Pagi itu masih pukul 10.30. mataku sudah mulai terbius
dengan sentuhan – sentuhan angin yang melewati celah jendela mobil. Aku
rebahkan bangku dan mulai memejamkan mata dengan ditemani sentuhan nada-nada
dan lirik dari Maher Zain;
…..
Now we share the same
bright sun,
The same round moon
Why don’t we share the same love
Tell me why not
Life is shorter than most have thought
The same round moon
Why don’t we share the same love
Tell me why not
Life is shorter than most have thought
…..
Ku buka mata dan meraba ponsel yang terselip di kantong
baju. Sebuah pesan singkat.
Assalamu’alaikum. Mas Nur, maaf ya, bulan ini aku agak lambat mbayar bulanan mas. Aku lagi dapat musibah, mas. Anakku yang kecil, Fahri, ninggal tanggal 12 hari sabtu kemaren. Aku minta doa untuk anakku mas ya . . .
+ + + + + + + + + +
Fahri lahir 12 oktober tiga tahun
yang lalu. Mukanya yang jernih lonjong selalu dihiasi dengan senyum ramah
setiap kali aku berkunjung ke rumahnya. Hari ini, aku kembali bertemu kembali
dengannya. Dia dengan lincah melompat dari atas sofa dan berlari ke arah pintu.
Bunyi pintu diterik terdengar halus. Seraut muka bersih, dengan rambut yang
ikal, bola mata yang bercahaya sendu, dan senyum yang lebar menyapaku.
“ayo, Om. Masuk, om” katanya
dengan logat jawa yang kental.
Aku
melangkah menuju sofa, tempatnya tadi bermain. Ibu dan ayahnya datang menyapa
dengan ramah. Kami ngobrol cukup lama, sambil sesekali aku bercandaan dengan
fahri. Melihat aku mengaminkan setiap ajakannya bercanda, dia semakin
bersemangat mengajakku bermain. Dia berari keluar rumah yang masih belum di
plester semen, rumah bata dengan atap genteng merah. 10 detik kemudian dia
muncul dari jendela belakang sofa tempatku duduk. Dia pasti memanjat jendela
itu, aku membatin. Dia bercanda kembali denganku lalu kembali berlari keluar
rumah dan muncul dari jendela di belakangku. Jendelanya tidak tinggi memang,
hanya sekitar 40 cm dari lantai. Mungkin ada 5 kali dia mengulangi hal itu.
Ayahnya adalah salah satu pengrajin batu bata di desa
ini. Sudah lebih satu tahun aku mengenal dia dan orang tuanya. Aku bersalaman dengan kedua orang tuanya dan
hal itu menghentikan dia untuk berlari keluar rumah.
“Ajeng tindak pundi, Om?” tanyanya
kepadaku dengan masih berpegangan di kusen jendela. Matanya yang sayu pun ikut
bertanya. Aku hanya tersenyum dan mengelus rambutnya yang ikal.
Aku berpamitan dan bergegas pulang
ke kantor karena mega merah mulai terlihat di ufuk barat langit. Mobil
berjalan perlahan melewati jalanan desa yang licin dan becek habis tersiram air
hujan.
+ + + + + + + + + +
Siang, tanggal 12 oktober, sekitar
pukul 11.30 siang. Ayah fahri di sibukkan menyusun bata ke atas truk
pengangkut. Fahri sedang asik sekali bermain mobil-mobilan di depan truk
pengankut bata. Sekitar 4 orang termasuk ayahnya, sudah berpeluh, tetapi tetap
bersemangat. Ini adalah mobil kedua untuk hari ini, Alhamdulillah, kata ayahnya
dalam hati sambil terus menyusun bata .
“Bu, tolong bukain bungkus
jajannya ya”, teriak fahri kepada ibunya.
“iki, nang”, sang ibu memberikan 4
buah wafer cream, yang 3 sudah dibuka kan.
Dia kembali menikmati
permainannya. Beberapa saat kemuadian, sang ayah dan beberapa orang dibelakang,
termasuk ibunya berhenti memuat bata.
“udah penuh”, sebuah suara
berlogat jawa kental terdengar dari belakang mobil truk. Bunyi truk di starter
nyaris tak terdengar karena angin begitu kencang bertiup, membawa suara
memanjat begitu cepat ke langit, dan hanya sedikit yang singgah di telinga.
“awaaaassss, anakmuuuuu di depan
mobiiiilll…” sebuah teriakan keras bercampur bunyi angin terdengar berulangkali
dari ujung jalan.
Mereka berempat bergegas ke depan mobil. Mereka melihat fahri
terbaring menutup mata di sisi kanan jalan, rambutnya yang ikal bermain-main
dengan angin. Di kepalanya terlihat luka kecil, berdarah.
Seketika angin yang tadi bertiup
dengan kencang, perlahan melambat dan terasa asin. Isak tangis mereka memecah
suasana. Suara pecah melewati setiap lubang-lubang yang ada di bata merah. Angin
berhenti bertiup. Terik matahari berubah sangat dingin.
Para pengrajin yang
lainnya berdatangan untuk melihat bocah lucu yang telah menutup mata sebelum
sempat dibawa ke rumah sakit. Dia seperti tertidur dan bermimpi bermain
mobil-mobilan. Seutas senyum pucat lekat diwajahnya. Lama sekali dia dipeluk
ayahnya.
+ + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + +
Aku baru sadar, apa makna
pertanyaannya kepadaku 2 minggu yang lalu. Dia anak yang selalu ceria, ramah,
dan manis sekali. Dia yang baru berumur 3 tahun mengingatkan aku, ke mana aku
akan pergi nanti nya. Mataku yang mengingat sketsa wajahnya seketika
berkaca-kaca. Terimah kasih ya, adek fahri yang manis. Mungkin engkau tahu
cerita ini untukmu. Dan kita akan bercanda kembali, aku akan ikut berlari
sepertimu. Berlari keluar rumah dan memanjat jendela ruang tamu kemudian
tertawa lepas. Kemudian berlari lagi. Kemudian berlari lagi dan berlari lagi.
Jambi, 22 oktober 2013
4 comments:
Cerita yang sangat menyentuh... begitulah kehidupan, selamanya akan tetap jadi rahasia Allah,, hanya hikmah yang dapat kita ambil...
mas Jhoe, bener banget mas. selalu ada hikmah yang bisa kita ambil disetiap kejadian. keep hamasah ^_^
mengharu biru membacanya hiks hiks. ceritanya bagus mas daeng.
Tri Susanti, Terima kasih ya mba udah mau baca cerpen saya :)
Posting Komentar