada referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual)

Makna sebuah kata dapat dianggap sebagai cara kata itu dipahami dan cara kata itu dimengerti sebagai bagian dari kalimat-kalimat yang berlainan. Yang dilakukan kamu adalah mencoba meringkas cara atau cara-cara kata itu sendiri dalam kalimat yang dipahami dalam kalimat-kalimat yang ditemukan dalam bahasa yang bersangkutan.
Pengetahuan tentang makna adalah kemampuan seorang penutur atau yang berbicara dalam hal memakai kata tersebut dengan cara yang dapat dimengerti orang lain, dan kemampuan mengerti kata itu apabila diucapkan oleh orang lain.

B.    Mempunyai Makna dan Berarti

Istilah bermakna mungkin dipakai dua arti yang berbeda, yaitu “mempunyai makna” (having meaning) dan “berarti” (Being Significant or Significance). Berdasarkan hal ini, kata-kata mempunyai makna, sedangkan frase-frase atau kalimat-kalimat mungkin punya makna mungkin pula tidak.

Mempunyai makna berarti suatu kata tersebut harus didefinisikan. Jadi, pertama-tama kita harus memutuskan suatu unsur tertentu, apakah unsur yang kita maksud itu mempunyai makna atau tidak, barulah selanjutnya kita mencari tahu makna apakah yang dimiliki oleh unsur tersebut.

C.    Konteks Situasi

Tiap-tiap ujaran terjadi dalam situasi spasiotemporal tertentu yang meliputi pembica dan pendengar, perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan dikala itu, dan berbagai benda dan peristiwa di luar. Pendengar tidak akan memahami ujaran itu jika tidak menafsirkan unsur-unsur deiktis dengan benar dan dengan mengacu pada ciri-ciri sesuatu yang relevan. Akan tetapi, konteks ujaran tidak dapat begitu saja diidentifikasikan dengan situasi spasiotemporal terjadinya, ini harus dianggap meliputi, tidak hanya benda-benda dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan, tetapi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh pembicara dan pendengar tentang apa yang telah dikatakan.

Jadi, seorang pembicara dan yang mendengarkan harus sama-sama mengerti dengan apa yang mereka ucapkan. Dengan demikian, makna yang disampaikan oleh pembicara melalui simbol-simbol atau lembang-lambang, maupun gerak perbuatan, dapat dimengerti oleh pendengar sehingga penyampaian makna dalam komunikasi berjalan dengan baik

D.    “Mempunyai makna” mengandung pilihan.

Suatu ujaran mempunyai makna jika terjadinya tidak seharusnya ditentukan oleh konteksnya. Definisi ini berdasarkan asas yang secara luas diterima bahwa kebermaknaan mengandung pilihan. Jika pendengar tahu sebelumnya bahwa dalam konteks tertentu, maka jelas sekali bahwa ia tidak akan mendapatkan informasi apa-apa. Dengan kata lain, diantara pembicara dan pendengar gagal melakukan komunikasi.

Berbeda dengan seorang yang hanya diam (atau anggukan kepala, senyuman, pandangan yang ramah, dan sebagainya), maka hal itu mengandung pemilihan yang memiliki makna yang dikomunikasikan kepada orang lain atau pendengarnya. Seperti halnya apabila seorang menganggukkan kepala sebagai jawaban dari suatu pertanyaan yang ditujukan kepadanya, maka sang penanya langsung dapat memahami makna yang disampaikan melalui simbol atau lambang yang didapatkan.

E.    Relevansi Perilaku non Linguistik

Ujaran-ujaran berinteraksi, seperti halnya How do you do?. Meskipun itu sndiri wajib pada konteksnya, mungkin diucapkan dengan berbagai cara, dengan sopan, sambil lalu, dengan menghina, dengan merendahkan diri, dan lain-lainnya. Modalitas ujaran yang berbeda-beda itu mungkin diucapkan dengan nada suara ataupun gerak-gerik yang menyertainya, atau kedua-duanya serentak dilakukan.

Apabila seseorang memberikan suatu informasi kepada yang lainnya dengan disertai modalitas expresi dan dengan secara sadar mengucapkan suatu keadaan ia “sedang marah”, tidak bisa sabar, utau ingin mengatkaan bahwa ia adalah seorang yang berpendidikan baik, kemudian fakta-fakta tersebut dikunikasikan dengan baik, maka ciri-ciri ujaran yang dimaksud mempunyai makna.

F.    “Behaviorisme” dalam Semantik

Seperti ujaran yang telah disebutkan, how do you do? Adalah ujaran yang cenderung telah jadi, maksudnya ujaran tersebut telah dipelajari secara turun menurun dan tanpa adanya pengalisaan makna untuk ujaran tersebut. Menurut Firth, hal ini bisa dikatakan sebagai “peristiwa berulang yng khas dalam proses sosial”.  Artinya, dalam bermasyarakat ada ujaran-ujaran yang memang telah disepakati oleh masyarakat pendahuluannya yang hanya memiliki makna dalam konteks-konteks oleh masyarakat, tidak pada umumnya . contohnya ujaran How do you do? Yang akan bermakna ketika diucapkan seseorang dalam situasi perkenalan.

G.    Komunikasi Fatis

Banyak ujaran-ujaran kita yang tidak dapat dikatakan benar memiliki fungsi satu-satunya, mengkomunikasikan atau mencari informasi, memberi perintah menyatakan harapan, kehendak, dan keinginan, atau bahkan memperlihatkan emosi, tetapi digunakan untuk memantapkan suasana sosial. Ho do you do? Dalam konteks-konteks tertentu. Tetapi, ada banyak lainnya yang disusun secara bebas oleh penutur-penutur asli yang sekaligus mengkomunikasikan informasi dan digunakan dalam komunikasi fatis. Contohnya, it is another beatifull day, yang bisa dikatakan sebagai ujaran untuk memulai suatu percakapan yang sering terjadi antara pemilik toko dengan pembeli. Jelas sekali bahwa sang pemberi bukanlah menginformasikan bahwa cuaca hari itu sedang baik, hal itu hanya dilakukan sebagai pembuka atau awal dari sebuah percakapan.

H.    Konteks-konteks Terbatas

Apabila kita memakai bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, kita tidak sedang membuat kalimat, tetapi yang kita buat adalah ujaran-ujaran. Ujaran-ujaran tersebut dibuat dalam konteks-konteks tertentu dan tidak dapat dipahami tanpa mengetahui terlebih dahulu ciri-ciri yang sesuai dengan ujaran tersebut.

Selama percakapan, konteks itu terus berkembang. Kasus-kasus yang membatasi konteks yang tidak bisa meluas, maksudnya perserta dalam percakapan tidak menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya. Konteks seperti inilah yang disebut sebagai konteks terbatas, jarang sekali ditemukan, karena untuk memahami ujaran tersebut, kita harus lebih dahulu memahami informasi yang terkandung dalam ujaran-ujaran sebelumnya.

I.    Berarti

Ujaran-ujaran tertentu mungkin dinyatakan tidak dapat dipakai karena megandung “umpatan” atau mungkin mengandung hal yang “jorok”. Dan, yang mungkin terterima itu dalam pemakaian bahasa tertentu seperti do’a, mitos, dongeng, cerita khayal-sains, dan lain-lain. Tapi tidak biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Sepertinya terlalu sedikit gunanya untuk mencoba mendefinisikan “berarti” sehingga mencakup semua “dimensi” keterterimaan yang sangat beragam itu. Misalnya, untuk verba “die”, yang meskipun dengan bebas dipakai dan digabungkan dengan nomina-nomina yang bernyawa, termasuk nama-nama orang dalam bahasa Inggris, ada suatu hal yang dihormati secara umum yang melarang pemakaiannya apabila digabungkan dengan “My Father, my Mother, my Brother, atau my Sister”, (yaitu yang berhubungan dengan anggota-anggota dekat dalam keluarga).

Untuk ujaran “my Father died last night” akan dianggap tidak terterima karena adanya hal larangan secara umum seperti yang kami katakan sebelumnya. Berbeda dengan, ujaran “His Father died last night”. Maka ujaran itu akan terterima karena verba “died” tidak digabungkan dengan nomina bernyawa yang berasal dari keluarga dekat sang pengujar.

Contoh lainnya, mungkin kita mengatakan dalam sebuah ujaran bahwa “Shelly eats milk” dan “Winda drinks bread” tidak akan berarti, sebab verba “eat” hanya cocok dengan nomina-nomina yang menandakan benda paday sebagai objeknya. Dan, verba “drink” cocok dengan nomina-nomina yang menandakan benda cair yang dapa diminum.

Berdasarkan dua ujaran tadi, maka apabila dikatakan bahwa “Habib eats soup”, maka ujaran ini akan dianggap tidak teratur secara semantis. Tapi, hal ini terterima disebabkan oleh masyarakat, yang karena kebiasaan di luar kaedah-kaedah yang disampaikan untuk menafsirkan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris.

==================================================================

DAFTAR PUSTAKA


Lyons, John (1968). Introduction to Theoretical Linguistics, Cambridge : Cambridge University Press.

Robins, R.H. (1992). Linguistik Umum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius.

0 comments: