BAB 12. ADU PANCO


Aswin keluar kamar dan menyeduh kopi. Kebetulan sekali ada temannya pulang dari liburan di negeri Siginjai dan membawakannya oleh-oleh sebungkus kopi merek AAA. Kopi yang harum dan tak banyak dijumpai di pasaran. Dia melepaskan sebentar otak dan ototnya, sebelum kembali menjelajah dunia Hamdi melalui surat. Waktu berlalu tak pernah harap kembali. Malam bertambah gulita. Aswin masih bersemangat.


Kepada

Mina Loka,

Perempuan yang kuat.

Aku mengenalmu karena dirimu datang kepadaku. Waktu itu dirimu datang menemui ku yang sedang berdiskusi tentang ekonomi bangsa bersama dua orang sahabatku. Dirimu datang berdua dengan gadis lain. Sahabat karibmu. Tak ada awan, tak ada angin, tak ada hujan. Tiba-tiba saja kalian berdua minta dipilih salah satu untuk aku jadikan pacar. Aku terpaku. Sahabatku menertawakan ku, yang pada akhirnya juga menyuruh ku untuk memilih salah satu diantaranya kalian berdua.

Sungguh edan. Tapi dirimu tak ingin beranjak dari hadapan ku sebelum ada plihan.

“Bagaimana aku memilih sesuatu yang belum ku kenal? ” aku protes pada kalian semua.

“pilih saja dulu, bro, kenalannya setelah itu” Sahabatku justru berpihak kepada kalian berdua.

Edan, pikirku. Apa-apaan situasi ini, aku bergumam dalam hati

“Begini, deh. Sekarang beri aku alasan kenapa aku harus memilih salah satu dari kalian”

“Karena aku manis, dan aku temannya Nurul Sayyidah” terkejut aku mendengarkan jawabanmu. Aku menggaruk kepala, beberapa ketombe jatuh.

“Kok bisa-bisanya teman orang yang jadi pacarku dulu malah datang menawarkan diri? ”

“Nurul selalu cerita tentang Abang. Termasuk tentang Abang ngamuk marah-marah kepadanya. Entah apa pasal. Dia tak cerita. Namun dari ceritanya aku justru terkesima dan penasaran. Hingga aku datang menemui Abang secara langsung saat ini”

Begitulah awalnya pertemuan kita. Aku memilih dirimu. Yang sebenarnya belum ada rasa sama sekali. Aku hanya tak ingin menghilangkan harapanmu.

Jika ku ingat-ingat. Wajahmu memang manis, mirip artis Bollywood. Hanya logat daerah mu yang meyakinkan kalau dirimu masih Nusantara. Bukan dari tanah Mahabharata.

Suatu hari, engkau datang ke rumahku saat mengetahui aku hanya sendirian. Engkau datang berjalan kaki. Aku faham rumahmu jauh karena berdekatan dengan rumah Nurul. Setiba di rumah dirimu hanya bertanya di mana letak dapur. Dirimu beranjak masuk ke dapur setelah tau dimana letaknya. Meninggalkan aku di ruang tamu yang sedang membaca buku.

Sekitar tiga puluh menit berselang, dirimu keluar membawa nampan berisi makanan. Ternyata dirimu memasak sesuatu. Sekali lagi aku bergumam, gadis edan. Namun, percaya atau tidak sejak itu aku jatuh hati kepadamu. Hatiku yang keras karena amarah yang dipendam cukup lama, perlahan melunak saat sepiring nasi telah dirimu sajikan untukku. Kita makan berdua. Aku mulai menertawai diriku sendiri. Sepertinya aku juga mulai gila, ucapku dalam hati.

Pada beberapa waktu setelah itu. Aku berkunjung ke rumahmu dan membawakan makanan. Membalas kunjungan mu tempo hari. Karena aku tak tau masak jadi aku hanya membeli cemilan untuk disantap. Kita bercerita tentang berbagai profesi yang bisa cepat didapat. Dirimu punya cita-cita dalam waktu pendek yang sangat sederhana. Ingin bekerja sebagai pramuniaga di minimarket depan lorong rumah. Hanya itu. Aku menertawai keinginanmu yang kecil sekali.

Dirimu pun kesal dan mengajakku adu panco. Sekali lagi aku tertawa. Gadis begini menantang ku adu panco, tak sebanding nian. Kataku waktu itu. Dirimu seperti tak hirau apa yang kuucapkan. Hadiahnya adalah jika aku menang boleh melakukan apa saja. Dan jika dirimu menang wajib menghormati keinginanmu bekerja di minimarket depan sana, plus merayu cece yang punya untuk menerima mu sebagai karyawan. Sebagai laki-laki, jujur saja, aku merasa tertantang. Aku sudah mulai memikirkan hal-hal yang tak benar. Niat pun berubah yang awalnya hanya ingin seru-seruan saja.

Sebuah meja kayu persegi empat warna abu-abu kita gunakan. Tangan kananku menggenggam tanganmu seperti posisi dalm lomba adu panco di siaran TV. Koin yang dilempar ke atas sebagai pengganti juri. Ketika koin menyentuh lantai, lomba dimulai.

Sungguh aku telah meremehkan mu. Lenganmu sedikit pun tak bergeming. Aku mulai malu sendiri. Tapi kepalang tanggung. Aku bahkan berbuat curang. Tangan kiri membantu tangan kananku. Berharap aku segera menyelesaikan lomba adu panco ini.

Lombanya memang segera berakhir setelah hampir lima menit. Sungguh menguras tenaga dan memeras keringat. Lomba selesai dan dirimu yang menang. Meski ku pakai kedua tangan. Luar biasa sekali tenaga mu. Tak terbayangkan jika harus merasakan tamparan dengan tangan kananmu. Aku mulai berfikir jangan-jangan memang benar dirimu cucu dari Bima.

Dirimu tertawa terbahak-bahak sambil menagih janji atas kemenangan mu. Aku tak mengelak. Ku temui cece pemilik minimarket. Dia setuju menerima mu menjadi karyawan setelah aku ceritakan apa yang baru saja terjadi. Dia pun merasa sakit perut sebab tertawa lucu sambil memegang perut. Kasihan sekali dirimu, Bang, katanya kepadaku.

Hidup harus terus berlanjut. Dirimu bekerja dan aku pun harus keluar kota. Kita hanya bisa berkomunikasi pada malam hari karena sama-sama maklum dengan kegiatan masing-masing. Suatu ketika dirimu tak lagi bisa dihubungi. Tersiar kabar dirimu berhenti bekerja dan pergi ke suatu daerah. Orang yang mengenal ku ada tinggal di sana. Dia menyampaikan ada gadis mirip orang India yang sering nongkrong bersama dengan pemuda-pemuda. Terlihat sangat tak lazim. Saat aku minta kepadanya untuk mengambil foto gadis yang dimaksud, ternyata itu adalah dirimu.

Untuk kedua kalinya aku menerima ini. Marah? Kesal dan kecewa? Tentu saja. Tapi aku tak ingin larut seperti sebelumnya. Biarkan sajalah. Fikir ku mengalah.

Tak berselang lama. Seorang sahabat yang juga hadir pada saat dirimu datang berdua untuk dipilih, datang menemui ku.

“Bro, aku dapat info dirimu tak lagi dengan Mina Loka”

Aku hanya diam.. Berfikir dan menebak-nebak arah pembicaraan. Ku biarkan dia bercerita.

“Bro, jika iya. Aku jadian sama Mina Loka. Oke? ”

“Lanjut kan, Bro” ucapku yang menyembunyikan rasa heran dan terkejut.

“Mina itu orangnya seperti apa sih? ”

“Orangnya nyenangin, anaknya ayu”

“Banyak permintaan ga? ”

“Tidak. Dia hanya minta tolong dibantu agar bisa kerja di mini market. Dulu. ”

“Okeh. Jadi sip ya. Tak apa-apa? ”

“Lanjutkeun” jawabku meniru Pak Harto. Dalam hati kembali perih.

Malam harinya nomer mu sibuk sekali. Tak ada panggilan ku yang masuk. Bahkan ada yang di-reject. Jalan terakhir, lewat pesan.

“Mina, dirimu jadian dengan salah satu sahabat ku!? ”

“Kok bisa tau? ” dirimu malah balik bertanya.

“Tadi siang Riyan menemui aku, dan berkata demikian”

“Hahaha. . . Iya sih. Ah, Abang nih tau aja”

“hubungan kita? ”

“terserah abang saja. Mau diputuskan atau tetap lanjut, terserah abang”

“kalau begitu kita jangan komunikasi lagi” jawabku.

Setelah itu memang tak ada lagi komunikasi. Jika pun bertemu di jalan. Kita masih saling bertukar senyum hambar.

Kini aku terkulai lemas di ruang perawatan. Aku tak tahu apakah masih ada sisa waktu yang banyak. Karena aku merasa sangat kecil kemungkinan dapat berjumpa denganmu. Mohon maafkan segala salah ku. Agar perjalananku tak banyak rintangan nantinya. Mohon maafkan aku yang berniat untuk menang adu panco dengan niat yang salah. Mohon maafkan aku yang marah karena dirimu memilih orang lain, padahal memang dirimu juga punya hak. Sekali lagi mohon maaf dan kerelaan.

Dari orang yang dirimu hidangkan masakan sendiri dan yang diajak lomba adu panco.

Aswin kembali mengelap keringat yang membawahi pelipis nya. Padahal suasana malam cukup dingin. Mungkin karena terbawa suasana hati dan ikutan emosi. Kali ini tak ada uap bawang di sekitarnya. Hanya hawa panas dari suasana cerita dalam surat yang membuatnya gerah. Sungguh edan, fikirnya.

Komentar