Rabu, 23 Oktober 2013

Cerita Dari Ruang Tamu



Riuh suara di televisi menarik perhatianku, calon Bupati Harapan Mulya yang kalah dalam pertarungan pilkada beberapa hari yang lalu terlihat menjabat tangan pasangan terpilih yang bulan depan akan segera dilantik sebagai Bupati yang baru.

            *   ~   *   ~   *

”maaf bu, bisakah aku numpang shalat”
”iya, silakan, dek. Langsung aja ambil wudhu’ di belakang”

Aku menyingsingkan lengan kemeja putih dan celana panjangku. Segera aku menuju bagian belakang dari rumah yang sebagian dindingnya belum diplaster semen. Aku tersenyum sambil permisi ketika aku melewati seorang nenek yang sedang memotong-motong kacang panjang.

”Monggo, Pak”
”iya, nek, terima kasih” ujarku sambil berlalu menuju WC yang ada di ujung ruangan sebelah kiri. Di dalam ruangan yang kecil itu aku masih bisa mendengarkan percakapan temanku dengan tuan rumah karena dek belum terpasang. Sangat jelas terlihat sarang laba-laba banyak menempel dan menghitam di sudut-sudut atap yang terbuat dari tanah liat.

”Bapak mungkin ga percaya, kalau Pak Alimin, wakil bupati terpilih kita itu adalah saudara kandung dari suamiku.”
”ah, yang bener bu?”
”iya bener kok, memang sengaja kami rahasiakan awalnya, biar ga heboh. Gittuuu”, ujar sang tuan rumah dengan senyum sumringah dan alis terangkat sebelah.

Aku tertegun mendengar kenyataan bahwa saudara kandung wakil pasangan terpilih adalah orang yang sederhana kehidupannya. Tetesan air yang begitu sejuk mulai menyapa kulitku, namun aku urungkan sebentar karena masih mengikuti perbincangan yang terdengar dari ruang tamu.

”Berkat bantuan mbah yang dibangkitkan, suamiku minta tolong agar suara kita dimenangkan.”

Aku tersentak, mendengar apa yang diucapkan oleh tuan rumah. Air yang aku siramkan di muka, jatuh begitu saja. Aku kembali berhenti.

”Tapi . . ., ya memang, bukan pak de, toh. Yang di Ataslah yang melakukan semuanya. Pak de hanya perantara saja. Asal bapak tahu, setiap 5 waktu suamiku sholat pake sajadah ini, sajadah yang ada foto pasangan terpilih itu.” kata ibu itu sambil memperlihatkan poster pasangan tepilih dan lawan terkuatnya yang seukuran sajadah.

”trus, hasilnya gimana bu?” aku mendengar temanku bertanya.

”alhamdulillah, cukup dengan membalikkan satu kotak, suara kita jadi lebih banyak. Memang, ada syarat yang diajukan oleh mbah. Syaratnya ga berat kok, cukup belikan satu buah sajadah untuk setiap masjid yang ada di kota ini, itu aja. Ga beratkan? hehehe” ibu itu dengan semangat menceritakannya sambil tertawa puas.

Suasana hening terdengar sejenak dari dalam ruang tamu. Hanya bunyi seruput teh manis yang terdengar sesekali memecah dinginnya sore hari. Aku ulang lagi membasuh muka.

”memang seperti itulah amanah dari mbah untuk pak de. Untuk hal rejeki saja, pak de tidak boleh ambil untuk selain dari hasil dagang yang telah diberikan oleh mbah. Kalau ada orang yang datang ke rumah ini minta tolong, apalagi seperti ibu yang buta di dalam itu, ga boleh minta upah. Harus di tolong tanpa pamrih. Pesannya cukup memasukkan uang seribu rupiah di kotak amal masjid setelah sembuh.”

”itu gunanya untuk apa ya bu?” aku mendengar suara penasaran dari temenku.

”ya namanya juga hidup perlu makan, toh?. Mbah di sana begitu juga. Dengan uang seribu itu dia bisa makan disana. Sama dengan kita perlu makan.”

Aku tidak mau berlama-lama lagi. Segera ku hampiri sejadah yang terbentang. Ku jernihkan hati menghadap Ilahi Robbi. Aku masih mendengar suara tuan rumah menceritakan dengan penuh semangat apa yang menurutnya terjadi. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa sangat sedih.

Segera setelah shalat aku menemui teman yang sedari tadi ada di ruang tamu dengan tuan rumah. aku gerakkan kedua alis sebagai kode untuk segera meninggalkan rumah itu. Langkahku begitu cepat, aku jadi sangat cemas. Cemas sekali shalatku tiadk akan diterima selama 40 hari, atau bahkan 40 tahun.

”Ya Allah yang maha tahu, ampunkanlah hambamu yang telah salah melangkahkan kaki. Jauhkanlah aku dari perbuatan syirik. Aku tidak tahu kalau yang punya rumah ini punya kepercayaan seperti ini. Sungguh tiada daya dan upaya selain pertolongan dariMu. Aamiin.”



Jambi, 23 Oktober 2013

3 comments:

Kang Harjho 35 at: 24 Oktober 2013 pukul 06.16 mengatakan...

keyakinan-keyakinan seperti itu sudah tidak aneh lagi di kalangan masyarakat, itulah kenapa dasar keimanan dan pendidikan Islam sangat penting untuk dipelajari secara lebih mendalam, semoga kita dijauhkan dari tradisi-tradisi kemusrikan yang seolah-olah dianggap benar padahal musrik dan memusrikkan... :)

Muhamad Ratodi at: 24 Oktober 2013 pukul 10.16 mengatakan...

miris ya kang kalo masih kita temui praktik2 seperti itu... apalagi atas nama tujuan kekuasaan..
Kekuasaan yg diperoleh dengan cara dan jalan yang tidak tepat seperti itu, salah2 yang jadi korban rakyat yang dipimpinnya

habibi daeng at: 25 Oktober 2013 pukul 12.52 mengatakan...

Mas Jhoe, iya mas, tapi nyesal pulak sayo sering-sering ngobrol dengannyo, halah. takutnya kaget dikirain sepaham sama dia.

kan todi , bener banget kang. gimana ya, kalau cara dapetinnya aja gitu, cara memimpin rakyat kedepannya patut dipertanyakan tu.