Kami dipaksa menggosok bumi sampai putih.
Tak tahu tangan sudah mulai hilang kulit,
Tak tahu keringat sudah menganak parit,
Pun, tak tembus pandang jejak yang mulai bersih.
Kami dipaksa tertawa sengit,
Tak tahu darah darah menetes perlahan,
Tak tahu nafas mulai tertahan,
Pun, tak bergeming berpumpuk jarak yang semakin pelit.
Ladang-ladang kami buka sebisa tenaga,
Kami cangkul kami gemburkan tanah dengan doa,
Jika musim sedang kemarau, matalah yang mendung agar segera hujan.
Meski tahu mulai mengering, tetap saja kami peras cawan perlahan.
Jaluko, 14 April 2012
Habibi Daeng
Tak tahu tangan sudah mulai hilang kulit,
Tak tahu keringat sudah menganak parit,
Pun, tak tembus pandang jejak yang mulai bersih.
Kami dipaksa tertawa sengit,
Tak tahu darah darah menetes perlahan,
Tak tahu nafas mulai tertahan,
Pun, tak bergeming berpumpuk jarak yang semakin pelit.
Ladang-ladang kami buka sebisa tenaga,
Kami cangkul kami gemburkan tanah dengan doa,
Jika musim sedang kemarau, matalah yang mendung agar segera hujan.
Meski tahu mulai mengering, tetap saja kami peras cawan perlahan.
Jaluko, 14 April 2012
Habibi Daeng
6 comments:
Kata-kata penuh makna. Keren.
Kemarau telah mengeringkan lahan para petani dan peladang, tapi semoga tidak mengeringkan asa mereka untuk terus berharap dan bekerja :)
Semangat terus bro... jangan menyerah... :)
paragraf pertama, nyawa chairil anwarnya terasa sekali.
ngefans sma chairil anwar kah, by?
Irma,, Makasih banyak hehe, baru belajar kok ini mah.
Mas Jhoe,,wokehh, lagi ngumpulin semangat sebanyak-banyaknya ini mas hehe.
Mba Achi,,puisi dan antologi puisi yang pertama kali saya baca sewaktu masih Madrasah adalah punya dia emang kok mba ee :)
huwaaa samaan yah kya teh bonit, pinter berpuisi :3
bagus qaqaaaa,, :D
,, hehe makasih ya udah mau mampir di rumahku yang sangat sederhana ini yak.... :D. hehehe
Posting Komentar