Sahabat sekalian berikut ini adalah penggalan kisah keseharianku sebagai takmir Masjid sejak SMA sampai dengan sekarang. kisah konyol, terharu, sedih, mencekam, takut, dan sebagainya. bagaimana kehidupan seorang takmir (penjaga) Masjid.
Background pendidikan ku hanyalah sekolah umum menengah atas (SMA), namun hampir setiap orang yang baru kenal dengan ku mengira bahwa aku tamatan pondok. mungkin karena aku mempunyai cukup banyak kawan dan kenalan yang menuntut ilmu di pondok pesantren. apalagi semenjak menginjak kelas 1 SMA waktuku banyak habis di lingkungan sebuah masjid besar di kecamatan. namun tentunya waktu itu waktu sekolah ya di sekolah, dan waktu tidur ya di rumah.
hal ini berawal dari kedekatan ku dengan seorang Imam masjid tersebut. Pak Wo, begitu orang-orang memanggil pak imam tersebut. dia adalah seorang pandai besi, sehari-harinya menempa besi yang membara yang kemudian di bentuk menjadi berbagai macam bentuk peralatan pertanian. hanya istirahat, waktu shalat, dan jika ada undangan ke sebuah hajatan, bengkel pandai besinya ditinggalkan. dengan seringgnya aku bermain dirumahnya, memperhatikan dia ketika bekerja, menikmati bunyi palu besi yang mungkin lebih dari 5 kilo gram membentur dasar besi yang merah membara, sambil menemani dia sebagai lawan berbicara, maka tanpa terasa hal itu berlanjut setiap hari.
jika sore menjelang magrib dia sudah bersiap-siap, dengan baju lengan panjang motif batik yang sudah pudar kesukaannya, dia menuju mesjid yang tepat berada disamping rumahnya. dia menghidupkan Tip (tape) maka mengalunlah dengan indah suara Muammar Z.A melantunkan ayat demi ayat suci Al Qur'an. kemudian dia dengan cekatan menyapu halaman masjid yang cukup luas. hampir setiap gerakannya aku perhatikan. dan dia tahu akan hal itu. akhirnya pada suatu sore menjelang magrib selepas menyalakan Tip, dia menghampiriku.
"Rajin lah kau datang ke masjid, Bi"
"Yo, pak Wo. Dak Katek gawe jugo di rumah"
"mau dak kau bersih-besih di masjid nih?. kagek adolah duit dikasih samo H. Ambo setiap lepas jum'atan"
"bolehlah, pak Wo"
"kalu PLNnyo mati, pacaklah kau hidupkan mesin di belakang tuh dak?"
"Insya Allah, pak wo. . ." aku meyeringai dan tersenyum.
semenjak itulah "karir" ku sebagai takmir masjid dimulai. menyapu halaman masjid yang luas, mengepel jejak-jeak kaki anak-anak yang bermain di masjid selepas main bola atau maen petak umpet di kolong sekolah dasar, membersihkan kotoran cicak yang sangat rajin menyetorkan kotorannya beramai-ramai, sampai mengecet pagar masjid setiap menjelang idul fitri.
beberapa bulan pertama hanya kegiatan itu yang rutin aku lakukan. setiap masuk waktu sebenarnya aku diminta untuk azan. namun di saat itu gemetaran dilututku masih terlalu hebat bahkan sebelum berdiri di depan sebuah mikrofon. apabila pak Wo meminta ku untuk azan, aku hanya menjawab dengan pelan "suaraku masih serak", sebuah jawaban klasik yang pasti dia tau bahwa aku takut. dan memang bener, setiap jawaban itu aku keluarkan, maka senyumnya akan bertebaran ke arahku, aku faham. maksudnya adalah "Aih, dak jantan kau, Bi." setelah senyum itu lengkap dengan maknanya berhamburan dan dia memalingkan tubuh, maka saat itulah kemerdekaan datang dan gemetaran di lututku mulai pergi. huft. . .
jika hari ini adalah hari kamis, maka pada saat selepas shalat isya aku mulai menebar tikar sajadah yang panjang satu persatu sampai memenuhi semua lantai masjid. memindahkan tabir penghalang shaf wanita dan lelaki ke luar mesjid, dan mengatur setiap kotak celengan di tiap-tiap titik yang tekah ditentukan. menyiapkan baju jubah khusus untuk Khatib dan Imam dan terakhir memeriksa air bak wudhu, kalau kalau sudah kosong.
pernah suatu ketika bak wudhunya kosong, sedangkan PLNnya mati. maka pak wo meminta aku untuk menghidupkan mesin lampu di belakang. ternyata benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang, maksudnya disini tak kenal dengan sifat mesinnya maka tidak bisa menghidupkannya. sebelumnya hanya terlintas di fikiran saya jika mau menghidupkannya cukup langsung diengkol saja. ternyata aku salah. mesinnya cukup besar dengan merek Jiandong, sangat keras pada engkolan pertama karena roda gendang dibelakangnya cukup besar, apalagi bila tidak tahu bahwa ada tuas seperti kopling yang harus di tekan untuk mempermudah mengengkol mesin. dan lagi, mesin ini sudah cukup tua, sehingga, tidak tau juga bagaimana asalnya, dia juga harus dipancing dengan air selain harus ada minyak solarnya. setelah hampir sepuluh kali aku engkol barulah ruangan bergetar hebat pertanda mesin sudah menyala. benar-benar menguras tenaga pada awalnya.
selepas shalat jum'at dengan cekatan aku mengumpulkan kotak-kotak celengan di suatu titik. membuka setiap gemboknya, dan mengumpulkan gunungan uang, yang lebih banyak recehan daripada yang keratas, menjadi satu. menyortirnya, maksud ku memilah-milahnya berdasarkan nilainya, baru kemudian menghitung berapa banyak uang celengan jum'at pada hari ini. setelah semua hal itu ku lakukan, barulah pak H. Ambo menuliskan dalam pembukuan kas masjid. dan masa-masa yang laing aku tunggu adalah ketika pak H. Ambo akan pulang ke rumah, karena pada saat itu dia pasti memberikan uang kepada saya, upah satu minggu sebagai takmir, hehe. tidak banyak yang dia kasih. hanya Rp. 10.000 samoai denga Rp. 15.000. namun untuk ku itu sudah cukup memenuhi uang jajan ku selama seminggu. karena aku adalah anak yang tidak begitu suka jajan san jajan sini dikala itu. menggulung tikar sajadah yang panjang menjadi terasa lebih enteng ku rasakan sampai keadaan masjid kembali seperti semula, hanya tiga shaf di tempat laki-laki yang tetap ku pasangkan sajadah panjang, dan 4 shaf ditempat wanita. aku pulang dengan melenggang ke rumah. . .
To Be Continued. . . .
catatan:
- Dak Katek gawe: logat Nipah Panjang yang berarti tidak punya kerja
- kagek: nanti
- Kalu: kalau (logat palembang, karena pak Wo adalah orang palembang)
- pacaklah: bisa lah (logat palembang)
0 comments:
Posting Komentar