Selasa, 22 Oktober 2013

Pertanyaan Fahri

Pagi itu masih pukul 10.30. mataku sudah mulai terbius dengan sentuhan – sentuhan angin yang melewati celah jendela mobil. Aku rebahkan bangku dan mulai memejamkan mata dengan ditemani sentuhan nada-nada dan lirik dari Maher Zain;
…..
Now we share the same bright sun,
The same round moon
Why don’t we share the same love
Tell me why not
Life is shorter than most have thought
…..
Ku buka mata dan meraba ponsel yang terselip di kantong baju. Sebuah pesan singkat.

Assalamu’alaikum. Mas Nur, maaf ya, bulan ini aku agak lambat mbayar bulanan mas. Aku lagi dapat musibah, mas. Anakku yang kecil, Fahri, ninggal tanggal 12 hari sabtu kemaren. Aku minta doa untuk anakku mas ya . . .
                 + + + + + + + + + +

Fahri lahir 12 oktober tiga tahun yang lalu. Mukanya yang jernih lonjong selalu dihiasi dengan senyum ramah setiap kali aku berkunjung ke rumahnya. Hari ini, aku kembali bertemu kembali dengannya. Dia dengan lincah melompat dari atas sofa dan berlari ke arah pintu. Bunyi pintu diterik terdengar halus. Seraut muka bersih, dengan rambut yang ikal, bola mata yang bercahaya sendu, dan senyum yang lebar menyapaku.
“ayo, Om. Masuk, om” katanya dengan logat jawa yang kental.
  
Aku melangkah menuju sofa, tempatnya tadi bermain. Ibu dan ayahnya datang menyapa dengan ramah. Kami ngobrol cukup lama, sambil sesekali aku bercandaan dengan fahri. Melihat aku mengaminkan setiap ajakannya bercanda, dia semakin bersemangat mengajakku bermain. Dia berari keluar rumah yang masih belum di plester semen, rumah bata dengan atap genteng merah. 10 detik kemudian dia muncul dari jendela belakang sofa tempatku duduk. Dia pasti memanjat jendela itu, aku membatin. Dia bercanda kembali denganku lalu kembali berlari keluar rumah dan muncul dari jendela di belakangku. Jendelanya tidak tinggi memang, hanya sekitar 40 cm dari lantai. Mungkin ada 5 kali dia mengulangi hal itu.

Ayahnya  adalah salah satu pengrajin batu bata di desa ini. Sudah lebih satu tahun aku mengenal dia dan orang tuanya.   Aku bersalaman dengan kedua orang tuanya dan hal itu menghentikan dia untuk berlari keluar rumah.

“Ajeng tindak pundi, Om?” tanyanya kepadaku dengan masih berpegangan di kusen jendela. Matanya yang sayu pun ikut bertanya. Aku hanya tersenyum dan mengelus rambutnya yang ikal.

Aku berpamitan dan bergegas pulang ke kantor karena mega merah mulai terlihat di ufuk barat langit. Mobil berjalan perlahan melewati jalanan desa yang licin dan becek habis tersiram air hujan.

                      + + + + + + + + + +

Siang, tanggal 12 oktober, sekitar pukul 11.30 siang. Ayah fahri di sibukkan menyusun bata ke atas truk pengangkut. Fahri sedang asik sekali bermain mobil-mobilan di depan truk pengankut bata. Sekitar 4 orang termasuk ayahnya, sudah berpeluh, tetapi tetap bersemangat. Ini adalah mobil kedua untuk hari ini, Alhamdulillah, kata ayahnya dalam hati sambil terus menyusun bata .

“Bu, tolong bukain bungkus jajannya ya”, teriak fahri kepada ibunya.
“iki, nang”, sang ibu memberikan 4 buah wafer cream, yang 3 sudah dibuka kan.

Dia kembali menikmati permainannya. Beberapa saat kemuadian, sang ayah dan beberapa orang dibelakang, termasuk ibunya berhenti memuat bata.

“udah penuh”, sebuah suara berlogat jawa kental terdengar dari belakang mobil truk. Bunyi truk di starter nyaris tak terdengar karena angin begitu kencang bertiup, membawa suara memanjat begitu cepat ke langit, dan hanya sedikit yang singgah di telinga.

“awaaaassss, anakmuuuuu di depan mobiiiilll…” sebuah teriakan keras bercampur bunyi angin terdengar berulangkali dari ujung jalan.

 Mereka berempat bergegas ke depan mobil. Mereka melihat fahri terbaring menutup mata di sisi kanan jalan, rambutnya yang ikal bermain-main dengan angin. Di kepalanya terlihat luka kecil, berdarah.
Seketika angin yang tadi bertiup dengan kencang, perlahan melambat dan terasa asin. Isak tangis mereka memecah suasana. Suara pecah melewati setiap lubang-lubang yang ada di bata merah. Angin berhenti bertiup. Terik matahari berubah sangat dingin. 

Para pengrajin yang lainnya berdatangan untuk melihat bocah lucu yang telah menutup mata sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Dia seperti tertidur dan bermimpi bermain mobil-mobilan. Seutas senyum pucat lekat diwajahnya. Lama sekali dia dipeluk ayahnya.

                   + + + + + + + + + +

Aku baru sadar, apa makna pertanyaannya kepadaku 2 minggu yang lalu. Dia anak yang selalu ceria, ramah, dan manis sekali. Dia yang baru berumur 3 tahun mengingatkan aku, ke mana aku akan pergi nanti nya. Mataku yang mengingat sketsa wajahnya seketika berkaca-kaca. Terimah kasih ya, adek fahri yang manis. Mungkin engkau tahu cerita ini untukmu. Dan kita akan bercanda kembali, aku akan ikut berlari sepertimu. Berlari keluar rumah dan memanjat jendela ruang tamu kemudian tertawa lepas. Kemudian berlari lagi. Kemudian berlari lagi dan berlari lagi.

Jambi, 22 oktober 2013



4 comments:

Kang Harjho 35 at: 24 Oktober 2013 pukul 06.05 mengatakan...

Cerita yang sangat menyentuh... begitulah kehidupan, selamanya akan tetap jadi rahasia Allah,, hanya hikmah yang dapat kita ambil...

habibi daeng at: 25 Oktober 2013 pukul 12.55 mengatakan...

mas Jhoe, bener banget mas. selalu ada hikmah yang bisa kita ambil disetiap kejadian. keep hamasah ^_^

Unknown at: 20 November 2013 pukul 17.42 mengatakan...

mengharu biru membacanya hiks hiks. ceritanya bagus mas daeng.

habibi daeng at: 23 November 2013 pukul 15.28 mengatakan...

Tri Susanti, Terima kasih ya mba udah mau baca cerpen saya :)