BAB 14. AJARKAN AKU
Bola mata Wazna masih terasa panas karena terlalu banyak menangis. Kipas angin yang berputar di atasnya, menghantar angin dingin, belum mampu mendinginkannya. Mestinya, jika dia tahu, sedari awal menyiapkan jelly dingin. Tapi bukan Wazna namanya jika masih meninggalkan cerita yang telah ada diatas kertas.
Kepada
Putri Komala Sari,
Gadis cantik yang pendiam.
Mungkin sudah jalan takdir untuk bertemu dengan dirimu. Aku yang awalnya ingin mengawali karir sebagai pengusaha, dengan berat hati merubah rencana menjadi seorang guru honorer, dengan suatu alasan khusus. Aku fikir menjadi pengusaha juga bisa meski aku menjadi guru.
Saat itu dirimu duduk di kelas 1 SMK. Aku yang baru satu hari masuk di dalam kelas sempat merasakan frustasi. Ternyata sangat susah mengelola 25 kepala dalam satu ruangan. Stress juga. Namun, aku sudah pernah lebih stress, aku pun mulai terbiasa.
Dirimu duduk di bangku deretan kedua dari depan. Dari awal mengajar hanya dirimu yang selalu diam. Yang lainnya tetap bersuara bahkan sambil berdendang ria. Tak mengapa. Aku juga pernah duduk di bangku sekolah, diantara teman-teman yang vokal dan hyper active.
Namun, guru tetaplah harus menjadi guru dan pendidik. Semua rencana pembelajaran harus tuntas. Setiap akhir kelas sengaja ku berikan tugas. Mengejar ketertinggalan yang sudah cukup jauh. Teman-teman mu yang aktif bisa langsung menyelesaikan tanpa pulang ke rumah. Dirimu? Dirimu yang pendiam hanya menatapku dan sesekali menatap barisan soal yang ku tulis.
Seminggu berlalu, tentu sudah ada PR yang harus disetor. Unik bin ajaib jawaban semua soal yang dirimu tulis adalah sama: "Ajarkan Aku“. Sejak itulah aku mulai melebihkan perhatian kepada dirimu yang pendiam tak mau bertanya.
Di minggu kedua, entah dari mana dirimu dapatkan nomor hapeku. Sungguh berbeda. Dengan hape justru dirimu yang pendiam berubah seperti seorang extrovert, ramai. Setiap ada soalan, meski tau aku masih duduk di ruang guru, dirimu sudah mengirim pesan yang sama, "Ajarkan Aku". Dengan naluri sebagai guru aku berusaha menjelaskan sesederhana mungkin. Itu berlangsung lama hingga beberapa bulan.
Mungkin karena terlalu sering berkirim pesan dirimu pun berani membicarakan yang lain.
”Kak, Jadikan aku pacarmu agar bisa aku belajar tiap hari denganmu“ aku cukup kaget membaca pesanmu itu. Aku teringat beberapa waktu yang lalu ada juga yang berkata dengan nada yang sama.
”tapi Puput masih kecil, masih kelas 1 SMA“
”emang kenapa kalau masih kelas 1? Kakak ga doyan perempuan kah? “
Dikasih pertanyaan yang juga menantang itu suatu hal yang salah tempat bagiku. Tapi aku masih tak ingin membuat sejarah. Aku berfikir keras untuk menemukan alasan yang mustahil bisa dirimu penuhi.
”Oke. Jadi begini. Aku tak ingin memacari gadis yang masih belum punya KTP. Namun, karena alasanmu supaya bisa lebih sering belajar, aku buat pengecualian. Jika dirimu berani meminta ijin akan hal itu di depan orang tuamu, dan ada aku sebagai saksi, aku jadikan dirimu pacarku“
Dalam hati aku tertawa. Mustahil syarat dariku ini bisa dipenuhi. Orang tua mana yang membolehkan anaknya yang masih kecil pacaran. Dengan guru honorer pula yang belum jelas nasibnya. Aku lihat raut wajahmu yang putih, dengan mata yang yang lebih sempit dari kebanyakan teman-teman mu yang lain. Rambut hitam panjang sepundak memakai bando hijau. Dan dirimu tersenyum lebar mendengar syarat dariku. Entah apa yang ada di benakmu saat itu.
Pada malam minggu berikutnya, dirimu mengundang ku ke rumah. Makan malam di rumah saja pintamu. Aku pun tanpa bertanya kenapa menurut saja. Taksi pun melaju kencang menuju perumahan elit di kampung baru. Mengantarkan aku ke rumah besar bertingkat. Pagar yang tinggi pun terbuka. Aku melangkah seperti masuk ke istana.
”Ayah, ini guru adek di sekolah“ ucapmu kepada orang tua. Terlihat juga ibu duduk disebelah ayah yang mengenakan kaos putih polos dan sarung yang digulung selutut. Ayahmu memandangi ku lama dengan matanya yang lembut.
”Siapa nama mu, Nak? Tanya ayahmu
“Hamdi, Pak De”
“Sudah lama mengajar di sekolah Puput? ”
“Belum genap setahun, Pak De”
“Sudah lulus CPNS? ”
“Belum, Pak De” aku sedikit gemetaran menjawab pertanyaan ini. Ayahmu mengangguk sambil melirik kepada Ibumu.
Ayahmu berdiri dari sofa meninggalkan Ibu yang masih menemanimu. Tiba-tiba dirimu memecah suasana dengan pertanyaan badai.
“Ayah, bolehkah adek pacaran? ” aku tersentak mendengar dirimu bertanya blak-blakan kepada orang tuamu. Ayahmu yang tadinya hendak melakukan sesuatu dengan cepat membalikkan badan. Kini sepasang matanya berubah garang. Tubuhnya yang gemuk tiba-tiba seperti baru saja berlari jarak jauh.
“Pertanyaan macam apa itu, dek? Bukankah adek faham dan sudah sering merasakan ayah pukul jika jalan bersama anak laki-laki? Apalagi pacaran” jemari ayahmu berayun ke arah kepalamu, dengan sigap dan penuh harap ibu menghalau. Dirimu tak berhenti berucap.
“Tapi, Ayah. . . ”
“Tidak ada tapi tapian” bentak ayah yang berubah bermuka garang.
“Tapi, Ayah. Adek ijin pacarannya sama guru adek ini” matamu yang kecil seketika berair.
Sungguh aneh. Ayahmu berhenti marah. Bahkan matanya kembali lembut menatapku dalam-dalam.
“Nak Hamdi, bisa kah Ayah titip Si Adek kepadamu? Dia masih sangat muda, mudah terbawa arus angin. Baru kali ini aku menyetujui permintaan nyeleneh Si Adek. Tapi aku melihatmu aku ntah mengapa aku bisa setuju” ayahmu kembali duduk, sekarang justru disampingku.
“Bisa, Pak” Jawabku yang sekarang mulai bingung. Bingung karena sangat jauh dari rencana semula. Aku pun menatap wajahmu yang tersenyum sumringah kepadaku sambil berkata "Sudah ku penuhi syarat dari mu, Kak. Sekarang sudah bisa kan? “ aku hanya mengangguk bingung. Ibu yang melihatku bingung mengajakku ke meja makan untuk makan malam. Dan hanya berdua dengan dirimu. Ayah dan Ibu bilang akan makan setelah kita makan. Aku sungguh merasa tak enak. Namun mereka bersikeras.
Sejak itulah rutin sabtu dan minggu aku selalu ada di rumahmu yang besar. Tentu saja aku membawa buku teks pelajaran sekolah. Minggu pertama dirimu memang benar-benar belajar. Minggu kedua dan selanjutnya sudah mulai berkurang hingga akhirnya belajar di rumah pun tiada lagi karena dirimu sudah bisa mengimbangi teman-teman mu di kelas.
Pembawaan mu yang awalnya pendiam dan cuek berubah manja kepadaku. Tak bisa ku menghindar. Aku pun jatuh hati kepadamu. Kini guru dan murid hanya di sekolah. Selain waktu itu kita adalah sepasang kekasih. Aku senang karena bisa melupakan kesedihan lamaku yang telah berkarat hampir tak ada obat. Sungguh ku berterima kasih. Aku hanya sedikit khawatir kepada ayah dan ibumu yang selalu meninggalkan kita berdua dari pagi hingga petang. Bahkan pernah membujuk ku agar menginap di rumahmu saat malam hujan deras disertai petir yang kuat. Semua itu membuatku harus berjuang mengkondisikan pikiran-pikiran aneh dengan selalu mengingat pesan ayahmu ”Ayah titip Si Adek ya kepadamu, Nak“ pesan ayahmu malam itu. Ternyata pesan itu cukup ampuh memagari ku dari tergelincir ke dalam jurang.
Tiga bulan berlalu setelah ayahmu mengizinkan, seluruh penghuni SMK telah tau kita jadian. Meski di sekolah kita menjaga jarak. Guru-guru hanya geleng-geleng kepada sambil menepuk pundakku. Kalimat sama dari mereka ”Dia masih anak kecil“ selalu ku jawab ”Orang tuanya membolehkan“ dan mereka pun diam.
Kita pun sering jalan berdua di sore hari di akhir pekan. Karena dasarnya dirimu pendiam, tak suka berlama-lama diluar. Selalu minta segera pulang ke rumah saja. Menemanimu sepanjang waktu di akhir pekan menonton film favorit mu. Padahal bisa saja kita menonton di bioskop, jika dirimu mau.
Bulan ke empat, setelah ijin dari ayah. Dirimu kembali melontarkan permintaan yang membuat badai alam fikirku.
”Kak, bisakah kita seperti yang lainnya? “
”Maksudnya seperti yang lainnya bagaimana? “
”temanku juga banyak yang pacaran tapi bisa melakukan itu“
”itu apa, Dek? “ jawabku pura-pura bego
”masa iya kakak tidak kepingin? “
”kepingin apa? “
”seperti temen adek yang lainnya. Ajarkan aku menjadi lebih dewasa“ jujur aku gemeteran mendengarmu yang masih belia berkata seperti itu.
”Apakah aku bisa segera menjadi dewasa? “ ucapku kembali
Aku menghela nafas yang panjang dan dalam. Aku bertarung dengan diriku sendiri. Pertarungan sungguh berat melawan diri sendiri.
”Adek, kakak sungguh menyayangimu. Namun, ayah berpesan untuk menjagamu. Kakak tak tega menghianati ayahmu yang benar-benar tulus memberikan ijin.“
”Kakak itu tidak normal, cowok aneh. Ya sudah jika tidak mau mengajari adek menjadi lebih dewasa. Ini malam terakhir kita berbincang. Adek bisa belajar dewasa dengan yang lainnya nanti“
Kepalaku seperti dipukul dengan gada yang besar. Berdenyut sakit. Aku kini menjadi takut. Takut jika dirimu benar-benar nekat dengan orang lain. Aku pun pulang dengan penuh rasa khawatir.
Beberapa tahun berlalu aku mendapat kabar dari pemuka masyarakat di sekitar rumahmu bahwa ayahmu telah berpulang karena kecelakaan tragis pada saat pulang dari luar kota. Ingin sekali aku datang menyampaikan belasungkawa, namun pada saat yang bersamaan aku pun berada di luar kota, ikut tes CPNS. Alangkah sedihnya aku, tak dapat mengantar ayahmu yang baik ke peristirahatannya yang terakhir. Bertambah lagi ketika aku tak lulus yang kedua kalinya.
Di perantauan yang jauh kini aku terbaring sakit menunggu giliran. Aku merasa akan segera menyusul ayahmu di kampung sana. Akan aku sampaikan nanti kepadanya bahwa aku telah menjalankan amanahnya dengan baik hingga hari terakhir bersama mu. Namun, aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Sebelum aku bertemu dengan ayahmu di alam sana, aku memohon maaf dengan dirimu dek. Maafkan karena aku tak memberikan bimbingan yang baik. Maafkan aku karena tidak memenuhi pengharapan dan permintaanmu. Padahal, masih ada jalan supaya permintaan itu terlaksana, tapi dengan cara yang benar. Maafkan aku.
Dari Kakak mu, yang dirimu pilih didepan kedua orang tuamu.
Bertambah sembablah mata Wazna. Kini hidungnya pun sudah mulai berair. Mata berat dan panas. Hidung berair meleleh. Dada sesak dan pengap. Lengkap sudah. ”Seberapa kuat sebenarnya dinding hatimu, Pak? Ditengah berjuta sedih dan kecewa, Bapak tetap teguh menjaga amanah, meski semuanya ada di depan mata. Aku jadi iri kepadamu, Pak. Juga iri kepada semua wanita yang Bapak tuliskan surat. Adakah tersisa lelaki seperti mu lagi? " Ucap Wazna sambil terus meneteskan air mata.
Komentar