BAB 13. WITHOUT YOU, IT AIN'T FUN
Baru satu surat yang Narina baca, dia merasa cukup stress, bersedih bercampur gregetan sama Hamdi. Bagaimana tidak, meski bertahun-tahun berselang, sepertinya Tuhan tetap memberikan jalan. Namun, justru Hamdi yang tak mengambil jalan yang telah tersedia. Tak bisa disalahkan juga sih karena jalan itu baru muncul setelah lima tahun lebih. Waktu yang cukup lama.
Fikiran yang lelah membuat badan Narina ikut lelah. Di jatuhkannya tubuh di atas kasur, tangan dan kaki dibentang terbuka. Mata menatap langit-langit, tapi fikirannya benar-benar menjelajah langit di luar sana, mencoba mencari sejauh mana sebenarnya relung hati Hamdi yang penuh bintang-bintang kisah, seberapa banyak mateor yang menghantam. Seberapa kuat bintangnya berada tetap pada orbit aslinya. Atau Justru bintangnya sudah menjadi raksasa merah yang akan meledak berhamburan ke segala arah, yang kemudian hanya mengisahkan bagian yang kecil menjadi katai putih, yang pada akhirnya sampai pada titik terakhir, katai hitam dan menghilang dari pandangan selamanya? Sungguh masih misteri.
Narina kembali bangkit meraih lembaran surat selanjutnya. Sebelum itu dia menghimpun sebanyak mungkin udara agar tak sesak mengikuti alur perjalanan yang menghabiskan oksigen.
Kepada
Gadis ayu permata nan indah,
Pengusaha sukses,
Nuriyani.
Sungguh suatu hal yang tidak direncanakan karena memang kita tak pernah bertemu sebelumnya. Kita dipertemukan pada acara training tiga hari untuk calon pengusaha sukses yang diadakan oleh motivator ternama di negeri ini. Aku yang baru beberapa hari melihat suasana kehidupan kota yang banyak memiliki gedung tinggi mendaki langit, sangat minim pengetahuan. Itu pula yang membuat ku harus segera punya teman yang bisa diajak bertukar informasi.
Kegelisahan ku yang hanya mematung di tengah lobby hotel ternyata mendapat perhatian seorang gadis. Gadis berkulit putih bersih, bermata bulat terang, dengan alis tebal serupa semut hitam yang saling berhimpitan, bibir tipis berwana daging jambu biji yang telah matang, rambut ikal panjang sepundak. Tiba-tiba saja dia menumburkan badannya, yang hanya sebatas daun telingaku, dari belakang. Membuat tas ranselku terlepas ke lantai. Meski wajahnya cantik namun pembawaannya lebih seperti laki-laki. Tidak gemulai seperti gadis kebanyakan.
Dia tertawa dan berkata kalau aku seperti orang udik yang belum pernah ke kota, berdiri di Lobby hotel bingung seperti tersesat. Dia kemudian menganggap ku sahabatnya. Kebetulan juga dia ikut seminar tiga hari. Aku lega. Ada orang yang bisa diajak bertukar informasi. Sahabat pertama.
Hari pertama mengikuti sesi training, tak di sangka aku duduk bersebelahan dengan dirimu. Hanya dipisahkan jalan di tengah seukuran satu depa orang dewasa. Sedangkan si gadis putih rambut kriwil duduk di bangku persis dibelakangku. Padat materi yang disampaikan tatitu naninu wawiwu segala macam persiapan sebagai pengusaha muda. Tak lupa setiap tiga puluh menit sekali ada sesi ice breaking.
Dirimu selalu tertawa renyah dengan nada asyik dan lucu. Bunyi tawa yang jarang bisa didengar dari kebanyakan orang. Itu pula yang membuatnya langsung terpahat dalam di Hipocampus, bagian otak manusia yang melengkung menyerupai kuda laut dan berpasangan, dan kemudian menggiringnya ke korteks, penyimpanan memori jangka panjang. Sayangnya format mp3-nya belum ada waktu itu. Jika ada akan ku jadikan nada dering khusus.
Selama tiga hari training, selama dalam ball room, selama itu pula mata dan telingaku ini hanya merekam gerak gerikmu. Aku sungguh terpesona. Ternyata si gadis putih kriting melihat tingkah laku anehku.
“Hei, buddy, seems that you're falling in love” katanya sambil mendorong kepalaku sedikit. Aku menoleh dan hanya tersenyum malu. Pada saat jam makan siang, si gadis kriting menyodorkan sepotong kertas. “Nomor hape gadis yang selama tiga hari ini dirimu perhatikan terus” Ujarnya sembari duduk di sampingku, menikmati makan siang yang telah disiapkan.
Sejak itu lah, kita mulai sering berkomunikasi. Dan bahkan sering kali berjumpa pada acara-acara yang bahkan kita tak pernah janjian untuk bertemu. Sepertinya Tuhan yang menciptakan keindahan memang telah mengatur waktu untuk kita. Keakraban kita sungguh sangat indah. Luar biasanya, bahkan aku sampai lupa punya sahabat yang pertama kali dan bahkan membantu ku untuk dapat berkomunikasi denganmu. Dasar kacang lupa kulitnya.
Semakin hari semakin berbunga perasaan di hati. Pada hari ulang tahunmu, aku berikan sebuah puisi yang khusus untukmu. Dengan puisi itu aku utarakan isi hati ini. Ternyata dirimu pun membalasnya dengan beberapa bait puisi. Pilihan kata yang indah dengan susunan Terza Rima yang sempurna. Aku faham maknanya. Belum ada ruang untukmu di hatimu.
Di ulang tahunmu selanjutnya aku berikan sebuah buku novel, “The Kite Runner” , dan kembali aku tuliskan puisi. Berusaha mengetuk pintu kembali. Jawabannya masih sama. Tidak. Namun, jika ada apa-apa yang hubungan dengan bisnismu yang sedang berjalan. Akulah orang pertama yang selalu dirimu telpon. Bahkan aku mengantar mu pulang ketika suatu saat acara selesai pukul 11 malam, dan tidak ada yang menjemput. Always standby for you.
Pada acara selanjutnya kitab kembali dipertemukan tanpa janjian. Di sebuah hotel yang balkonnya luas menghadap bibir pantai Panjang. Kali ini kita sama-sama diundang dalam sebuah acara yang melibatkan pengusaha muda dalam menjaga ekosistem pantai. Lumayan lama. 10 hari. Entah mengapa aku yang belum jadi pengusaha apa pun turut mendapatkan undangan. Dirimu yang sudah merintis usaha tanaman hias dan sudah mulai dikenal wajar saja untuk diundang.
Pada hari ke tujuh aku menitipkan sekuntum mawar merah yang indah dan masih segar berikut amplop kecil berisi luapan isi hati ini kepada receptionist hotel. Untuk saudari Nuriyani, pesanku kepadanya. Pada malam harinya petugas hotel mengetuk pintu. Ada kiriman pak, ucap pemuda itu. Sekuntum mawar. Itu bunga yang aku titipkan tadi. Hanya kertasnya yang berganti. “Jangan pernah hubungi aku lagi” tulisan pada kertas itu.
Aku pun memaksa hati untuk patuh. Meski pecah berkeping, berderak tumbang ke bumi, aku coba turuti inginmu. Dua hari terakhir aku diam. Aku mencoba benar-benar tak mengganggu dirimu, meski hanya say hello. Aku menjadi peserta yang amat serius, tak menghiraukan kanan kiri. Jika orang tertawa aku ikutan tertawa, jika semuanya diam aku pun turut diam.
Hari terakhir adalah sesi penutupan dari rangkaian acara. Hanya pagi hari, sebentar saja. Semua peserta diberikan waktu dan fasilitas ber darmawisata. Bagus juga, fikirku. Untuk mengusir rasa kecewa. Namun, pada saat makan siang engkau datang ke sofa tempatku duduk untuk bersiap santap siang. Dirimu langsung duduk persis disamping kiriku.
“Hei, kok dirimu jadi pendiam sekarang, Hamdi? Mana kata-kata lucu yang biasa dirimu ucapkan? ”
“Mohon maaf, bukankah tempo hari yang lalu dirimu memintaku untuk tidak menghubungi mu lagi? ”
“Without you, it ain't fun. Jika tak ada dirimu, rasanya sepi, ga asyik. Kata anak Jakarta, ga ada loe ga rame” ucap dirimu sambil kembali tertawa lucu yang khas.
Aku pun menjadi bingung dengan sikap dirimu yang seperti sedang bermain layang-layang. Ditarik dan diulur, asal jangan sampai layangan jatuh atau terputus. Sikapmu yang dari jelas menolak pada saat sebelumnya justru kini mendekat. Aku bingung. Namun jujur saja aku pun senang. Bahkan dirimu menyodorkan es buah campur untuk kita nikmati berdua. Aku pun dilanda badai canggung dalam kegembiraan.
Sebelum berpisah, aku berniat untuk berterima kasih. Aku tunggu dirimu di Lobby hotel. Ternyata dirimu sudah ada di depan, disamping sebuah mobil. Seorang pemuda dengan penampilan modis mengajakmu berbicara. Kalian terdengar sangat akrab bahkan dirimu menggunakan nada-nada manja. Dari obrolan itu aku faham, itu adalah pacarmu. Kalian sungguh asyik bertukar tawa meski ada aku di balik kaca. Untuk ke sekian kalinya hati ini berdarah, remuk berantakan. Tak terhitung sudah berapa jahitan untuk menyatukannya.
Sejak itu aku melepas niat untuk menjadi pengusaha. Aku jadi hawatir akan selalu bertemu denganmu, dan kembali menyaksikan percakapan serupa. Ku putar niat 180 derajat. Ku putuskan untuk menjadi guru honorer. Terserah dimana. Yang penting ada pemasukan. Sembari mencoba keberuntungan lewat tes CPNS.
Beberapa minggu berselang, jalanku dipermudah. Aku menjadi guru honorer di sebuah sekolah menengah kejuruan, mengajar mata pelajaran bahasa Inggris. Aku dengar dirimu sudah mulai menjangkau pasar internasional. Aku turut berbangga.
Suatu malam menjelang dini hari. Kembali suaramu terdengar setelah beberapa minggu menghilang. Setelah menanyakan progres bisnis tanaman hias mulai dan mengabarkan bahwa aku menjadi guru honorer, aku kembali ingin memastikan sesuatu. Untuk yang terakhir kalinya.
“Mohon maaf jika ini menjadi kesekian kali. Aku berjanji ini yang terakhir. Aku sungguh ingin tahu. Adakah diri ini memiliki tempat di hatimu? Adakah dirimu mencintaiku?”
“Mohon maafkan aku, hati ini lebih dahulu sudah dimiliki oleh orang lain”
“Tak sedikit pun ada rasa? ”
“Tidak. Hati ini telah terkunci rapat dan hanya dia yang bisa masuk”
“Sungguh? ”
“Sungguh. Carilah gadis yang lain.”
“Tapi mengapa selama ini. . . . ”
“Aku harus jujur kepadamu, Hamdi. Dirimu terlalu baik untukku. Aku takut mengecewakanmu jika mengabulkan harapanmu. Namun, kebaikan mu kepadaku juga telah mengikatku untuk tak dapat jauh-jauh darimu.”
Aku terdiam sejenak, mencerna kalimatmu.
“Kenalkan aku dengan pria itu, aku ingin berterima kasih kepadanya”
“dia sangat tertutup jika urusan seperti ini. Dia tak akan mau ditemui. Carilah gadis lain, orang yang baik seperti mu seharusnya mendapatkan seorang bidadari”
“Jadi memang tak ada jalan untukku selamanya? ”
“Sepertinya tak akan pernah ada”
“lantas mengapa aku melihat seperti ada oasis di gurun pasir?”
“aku juga tak paham. Istirahat lah kawan. Jangan per turut bola matamu. Pandangan yang indah bisa saja salah dan tak sesuai sebenarnya”
“Sepertinya aku tak bisa terlelap” jawabku kembali.
“ku doakan yang terbaik untukmu” jawabmu menutup pembicaraan. Dan kita tak pernah bertemu kembali hingga saat ini.
“Sahabat (sepertinya sebutan inilah yang berkenan di hatimu dariku), sepertinya waktu tak menunggu ku berlama-lama lagi. Aku terbaring tak berdaya di sebuah ruangan di rumah sakit. Sebelum aku berpulang, aku ingin memohon maaf karena menyusahkan mu. Menyusahkan hatimu dengan sikap bodohku mengungkapkan isi hati kepadamu sampai berulang kali. Meski sudah kutahu jawabannya akan sama saja. Mohon maafkan aku yang bukan siapa-siapa.
Dari seseorang yang tak pernah berhasil masuk di hatimu, Hamdi.
Deras air mata di pipi Narina. Isak tangisnya terdengar oleh Putri Komala Sari, Puput, Bibinya.
”Rin, ada apa, kok sampai nangis terisak-isak begitu? “
”Ga ada apa-apa, Bi'. Hanya terbawa suasana baca buku yang sedih“
”Sedih banget kayaknya kisahnya. Boleh aku masuk kamarmu? “ pinta puput di depan pintu kamar.
”Maaf ya Bi', Narina mau sendiri dulu“
Wajah Narina ditutupi dengan selimut. Entah mengapa dia sangat emosi dengan perempuan yang bernama Nuriyani. Lain sisi dia sangat sedih dan kasihan sekali dengan Hamdi, gurunya yang berulang kali mengutarakan isi hati namun tidak ada hasil. Meski menolak, Nuriyani masih dekat dengan Hamdi. Dadanya bergemuruh. Seperti ada uap panas yang siap keluar.
Komentar