Minggu, 22 Desember 2013

Astaghfirullah, Jangan Begitulah.


Yaaaah . . . . . Tontonannya ga jadi deeh . . . . .

Beberapa hari yang lalu, istri salah satu teman kerja saya telah melahirkan bayinya. Alhamdulillah. Meskipun sang bayi lahir dalam keadaan prematur. Hal ini membuat bayi tersebut harus berada di dalam kotak inkubator untuk beberapa waktu yang cukup lama. Satu minggu kemudian, tepat pada jam dan hari yang sama, dia telah pergi, kembali kepada Yang Maha Kuasa. Mungkin dia sangat menyayangi kedua orang tuanya ya.

Tapi yang mau saya katakan adalah, beberapa orang perawat, tentu tidak semuanya, tidak mempunyai etika. Mengapa saya katakan demikian? Hal ini dikarenakan, saat pasien berjuang mempertaruhkan nyawa melahirkan seorang bayi, hal itu justru dijadikan seolah-olah tontonan bioskop gratisan atau seperti lelucon.

Ceritanya begini: waktu itu, berdasarkan cerita sang suami, teman saya, istrinya sudah bukaan 3. Sedangkan dokter atau perawat saat itu seorang pun tidak ada. Tapi, Subhanallah, dengan izin Allah anak tersebut keluar dengan sendirinya. Meskipun, sang istri harus menahan sakit yang sangat. Hanya suami yang selalu menguatkan hati sang istri. Ketika anak sudah lahir, keluar dengan sendirinya dan memecah keadaan dengan jerit tangisnya, barulah ada beberapa perawat yang datang untuk menggunting tali ari-arinya. Masalah baru pun muncul. Ari-ari sang bayi tersangkut di dalam rahim sang ibu. Perawat mengatakan aei-arinya harus dikorek. sontak sang suami terkejut dan sedih. Bagaimana mungkin setelah barusaja menahan sakit yang luar biasa kemudian harus menahan sakit yang berkelanjutan karena rahimnya harus dikorek? Namun sang suami pasrah jika itu memang yang terbaik buat sang istri.

Segala peralatan yang diperlukan pun telah disiapkan. Beberapa orang perawat membuka lebar selangkangan sang istri untuk mengorek ari-ari yang tertinggal dalam rahim. Ruangan pasien pun gaduh seketika, karena beberapa perawat berebut masuk dengan suara berisik untuk menyaksikan proses tersebut. mereka berbaris selayaknya mau nonton bioskop. Beberapa waktu kemudian ada dokter yang datang. Sang dokter memeriksa pasien. Syukur Alhamdulillah, dokter mengatakan tidak perlu dilakukan hal yang mengerikan itu, karena ternyata ari-ari sang bayi bisa dikeluarkan hanya dengan menariknya dengan tangan secara perlahan. Ternyata memang benar. Ari-ari sang bayi keluar tanpa harus di-korek. Melihat dokter bisa melakukannya hanya dengan tangan saja, sontak kerumunan perawat bubar sambil berkata setengah berteriak: yaaaaah . . . . . tontonannya ga jadi deeh . . . . . Kalimat itu sempat membuat teman saya naik darah, namun amarahnya masih ditahan. Semoga tidak ada lagi kejadian serupa. Aamiin.

10 comments:

mutia ohorella at: 22 Desember 2013 pukul 19.34 mengatakan...

Mirriss...
Sepertinya harus ditambah mata pelajarannya ( "Budi Pekerti"). Supaya mrk faham, pasien bukan cuma obyek.

habibi daeng at: 22 Desember 2013 pukul 20.20 mengatakan...

Bener banget tuh mba mutia, sepetinya mata kulia aqidah akhlaq masih dibutuhkan. Kalau perlu jamnya ditambah. :)

Muhamad Ratodi at: 23 Desember 2013 pukul 08.07 mengatakan...

ya begitulah..pendidikan kita terlanjut digembor2kan berbasis kompetensi, tapi basi akhlak (morality) malah minim sekali terjamah dan tertanam saat para "profesional" itu dididik

habibi daeng at: 23 Desember 2013 pukul 12.22 mengatakan...

Dan satu lagi kang Todi, setiap tahun kok kurikulumnya ganti terus ya? semakin banyak "pelajaran baru" tapi pengetahuan etika pelan pelan semakin dilupakan, kalau pun ada, jam belajarnya semakin sedikit.

Unknown at: 25 Desember 2013 pukul 22.32 mengatakan...

Kelewatan banget tuh mereka yak, coba mereka diposisi seperti itu, pasti tau rasanya gimana.

Mila Said at: 26 Desember 2013 pukul 17.03 mengatakan...

perawat tapi kog ga punya rasa empati sama orang ya?

lang lang blog at: 28 Desember 2013 pukul 12.13 mengatakan...

dak mikir apa ya mas mereka amdai kejadiannya terjadi pada dirinya sendiri atau keluarganya sendiri

habibi daeng at: 28 Desember 2013 pukul 23.14 mengatakan...

Kurnia Lestari, Benar sekali, kalau mereka diposisi sepeperti itu pasti mereka tidak akan melakukan hal tersebut.

Mila Said, itulah mba, saya sendiri merasa sedih, bagaimana dia mau merawat dengan baik jika rasa empati terhadap pasien saja tidak ada. Thanks ya mba Mila, udah mau mampir di blog saya :D

Thanjawa Arif, semoga mereka diberikan kesadaran lagi tentang pentingnya etika dan rasa empati ya mba. kalau tidak, bisa-bisa suatu saat giliran mereka yang merasakan seperti itu.

Hariyanto Wijoyo at: 3 Januari 2014 pukul 17.16 mengatakan...

sepertinya perawat-perawat itu masih siswa sekolah perawat yang praktek di situ...tapi memang sangat tidak etis bersikap demikian...seharusnya sang suami menegur pihak rumah sakit, agar mereka bisa memberitahu perawat2 bagaimana melayani pasien dengan baik dan benar...
keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)

habibi daeng at: 5 Januari 2014 pukul 14.33 mengatakan...

Seharusnya memang ditegur mas Hariyanto, namun ditahan dulu soalnya dia lagi emosi. Setelah reda emosinya baru mereka ditegur, agar mereka bisa melayani pasien dengan baik ya. Salam balik juga mas dari Jambi :)