Nama ku Dudung, begitulah orang kampung memanggilku. Sebenarnya itu bukanlah nama pemberian orang tua ku. Sewaktu aku masih bayi, kata nenek, nama yang diberikan kepada ku sebenarnya adalah Abdu Pradana. Nama yang keren sebenarnya. Tapi nama itu tidak pernah terpakai lagi bahkan sampai di kartu tanda pengenal pun yang tertulis adalah Dudung. Dudung bin Pallawa. Aku besar di sebuah desa kecil bernama Labuan Jelita. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani
Jalan utama desa mengukuti alur sungai yang
berliuk-liuk seperti ular sawah. Jalan yang hanya selebar dua meter dan masih
setapak. Di beberapa tempat memang sudah di Asmen (aspal semen – istilah
warga), namun sudah mulai terkikis karena banjir bandang sudah beberapa kali
datang. Untungnya warga desa sudah sangat faham dengan kondisi daerah, sehingga
tiang rumah mereka dibuat tinggi-tinggi, layaknya rumah panggung. Mereka pun
tidak merasa kekurangan bahan karena kampung ku itu sangat dekat dengan hutan,
hanya berjarak tiga jam naik Lofi. Sepanjang tepian sungai tumbuh subur
pepohonan Rumbia, tempat monyet-monyet berloncatan mencari makan. Air sungai
yang mengalir bagaikan sebuah layar tancap yang panjang terbentang karena
lumpur sungai yang diaduk-aduk oleh derasnya air terlihat seperti asap hitam
dari kebakaran hutan. Warnanya coklat pekat. Warga desa seluruhnya adalah orang
perantauan, termasuk aku. Bermacam bahasa biasa aku dengar dalam keseharian ku.
Namun, hal itu tidak membuat kami terpisah-pisah.
Di tengah desa ada gudang sekaligus pabrik
pengolah gabah. Tumpukan dedak kasar yang kuning menggunung menjadi
tempat aku dan anak seusia ku bermain guling-guling berbaring. Serasa bermain
di tepi pantai saja. Padahal dedak kasar hasil pabrik gabah padi membuat kulit
gatal. Tapi hal itu tidak menjadi alas an buatku utuk tidak bermain di sana lagi. Karena selesai
disana aku dan yang lainnya langsung terjun ke sungai dari jembatan penghubung
desa.
Dari atas jembatan kadang kala aku dapat melihat
gerombolan anak-anak ikan Toman yang bergerombol seperti lebah madu saat air
mulai pasang di muara parit. Atau melihat temanku yang lainnya menangkap ikan
di sela-sela rerumputan gajah yang menjuntai lebat menutupi bibir parit. Atau
melihat kakek mendayung lofi yang penuh dengan kelapa bulat. Aku masih
ingat dengan jelas ketika pertama kali mengupas kelapa menggunakan bajji,
Ketika pertama kali ikut membasmi hama
babi yang sering merajalela di perkebunan kelapa, atau pun pertama kali
mengendap-endap untuk mencuri buah jambu merah saat setelah pulang dari sekolah dulu.
Semuanya masih rapi dalam ingatan, bermain lilin kecil warna warni dan kembang api di teras rumah, membuat senter dengan lilin yang dimasukkan ke dalam kaleng mentega, atau balapan kapal-kapalan dari kayu yang kipas atau baling-balingnya diputar menggunakan ternaga jalinan gelang karet yang terlebih dahulu dipilin sekuat tenaga. Sangat berbeda dengan sekarang. Rumah
jembatan tempat aku dan teman-teman beristirahat ketika lelah berlari, yang
menjadi tempat bagi kami untuk melakukan lompat indah, tempat kami melihat balapan kapal-kapalan dari atas parit, sudah tiada lagi. Pabrik
padi dan tumpukan dedak kasar pun sudah menghilang. Warganya satu persatu
pindah ke daerah lain. Pohon pisang, yang dulunya ramai dan tempat kami mencari
ulat daun untuk umpan pancing pun hampir tidak bisa aku temukan lagi. Semua
menjadi semakin sederhana dalam pandangan: rumah panggung yang mulai reot yang
berjarak 50-100 meter, jalan setapak berlumpur, parit yang semakin asam dan
banyak buayanya.
Teriakan-teriakan kami ketika dikejar para orang
tua yang menyuruh segera pulang mengaji pun sudah hilang bersama hilangnya
rumah jembatan. Mungkin suatu hari akan kami bangun kembali rumah jembatan,
agar kami bisa tiduran seharian di sana.
Tapi sekarang kayu bulian sangat jarang dan mahal harganya. Apalagi sekarang jikalau ingin membeli kayu banyak-banyak
harus siap berhadapan dengan aparat.
Di
rumah jembatan itu pula aku sering kali diminta oleh pak Leman untuk
menyanyikan beberapa buah lagu dangdut. Itu karena di rumah kakek tempatku
besar memang tersedia ratusan kaset dangdut dan pop, yang setiap hari selepas
mengaji ku putar keras-keras sehingga setiap orang yang lewat dapat
mendengarnya, bahkan berjoget kalau bisa. Iya, aku ingat. Dia menakut-nakutiku
dengan sebotol minyak sayur. Hahaha. Lucu sekali jika aku mengingat akan hal
itu. Dia mengancam akan menelan bulat-bulat badanku dengan menggunakan minyak
sayur jika menolak permintaannya, maksudnya agar aku dengan mudah ditelan olehnya karena sudah licin
tersiram minyak sayur.
Di
sana pula aku, yang masih sangat belia, yang kadangkala ingus masih bebas naik
turun di muka, mengganggu abang-abang yang sedang selonjoran santai sambil
membaca majalah dewasa. Pilem G-30SPKI pun kami tonton ramai-ramai di sana,
dengan TV nasional hitam putih, dengan aki yang empat hari sekali harus dicas
ulang.
Bahkan,
di sana aku ditawarkan sebuah mantra, yang sampai saat ini tidak bisa masuk
hati, hati ku menolaknya dengan keras. Ajaran yang melarang menyebut dengan
lidah lafaz Allah, alasannya karena takut setan akan mendengarnya dan mantranya
tidak akan mumpuni. Sungguh, Rumah Jembatan lah yang menjadi saksi atas
penolakanku, Allah tetap Robb-ku, dan syetan adalah musuh.
Rumah Jembatan, setidaknya masih kokoh dalam benakku, benak kami, anak-anak Labuan jelita. Meski
kami tidak bisa bersua seperti dahulu. Setidaknya aku, bisa menuliskan cerita
ini. Untuk teman-teman yang sudah pulang lebih dahulu.
Catatan:
- Lofi: Bahasa bugis, yang artinya perahu
- Bajji: bahasa bugis, sebuah alat yang terbuat dari besi berbentuk mata tombak yang lebar dan tebal, dipasang diujung sebuah tiang berkaki, yang digunakan untuk mengupas kulit kelapa dengan cara memberikan tekanan dan dorongan terhadap buah kelapa yang sudah kita tancapkan terlebih dahulu di atas bajji.
- Bulian: adalah sebuah jenis kayu di jambi (mungkin di daerah lain juga ada, dengan nama yang berbeda), yang memiliki struktur yang sangat keras seperti besi dan biasanya berwarna merah gelap dan hitam abu-abu.
Jambi, 13 Februari 2012, disaat matahari hampir terbenam
5 comments:
wah, baru kali ini kk berkunjung lagi kesini, hmmmm nice post, keep writing ya by..
iya k3, ne baru sempat posting tulisan, hehehe. BTW, blog k3 sekarang bagus banget k3. . . :)
wah udah mulai nulis lagi nich... bravo brada... :)
mas Jhoe,, iya nih mas, mulai tumbuh lagi ghirah menulisnya, hehe ada tulisan baru lagi tuh,, chek it out :)
Lukisannya bagus bro
Posting Komentar