BAB 11. BALAPAN SENYUM
Udara malam menembus dinding kamar Wazna. Dingin. Padahal siang hari tadi matahari sangat terik. Panasnya sampai membuat bola mata terasa hangat. Tak cukup delapan gelas air minum sehari. Air galon yang biasanya cukup 3 hari tiga hari lebih untuk 5 orang, kini tinggal separuh dalam satu hari. Malamnya justru dingin.
Wazna meraih tumpukan surat Hamdi. Sebuah guling panjang menyangga dada. Dia membaca dengan badan ditelungkupkan di atas kasur motif bunga berwarna jingga muda. Serasi denganwarna baju kaos yang dikenakan, yang sudah mulai kekecilan.
Kepada
Yang membawa cahaya,
Nurul Sayyidah.
Aku masih ingat pertama kali berjumpa dengan dirimu. Waktu itu aku sedang melalui sebuah jalan yang kebetulan terendam banjir setinggi betis. Hilir mudik kendaran roda dua saling mendahului ditengah jalan yang tenggelam dengan naiknya air sungai, membuat aku menepi sejenak, memberikan jalan kepada pengendara roda doa, agar pakaianku tak basah.
Diantara pengendara roda dua, aku mengenal seorang teman yang kebetulan berkenalan selepas shalat zuhur di masjid besar. Rahim. Begitu dia memperkenalkan namanya. Kami sering berjumpa di sana dan menjadi akrab. Hari itu aku melihatmu dibonceng olehnya. Wajah mu selalu menunduk sembari menjaga air tidak memerciki pakaian putih yang dirimu kenakan.
Saat itu juga sebenarnya sering dipertanyakan apakah aku laki-laki normal atu malah bencong. Karena sampai begitu lama tak satu pun nama gadis yang menjadi pujaan hati. Hingga suatu ketika aku ditantang dalam kurun waktu satu bulan, aku harus menyetorkan nama kepada rekan yang lainnya. Tentu aku tak mau labeli bencong, yang tidak punya selera kepada gadis.
Keras ku berfikir bagaimana caranya agar hal itu tidak terjadi. Ditengah lamunan aku teringat dirimu yang dibonceng oleh Rahim tempo hari. Hari itu sudah ku niatkan untuk bertemu kembali dengan Rahim di Pasar. Mujurnya memang dia datang ke pasar.
“Rahim, yang dirimu bonceng tempo hari, saat banjir, itu siapa? ”
“Itu adik ku yang baru pulang dari asrama putri”
“Oh, boleh aku ijin sesuatu? ”
“Apa tuh? "
”Boleh tidak aku kenalan dengan adikmu itu?“
”Untuk apa? “
”Ya kali kita bisa tambah sering bertemu jika aku kenal juga dengan adikmu“
”Datang aja ke rumah, bro“
Begitu kira-kira awal aku mendekat ke keluargamu. Namun, tujuan belum sampai. Ternyata temanku tinggal bersebelahan denganmu. Aku ceritakan pasal Rahim dan dirimu. Dia langsung faham sambil tersenyum simpul. Aku pun meminta bantuannya untuk menjembatani kalimat ku kepadamu. Sebuah salam perkenalan. Lima hari berselang, dia mengabarkan bahwa salamku disambut baik dan aku diperbolehkan untuk datang bertamu.
Malam minggu pertama setelah itu, aku benar-benar datang ke rumah orang tuamu. Nekat sekali. Datang hanya berjalan kaki, meski harus menempuh berkilo-kilo jaraknya. Sungguh tidaklah mudah. Letih kaki aku abaikan. Langkah kaki ku kuatkan. Aku sampai dan disambut oleh Ibu. Disitu aku tahu bahwa Ibu hanya Ibu sambung. Ibu sebenarnya sudah berpulang.
Gemetaran kaki ini saat ku paksa melangkah masuk ke ruang tamu. Aku tetap masuk. Hampir setengah jam aku diwawancarai oleh Ibu. Setelah itu, pamanku melanjutkan menanyai ku hingga setengah jam pula. Baru selesai 5 menit tetangga dirimu pun datang silih ganti menanyakan asal usul ku dan tinggal di mana. Mereka bahkan tak percaya aku berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya hanya untuk bertemu dirimu. Kacaunya aku tak bertemu dengan Rahim, kakakmu.
Pukul 9.30 malam. Mereka baru selesai menghadang dengan ratusan pertanyaan. Aku seperti di sidang di meja hijau, tiada hakim, tiada tim pembela. Semuanya menjadi penuntut umum. Setelah dua jam setengah bertarung dengan pertanyaan. Ibu pun tersenyum. Tetanggamu yang super kepo pun pulang.
”Nak, silahkan ke ruang sebelah. Di sana sudah duduk adikmu menunggu“
”Baik, terimakasih, Bu“ aku pun beranjak ke ruang tamu di sebelah. Tak ada orang di sana. Hanya kursi jati yang kosong. Aku duduk saja. Barangkali dirimu akan muncul bersama ibu.
Lima menit kemudian, dirimu muncul. Sekejab saja ruangan penuh dengan bau harum. Aku ingin tertawa namun ku tahan. Dirimu seperti kedinginan karena mengenakan jaket berwarna merah jambu. Atau sebenarnya dirimu sedang sakit? Atau dirimu bersiap aku ajak jalan-jalan malam minggu? Ku tepis semua itu. Apalagi anggapan ingin diajak jalan malam minggu. Pakai apa? Berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya? Pada waktu hampir jam 10 malam? Tidak mungkin.
Tak banyak yang kita obrolin. Aku hanya memandangi wajahmu yang selalu tersenyum. Sesekali pandangan kita bertemu. Getaran aneh pun menjalar dari sampai ke ujung kepala.
”Dek“
”Iya, Kak“
”kakak ingin mendengar secara langsung jawaban yang kemarin dititipkan melalui Sari. Bolehkah diulang kembali? “
”Jawabannya Iya, Kak. Jawabnya Iya“ Jawabmu sambil tersipu malu menutup mata dengan jemari.
”Jadi, malam ini kita jadian? “
”Iya Kak“ jemarimu kali ini menutup mulut
Setengah jam bersamamu, duduk berhadapan jarak dua meteran, hanya itu yang kita obrolkan. Selebihnya hanya saling pandang dan balapan senyum kemudian sama-sama malu. Jalan pulang yang jauh berkilo-kilo terasa ringan ditempuh dalam sekejap waktu.
Itu kali pertama bertemu denganmu kemudian kita berpisah jarak karena dirimu harus kembali ke asrama hingga enam bulan kemudian barulah dapat waktu pulang sepekan kembali. Kita hanya bisa saling berbagi cerita setiap hari jum'at, waktu bebas untukmu seharian bisa memegang hape.
Beberapa bulan kemudian, aku memberanikan diri untuk datang ke asrama. Sekantong besar berbagai jenis buah-buahan dan kue manis aku bawakan. Tentu saja aku tetap ikut aturan. Ketemui ketua yayasan dan ketua pengurus asrama. Kembali aku dihadapkan ratusan pertanyaan. Namun akhirnya aku diperbolehkan ke asrama putri. Jarang sekali seorang pemuda diijinkan masuk ke asrama putri.
Dengan rasa gembira aku menuju asrama. Baru kali ini aku merasa dipandangi semua orang dari atas hingga bawah hingga ujung rambut. Lama ku menunggu di bawah pohon hingga seorang gadis menghampiri. Ku tanyakan perihal dirimu. Mereka berkata dirimu butuh istirahat, karena sakit, sehingga harus pulang. Aku sedih. Sedih karena tak dapat bertemu sedih pula karena mengetahui dirimu sakit. Buah tangan yang ku bawa untukmu aku berikan kepada gadis tadi, agar dibagikan kepada temanmu yang lainnya.
Saat hari raya, aku kembali melangkah berkilo-kilo, ke rumahmu. Ibu, paman, dan tetanggamu sudah kenal baik dengan ku. Tak ada lagi pertanyaan awalan. Ibu langsung menyuruhku kembali ke ruang tamu sebelah. Aku cukup kaget karena di sana juga duduk seorang pemuda.
”Kenalin, nama ku Farid“ katanya sambil menjabat tanganku kuat sekali.
Dirimu pun sudah ada lebih dahulu duduk di sana. Di tempat pertama kali aku melihatmu tersenyum manis. Entah mengapa manis itu tak ku lihat. Tak ada lagi balapan senyum. Farid sibuk menjadikan curriculum vitae-nya kepadaku. Intinya yang ku faham adalah, dia adalah sainganku saat ini bahkan dia meyakinkan diri bahwa dialah pemenangnya. Dia calon penerima beasiswa ke luar negeri. Aku kalah satu angka dengannya.
Aku pulang dengan lesu. Gembira sedikit karena dirimu telah terlihat sehat. Tak menghawatirkan lagi. Jalanan pun memanjang seolah ku berjalan seharian penuh. Letih kaki, letih fikir, letih hati.
Malam itu dirimu menyapaku dengan pesan teks.
”Kak, Farid besok mau berangkat ke luar negeri. Dia pemuda yang hebat ya“
”Iya, dia lebih hebat dari ku“ jawabku polos.
Farid benar-benar berangkat. Aku pun berangkat ke luar kota. Banyak kabar tak sedap di telinga yang sampai kepadaku. Hingga akhirnya dirimu sendiri yang menyampaikan.
”Kak, Nurul habis di marahin ibu“
”Kok bisa? “
”Kata ibu, adek menghianati kakak“
”loh? Emang ada apa? “
”adek hampir tiap malam dijemput cowok, pulang jam satu“
”Waduh, ngapain“
”adek kesepian kak“
”Ngapain aja kalo keluar sama cowok itu, kok sampai jam satu? “
”ada deh“
Kepalaku berat seketika. Ubun-ubun mulai berasap. Tangan ku kepal sangat kuat hingga gemetaran.
”Kapan terakhir kali keluar rumah sama cowok brengsek itu? “
”lima belas menit yang lalu“
Dduuuaarrr bunyi pintu kamar yang terbuat dari triplek berbunyi keras ku hantam dengan tinju. Pintunya rusak, tanganku mengalir darah. Ku lihat jam dinding, pukul 1 lewat 20 menit dini hari.
Tak ku hirau lagi dering hape. Itu darimu. Tiba-tiba aku sepakat dengan ibu. Dirimu telah berkhianat. Berkhianat kepadaku dan kepada cahaya yang dirimu bawa.
Aku sangat kecewa. Ku tulis secarik surat kepada Farid di luar negeri. Ku ceritakan semua kekesalan dan kekecewaan ku. Aku bahkan mencuci otaknya agar tak lagi kembali kepadamu. Sungguh suatu yang ironis. Bagiku, jika pada akhirnya Farid yang memenangkan hatimu, itu tak masalah. Dia pemuda yang baik, berpendidikan, dan punya visi hidup yang jelas. Aku justru tak rela cahaya itu dikikis habis oleh berandalan jalanan.
Setahun lamanya aku tak menghubungimu, demikian pula dirimu. Aku benam jauh kedalam tanah harapan yang ada. Setelah semuanya. Dan aku telah mencapmu sebagai penghianat kuadrat. Tapi tiba-tiba saja dirimu menyapa kembali.
”Kak, apa kabarnya? Ini Nurul. Kakak masih marah denganku? “
”Masih“ jawabku ketus
”Wajar sih kakak marah, adek juga kelewatan batas“
Aku hanya diam. Sangat malas menanggapi. Takut kembali emosi.
”Kak, adek dilamar seseorang? “
”Farid? “
”Bukan. Dia juga tak kunjung datang. Kabar pun tak ada“
Aku tiba-tiba ingat pernah bersurat kepada Farid dan memintanya untuk tak datang lagi karena perilaku dirimu yang berubah sangat jauh.
”Terus siapa? “
”Seorang pemuda dari provinsi sebelah. Usianya jauh lebih tua dari kalian berdua“
”Baguslah kalau begitu, setidaknya dirimu tidak akan keliaran lagi tengah malam“
Dirimu tertawa kecil sama seperti pertama kali kita bertemu.
”Kak“
”Apalagi, Nurul? “ jawabku dengan nada lebih tinggi.
”Kak, adek mohon ijin menerima lamarannya dan mohon doa restu kakak“
”loh, kenapa minta ijin segala, bahkan minta restu kepadaku“
”Ibu yang nyuruh, adek pikir juga sama seperti ibu. Juga karena kita belum memutuskan hubungan sama sekali hingga sekarang“
”jadi sekarang putusnya? “ tanyaku santai.
”Tidak juga. Adek hanya minta ijin menerima lamaran dan restu. Bukan minta putus hubungan“
”Ya sudah. Tapi aku tak ingin mengganggu istri orang nantinya“
Aku tutup telpon. Orang yang kurang waras mana yang sudah siap menikah, bahkan dia sendiri yang meminta ijin, dan tak mau memutuskan hubungan? Panas kepalaku berdenyut. Label penghianat masih terpampang di jidatmu. Sayang sekali wajah yang ayu harus berlabel. Setelah itu aku menghindari setiap panggilan darimu, hingga ku bisa berlalu jauh.
Sekarang aku sakit. Aku merasa jatah waktu ku di dunia tinggal sedikit. Aku tak ingin dijemput dalam keadaan masih marah kepadamu. Sampai menyebutmu penghianat, meski dirimu menerima disebut demikian. Mohon maafkan segala salahku. Mohon maaf juga karena membiarkanmu kesepian hingga sembarang menerima tamu. Mohon maaf karena telah memprovokasi Farid untuk menjauhimu. Sekali lagi maafkan semua salah dan kekurangan ku.
Dari kakakmu, partner balapan senyum.
Tak kuasa Wazna menahan air mata. Emosinya juga bergejolak, seperti mengaduk air mendidih diatas bara api. Panas bola matanya dialiri buliran jernih dan asin itu. Dia bahkan sesegukan. Terdengar ketukan pintu kamar.
”Wazna, ada apa? Suaramu nangis sesegukan terdengar dari luar kamar“ ucap Nazra Diyah di depan pintu kamar.
”Tidak ada apa-apa, lagi baca naskah. Cocok buat pentas seni di sekolah“
”Oo kirain ada apa. Ya sudah“ Diyah pun berlalu.
Disentuhnya mata yang masih basah. Ada rasa kesal dalam hatinya. Tumpukan surat diatas bantal masih banyak. Sungguh berat kisah Pak Hamdi, ucapnya dalam hati. Malam semakin larut. Tapi kertas yang belum terbaca masih banyak sekali.
Komentar