aku titipkan bulan pada harum cendana seribu pagi
sebuah seruling yang tiada pernah bersuara
sesekali hanya berkata pada kilatan cahaya sunyi
aku kumpulkan remah-remah udara yang tersisa
secarik kertas tempat berlabuh mengukir bunyi
yang hanya bisa terdengar pada tiap derap masa
sekepal nada hanya berwarna putih tak berisi
kemudian ku endapkan segala warna kota dan desa
harum dunia semakin menggila tanpa permisi
memantulkan sesinar pagi pada mahkota dari busa
karena mungkin mengira tanah selalu di bawah kaki
suburnya pun semakin hilang seperti lupa
aku titipkan bulan pada harum cendana seribu pagi
masih adakah remah-remah semangat yang tersisa?
negeri itu masih lekat dalam mimpi.
Jambi, Rumah Kemuliaan
16 Januari 2009
6 comments:
keren artikelnya
makasih ukhty,, hehee tapi yang diatas itu puisi, bukan artikel
puisinya bagus banget ...
makasih mas,, masih dalam tahap belajar hehe. tapi memang sih, puisi yang satu ini aku buat sampe draft ke-enam baru mantap rasanya untuk dipublikasikan. . .
puisi nya keren nih .... salut dach .... soalnya aku gak bisa buat puisi...
makasih mba', (eh mba' atau ibu ya?)
alhamdulillah puisi ini pernah mendapat pujian dari Iriani R Tandi, salah seorang penyair senior di Jambi waktu pelatihan menulis puisi yang di adakan oleh FLP Jambi.
Posting Komentar